*Cerpen ini masuk nominasi dalam
lomba RetakanKata 2012 dan telah dibukukan.
Malam ini, seperti malam-malam
sebelumnya, ibu kedatangan tamu seorang lelaki baya. Memang, kerap sekali
tamu-tamu yang selalu berganti rupa itu menyambangi rumah. Nyaris tiap malam ada
saja tamu berjenis kelamin laki-laki yang hendak bersua ibu. Entah, ada urusan
apa mereka hingga sedemikian seringnya mengunjungi ibu. Kadang dalam semalam,
ada tiga hingga lima lelaki berbeda datang secara bergilir. Mulai yang masih
muda hingga usia yang tengah menapaki garis uzur.
Saat tamu-tamu ibu datang
berkunjung, aku selalu mendekam di sini sendiri. Meringkuk di kamar sempit
berdinding kayu yang telah lapuk dengan penerangan lampu mini dua setengah watt,
ditemani boneka Upin-Ipin yang baru sebulan lalu dibelikan ibu. Dan memang ibulah
yang selalu menyuruhku, mungkin lebih tepatnya memaksaku, agar selekasnya meringkuk
ke dalam kamar saat dari luar rumah terdengar suara derap langkah kaki atau ketuk
pintu.
Pernah beberapa kali kumenanya pada
ibu, siapa gerangan tamu-tamu lelaki asing yang selalu berganti rupa itu.
Namun, dari mulut ibu tak pernah kudapati keterangan yang jelas, apalagi buatku
puas. Bahkan, ibu kerap tak menggubris pertanyaanku. Pernah malah, saking
penasarannya kepingin tahu siapa lelaki yang acap tengah malam mengetuk daun pintu
saat kornea mataku baru saja ditiup kantuk, ibu langsung membentak dengan kasar
lalu menyeretku masuk ke dalam kamar sempit ini.
“Anak kecil sebaiknya ndak[1]
perlu tahu urusan orangtua!” pekikan ibu cukup sukses membikin kudukku meremang,
sebelum akhirnya membanting pintu kayu kamarku dengan kedua mata mendelik-delik.
Sejak saat itulah, aku tak pernah
berani lagi mengungkit siapa sebenarnya tamu-tamu lelaki ibuku itu. Sempat membersit
pikiran begini; jangan-jangan mereka itu adalah saudara-saudara dari keluarga
ibu? O, sungguh senang tak kepalang jika aku memiliki banyak saudara. Tapi,
kalau benar mereka semua adalah saudaranya ibu, lantas mengapa tak pernah ada
satu pun yang dikenalkan padaku? Mengapa? Kalau memikirkan hal ini, kepalaku mendadak
terasa pening. Berdenyutan.
Dan,
selanjutnya aku hanya bisa memandangi boneka Upin-Ipin yang selalu bertampang sama;
lucu menggemaskan. Membikin kedua tanganku meremas-remas dengan sepenuh gemas.
Lantas merengkuhnya erat-erat ke dalam pelukan dengan kedua mata memejam dan
basah.
***
“Riniii..!”
Teriak
ibu pada suatu hari. Aku bisa menebak, dari pekik teriak khas-nya, pasti ibu hendak
menyuruh pergi ke warung sebelah untuk membeli sesuatu. Terkadang beras, gula,
kopi, rokok, shampoo, odol, sabun mandi atau sikat gigi. Memang, di rumah
kayu ini, hanya aku seorang yang tinggal bersama ibu. Acap aku tertikam rasa iri
dengan beberapa tetanggaku yang punya adik atau kakak. Seperti Farid, dia punya
adik yang lucu. Dewi namanya. Kemana pun Dewi pergi, abangnya selalu
menggandeng tangan dan menjagainya. Sedang aku? Alih-alih melindungi, bahkan
ibu kandungku saja gemar bertutur kasar dan kerap membentakku.
Mm…,
atau paling tidak, aku tak begitu kesepian seandainya saja bapakku saat ini
tinggal bersama ibu. Bapak? Ah! Tak perlu membicarakan siapa sebenarnya bapak
kandungku. Ndak penting! Bisa-bisa, ibu marah besar kalau aku bersinekat
menanya padanya. Pernah, dulu, beberapa kali kumenanya ibu, siapa sebenarnya dan
ada di mana bapakku itu. Tapi, jawaban yang kuperoleh selalu sama; bapak telah
mati! Bapak telah mati! Lantas, warna raut ibu akan berganti menjadi kemerahan dengan
kedua bola mata penuh nyala api selaksa bola mata naga raksasa macam yang
pernah kutonton di sinetron televisi.
