Minggu, November 30, 2014
Kamis, November 20, 2014
Selasa, November 18, 2014
Putri Kupu
Namaku Putri Kupu. Nama yang terdengar
agak aneh tapi sejatinya unik bukan? Aneh bin unik. Unik sekaligus aneh. Ya,
ya, ya, mungkin kedengarannya agak-agak mirip—atau sama persis?—dengan judul sebuah
sinetron atau film animasi yang pernah kalian tonton di televisi.
Menurut cerita nenek angkatku saat menemukanku, katanya ada seekor
kupu-kupu warna kuning keemasan yang menghinggapi wajahku di pinggiran rel
kereta api tak jauh dari stasiun Lempuyangan. Kupu-kupu itulah yang kemudian
menginspirasi nenek untuk menamai bayi yang tak henti mengoek itu; Putri Kupu.
Sutarmi (orang-orang biasa memanggilnya Nek Tarmi) akhirnya mengangkat
bayi itu sebagai anaknya. Kebetulan ia hidup sebatang kara. Sudarmo, sang suami
telah berpuluh tahun meninggal dunia akibat terserempet kereta api kelas bisnis
yang tengah melaju dengan kecepatan setan, hanya beberapa meter dari arah rel
kereta api di stasiun Balapan saat ia tengah pulang memulung sampah.
Sementara Suwiryo, putra tunggal Nek Tarmi telah lama tak ada kekabar
nasibnya semenjak memutuskan merantau ke ibu kota beberapa tahun silam. Rutinitas
Nek Tarmi sehari-hari hanyalah berjualan nasi bungkus berdaun pisang, berlauk
khas; gudeg, sepotong telor dadar plus rempeyek kacang. Tiap pagi hingga
petang—kadang hingga larut malam—Nek Tarmi selalu terlihat mondar-mandir di
sekitar stasiun Lempuyangan, menjajakan nasi bungkus racikan jemarinya yang
kisut.
Hei, coba ingat-ingat! Mungkin, sewaktu tengah berada di stasiun
Lempuyangan menunggu datangnya kereta, kalian pernah menjumpai wanita baya
mengenakan kebaya dan jarik lusuh dengan selendang tersampir di leher sedang
sibuk mondar-mandir menjajakan nasi bungkus. Ya, saya pastikan wanita itu adalah
Nek Tarmi yang tengah kubincangkan kali ini.
Entah, apa jadinya nasibku saat ini, jika saja waktu itu tak diketemukan
oleh Nek Tarmi. Bisa jadi aku akan dimangsa anjing-anjing kurap yang biasa
mondar-mandir di seputaran rel kereta api itu. Aku masih ingat, saat Nek Tarmi berkisah,
bahwa sekujur tubuhku masih berwarna merah baur darah saat menemukanku. Ah,
sebegitu nistakah diri ini hingga ibu kandungku tidak menginginkan aku terlahir
ke dunia dan memutuskan untuk membuang saja darah dagingnya sendiri?
Baiklah, aku tak mau lagi mengungkit-ungkit masa kelamku yang sangat menyakitkan.
Dan yang patut aku syukuri, biar pun hidup bergelimang kemiskinan, tapi Nek
Tarmi begitu menyayangiku layaknya anak kandung sendiri. Bahkan, sekarang aku
bisa duduk di bangku Sekolah Dasar kelas tiga karena beliau sangat mengingini
kelak aku bisa menjadi anak yang pintar dan berpendidikan. Tidak seperti Nek
Tarmi yang bodoh dan buta huruf semenjak kecil bersebab beliau tidak pernah
mencecap pendidikan formal.
***
“Aku yakin itu bukan anakku!” ketus
lelaki berkulit kuning langsat.
O, betapa kedua telinga ini serasa dilumat serentet petir saat lelaki
yang telah setahun jadi pacarku itu mengatakan kalimat di luar dugaan benakku. Sungguh
demi Tuhan, tidak ada lelaki lain yang menitiskan bakal janin ke dalam perutku ini
seperti tuduhan tak beralibinya.
“Sumpah demi Tuhan, Mas! Aku ndak
pernah tidur dengan lelaki lain, selain kamu!” pekikku dengan dada bergolak.
“Ah, sudah, sudah! Aku tidak mau
berdebat lagi. Aku tahu kok, yang kamu butuhkan ini, bukan?” lelaki itu
menyeringai licik seraya menyorongkan amplop cokelat yang aku yakini berisi
setumpuk uang.