Gegas kukeluar kamar. Menghampiri
ibu yang telah menunggu tak sabar di ruang tamu.
“Lama bener! Ngapain
saja kamu di kamar, hah?” bentak ibu kasar. Seperti biasa.
Seperti sebelum-sebelumnya, aku pun hanya
merunduk. Tak berani sedikit pun mengangkat wajah demi menatap bola mata dan
wajah tak sabar ibu. Maklum, ibuku memang bukan sosok perempuan yang bisa
setenang danau saat berhadap dengan kata ‘menunggu’. Beliau paling alergi
dengan aktivitas menunggu. Walau barang beberapa detik saja.
“Cepat beliin sabun mandi dan shampoo! Awas, ndak pake
lama, yaa!” suara ibu masih dengan nada dan gelegar volume sama, sembari
mengangsur beberapa lembar uang seribuan lusuh yang barusan dirogoh dari balik
kutang birunya.
Tanpa menjawab perkataan ibu, segera
kusambar uang itu dan tergopoh ke warung Bik Prapti yang jaraknya hanya dua lemparan
kerikil dari sebelah rumah di pemukiman kumuh dekat stasiun ini.
***
Malam kian menggeliat khusyuk. Jam
dinding usang yang menggelantung mencong[2]
di dinding kayu ruang tamu telah menunjuk ke angka sembilan lebih tujuh menit. Tak
seperti biasa, sedari Magrib berkumandang hingga selepas azan isya, tak ada
seorang tamu lelaki pun datang bertandang. Kulihat raut ibu gelisah nian. Duduk
di bangku kayu panjang setengah reyot
di ruang tamu sembari menyulut beberapa batang rokok kretek. Sesekali mulutnya
yang disesaki asap mengeluarkan umpatan kasar hewan berkaki empat. Sesekali
waktu ngomel-ngomel kecil. Entah siapa yang tengah diomelinya. Aku sampai terbatuk-batuk
dengan asap yang menyeruak hingga memenuhi seisi rumah kayu pengap ini.
Sesekali,
ibu berdiri. Masuk ke dalam kamarnya. Lalu keluar lagi. Sesekali waktu, ibu
membuka pintu depan. Memandang sekeliling. Lalu menutupnya lagi. Hei, apakah
ibu sedang menunggu tamu-tamu lelaki yang tak kunjung menampakkan batang hidung
itu? Aku hanya bisa mereka-reka dalam hati tanpa berani mengeluarkan kata.
Menit
berikutnya, ibu keluar rumah sambil menggenggam tas kecil warna hitam. Sebelum
pergi, ibu mendekatiku.
“Rini,
kamu tunggu rumah, ya, ibu ada perlu sebentar,” begitu pesannya dengan
nada yang—tumben—ramah.
Aku
mengangguk lekas. Sebenarnya, ingin sekali aku menanya, ibu mau pergi ke mana? Boleh
aku ikut, Bu? Aku takut di rumah sendiri. Tapi, tentu saja kalimat-kalimat itu
hanya membelit di tenggorokan saja. Tak mungkin ibu jujur mau pergi ke mana.
Tak mungkin pula aku diajaknya ikut serta. Alih-alih aku malah didampratnya
dengan kasar sebagaimana biasa.
***
Lima menit. Sepuluh menit. Lima
belas menit. Bahkan hingga satu jam sudah tapi ibu belum kembali Terbersit rasa
khawatir, jangan-jangan ibu kenapa-napa? Aih! Tak biasanya aku begitu
mengkhawatirkan ibu seperti malam ini.
Kupandangi jarum jam yang telah
menunjuk ke angka sebelas lebih lima belas menit. Detak jarumnya kian berasa di
gendang telinga saat hening malam kian meraja. Lalu bola mataku beralih ke
pintu rumah kayu ini. Kutajamkan kedua belah kupingku, berharap ada suara
langkah kaki ibu. Namun hingga kedua mataku mulai diserbu rasa kantuk, suara langkah
kaki orang yang aku nanti tak jua kunjung merayapi telinga. Hanya suara jangkerik
yang terus asyik mengerik dari rerimbun pohon pisang di belakang rumah ini.