Tentu saja, aku langsung berang bukan kepalang. Hei, dia pikir aku ini pelacur
apa? Sungguh tak kunyana sama sekali, jika janji-janji manisnya selama ini adalah
palsu. Betapa selama ini aku telah terpedaya oleh mulut manisnya yang ternyata
berbisa. Tapi, apalah aku, yang hanya seorang gadis desa yang terlanjur terperangkap
oleh bujuk-rayu lelaki bangsat anak pejabat tinggi itu.
“Bangsat! Kamu pikir aku pelacur, hah?”
seraya melemparkan amplop itu ke wajahnya. Amarahku benar-benar mucuk,
mencelat dari ubunku. Ketika aku merangsek ingin memukul dan mencakar-cakar
wajahnya, ia dengan gesit berkelit dan mendorong tubuhku dengan kasar hingga badanku
limbung dan jatuh di pinggir trotoar. Lantas dengan lekas ia berlari menuju
sedan mewahnya di seberang jalan sana.
“Hei, bajingan! Tunggu! Dasar banci!” teriakku kalap ketika beberapa
detik kemudian sedan itu langsung melesat cepat.
Ah, mengenang masa-masa kelam itu, serasa ada ribuan anak sungai yang
dalam sekejap langsung mengelilingi manik mataku.
***
Sudah dua hari ini, sepulang
sekolah, aku merasa dibuntuti oleh seseorang. Rasanya seperti ada yang tengah
mengawasi segala gerikku. Entah siapa. Padahal tak ada sesiapa di belakangku.
Hanya seekor kupu-kupu kecil warna kuning keemasan yang kulihat berlesatan ke sana
kemari. Sesekali kupu-kupu cantik itu mengitari langkahku. Ia terus mengikuti
ayunan kakiku hingga akhirnya aku tiba di rumah kayunya Nek Tarmi di sebelah
selatan rel kereta api, beberapa ratus meter dari arah barat stasiun
Lempuyangan ini.
Kupu-kupu itu, meskipun bertubuh
mungil, tapi warnanya sungguh teramat cantik. Tubuhnya yang kuning keemasan
kian berkilau terang saat tertimpa semburat mentari yang tengah berada pada garis
istiwa. Berkali kedua tanganku menggapai ingin menangkap lantas
membawanya pulang. Sungguh, aku ingin sekali memelihara kupu-kupu cantik itu di
sebuah toples kaca yang akan kutaruh di kamarku. Tapi, kupu-kupu itu selalu lesat
tinggi saat ia mengetahui aku tengah berusaha menangkapnya.
***
Betapa hati ini berdenyar-denyar
bahagia melihat pertumbuhan putriku yang dari hari ke hari tumbuh kian besar. Paras
ayunya benar-benar khas orang Jawa. Persis wajahku saat masih belia. O,
betapa kebahagiaanku akan terasa menyempurna seandainya saja aku bisa merawatmu
secara langsung, Nak. Batinku dirasuki rasa ngilu. Tapi, apalah dayaku. Aku
telah dikutuk oleh sesumpahku sendiri. Bukankah pada waktu itu aku sendiri yang
mendamba berubah menjadi seekor kupu-kupu? Berharap segala dukaku kan meluruh?
Masih terekam menggamblang dalam
memori ingatan, saat aku memutuskan untuk tidak menggugurkan kandunganku yang
kian menggelembung. Hati kecilku selalu melarangku untuk membunuh janin tak
berdosa yang terlanjur menyemayam dalam perut ini.
Namun, ketika usia kandunganku mengambah bulan ke sembilan, entah mengapa
aku kembali dihantam gamang. Betapa tidak mudah tak menggubris ucap nyinyir
orang-orang kampung yang tak pernah berhenti menganggapku wanita murahan yang tak
punya urat malu; hamil di luar nikah.
Hingga akhirnya, keluarlah sesumpah
dari bibirku. Aku ingin menjadi kupu-kupu yang bisa bebas terbang kemana pun
aku mau. Dan entah kenapa, usai menyatakan kalimat sumpah itu, tiba-tiba
perutku berasa sakit luar biasa. Dan semuanya terasa pekat saat kepalaku
diserbu ribuan kunang-kunang hingga akhirnya tubuhku ambruk ke tanah.
Saat tersadar, betapa terperangahnya aku melihat kujur tubuhku telah
mengecil dan bersayap. Keterkejutanku pun kian jadi ketika kedua telingaku
menangkap jerit tangis bayi yang tergolek merah baur darah di sisiku.
***
Puring
Kebumen, 2011
Catatan:
Cerpen ini pernah dimuat di Koran Merapi, Minggu 20
Nopember 2011
Jumat, November 14, 2014
Sebatang Lidi
*Cerita anak (cernak)
ini pernah dimuat Koran Kedaulatan Rakyat, Minggu 25 Mei 2014.