Sesekali, desir angin yang menyelip lewat celah-celah dinding kayu membuat rasa
gigil sukses merajah tubuhku.
***
Tok! Tok! Tok!
Aku langsung tergeragap saat mendengar
ada yang mengetuk pintu rumah ini. Kulirik jam dinding di sana. Pukul dua belas
kurang lima menit. Itu pasti ibu. Gegas kumenghambur meraih gagang pintu dan
membukanya. Tapi, sosok tegap yang berdiri di depanku bukanlah orang yang
kutunggu. Aku tercekat.
“Mana Nurmala?” Tanya lelaki baya
berkumis lebat tanpa se-inchi pun bibirnya menggaris senyum.
“Ibu sedang keluar, Om,” jawabku takut-takut
sambil mengucek-ucek kedua kelopak dengan jemariku.
“Ibu? Hei! Jadi kamu anaknya Nurmala?”
lelaki itu kontan menyondongkan badannya ke wajahku dengan raut tak sepenuhnya percaya.
Lalu terkembanglah senyum di kedua sudut bibirnya yang hitam.
Aku mengangguk takut-takut. Walau bibir
lelaki itu terbit senyum, tapi senyumnya sungguh teramat menakutkan. Kedua bola
matanya tajam seperti hendak menerkamku.
“Kamu cantik, Nduk[3].
Menuruni ibu kamu. Aku yakin, kalau kamu dewasa nanti, kamu akan jadi kembangnya
para kumbang,” kata-kata yang menguar dari bibir lelaki yang menyemburkan bau
aneh menusuk hidung itu sungguh tak bisa kucerna.
“Siapa namamu, Cah ayu?”
tanyanya sambil menyentuh daguku. Aku merinding dan refleks mundur dua jengkal
ke belakang.
“Ndak usah takut, Nduk,
aku ndak akan berbuat jahat, kok,” masih dengan senyum
misteriusnya.
“Heh! Jangan pegang-pegang
anak itu!” tiba-tiba ibuku telah berada tepat di belakang lelaki itu. O, Tuhan,
syukurlah. Engkau akhirnya pulang juga, Bu. Sungguh aku takut dengan lelaki bertampang
seram itu, Bu. Aku lekas menepi, menyandar ke dinding kayu dengan tubuh
bergetar.
“Aku ndak nyangka, anak kita ternyata
bisa secantik kamu waktu masih remaja, Nur,” ucap lelaki itu setelah berhadapan
dengan ibu.
Hei,
apa dia bilang? Anak kita? Ja… jadi, dia itu bapakku? Aku menggumam kaget
sembari melebarkan sayap mataku.
“Heh! Lelaki brengsek, dia
itu bukan anakmu. Pergi! Jangan pernah datang lagi ke sini lelaki sialan!”
pekik ibu sembari merangsek masuk dan mendorong lelaki bertubuh gempal itu ke luar
rumah.
Ternyata
dorongan ibu kuat juga. Saat lelaki itu telah terdorong ke luar, ibu langsung
membanting pintu keras-keras hingga tubuhku terlonjak.
“Pergi brengsek! Bajingan!” pekik
ibu seraya dengan gusar mengunci pintu.
“Dasar lonthe![4]”
teriak lelaki itu dari luar.
Ibu muntab. Lantas secepat kilat kembali
menguak pintu dengan kasar dan melempar lelaki jangkung berkumis itu dengan sandal
yang dipakainya. Lelaki itu langsung terbirit. Lintang pukang entah ke mana.
“Bangsat!
Awas kalau kamu berani ke sini lagi!” maki ibu sambil membanting pintu.
Sementara aku masih geming menyandar
dinding. O, ibu, benarkah dia itu bapak kandungku? Tapi, mengapa engkau malah
mengusirnya? Salah apa dia sehingga engkau sebegitu membencinya? Aku terpatung
dengan wajah dikerubuti tanya.
“Heh! Ngapain kamu masih berdiri di situ. Cepetan masuk kamar!” bentak
ibu dengan tatapan garang. Aku pun bersikilat menghambur ke dalam kamar.
Bu,
benarkah dia itu bapakku?
Kupeluk
erat boneka Upin-Ipin yang selalu bersetia menemani hari-hariku di kamar sempit
ini dengan berurai air mata.
***