Sebatang lidi terlepas dari ikatan
sapu lidi saat sedang dipergunakan oleh Pak Jamal untuk menyapu halaman
rumahnya di pagi yang berselimut mendung tebal itu.
“Tolong! Tolong aku Pak Jamal,
satukan kembali aku dengan kawan-kawanku! Aku takut sendirian!” teriak sebatang
lidi yang tergeletak di halaman rumah Pak Jamal. Ah, tapi, mana mungkin Pak
Jamal bisa mendengar teriakan lidi itu? Menit berikutnya, Pak Jamal langsung tergesa
masuk ke dalam rumahnya karena gerimis tiba-tiba meluncur dari langit.
Sebatang lidi itu terus berteriak minta tolong agar dipersatukan kembali
dengan kawan-kawannya yang berjumlah lebih dari seratus buah dan di pangkalnya
terikat tali yang terbuat dari kulit pelepah daun kelapa yang sudah dikeringkan.
Namun sebatang lidi itu lekas tersadar bahwa sekencang apa pun ia berteriak, Pak
Jamal tak akan pernah bisa mendengar teriaknya. Ia lantas memanggil kawan-kawan
sesama lidi, yang terikat menjadi sebuah sapu lidi, yang barusan diletakkan Pak
Jamal di emperan rumah.
“Tolong aku, Kawan! Aku takut hujan!
Aku kedinginan!” teriak lidi memelas.
“Lidi, bertahanlah, aku yakin nanti Pak Jamal akan memungutmu dan
menyatukan kembali bersama kita!” teriak salah satu lidi yang tersimpul di sapu
lidi itu, berusaha menghiburnya.
“Iya, Lidi. Pak Jamal pasti akan menemukanmu,” teriak lidi yang lain mencoba
menularkan semangat agar jangan menyerah.
Lap! Jlegerrr!
Tiba-tiba kilat membelah langit diiringi gelegar guntur yang memekakkan telinga
para penghuni bumi. Lidi yang sekujur tubuhnya telah basah kuyup itu terlonjak
kaget. Selanjutnya ia hanya bisa menangis karena ketakutan. Tubuhnya gemetaran.
“Ya, Tuhan, lindungilah kawanku yang malang itu,” gumam salah satu lidi
yang berada dalam ikatan sapu lidi dengan air mata berlinang.
Sementara hujan terus mengguyur bumi dengan deras. Sesekali, petir dan
guntur saling bersaut, menambah suasana kian terasa mencekam. Hingga sebatang lidi
yang semula berada di tengah halaman, akhirnya hanyut terbawa arus air yang
mengguyur halaman rumah Pak Jamal.
“Tolooongg!” teriak lidi saat tubuhnya terbawa arus hujan.
“Lidi! Bertahanlah pada batu besar yang ada di depanmu itu!” teriak lidi
yang berada di ikatan sapu lidi dengan cemas. Sebagian kawan-kawan sesama lidi hanya
bisa menangis dan menjerit-jerit tak kuasa melihat sahabatnya yang tengah
diancam bahaya. Sebagian yang lain terlihat memanjatkan doa agar sahabatnya itu
bisa selamat dari arus banjir.
Untunglah, arus hujan itu akhirnya mengantarkan lidi tersebut pada sebuah
batu besar yang kemudian menopang tubuhnya dari arus deras yang terus mengalir
hingga bermuara di sebuah sungai lebar dan keruh.
“Tenang lidi, jangan menangis terus, aku akan menopangmu hingga hujan
berhenti dan Pak Jamal akan kembali menemukanmu,” hibur batu besar hitam yang langsung
menopang sekujur tubuh lidi yang terus menangis ketakutan.
“Aku…, aku takut sekali, aku takut terbawa arus sungai deras itu,” ucap lidi
terbata-bata, sementara pandangannya menatap ngeri ke arah sungai yang hanya
beberapa senti dari sebelah batu besar itu. Ya, rumah Pak Jamal memang berada
di pinggiran sungai besar. Selama ini, Pak Jamal memang terkenal baik hati dan
peduli dengan lingkungan sekitar. Pak Jamal selalu mengajarkan anak-anak di
kampungnya, agar membiasakan hidup bersih, termasuk jangan buang sampah
sembarangan, karena bisa mengakibatkan banjir dan menimbulkan wabah penyakit.
“Tenang, aku akan memegangi tubuhmu, agar air hujan tak membawamu menuju
sungai itu,” kata si batu seraya memegangi kuat-kuat lidi yang sekujur tubuhnya
gemetaran.
Sejam kemudian, hujan pun berhenti. Lidi langsung mengucapkan kalimat syukur
karena bisa terbebas dari genangan air hujan yang nyaris membuatnya hanyut
terbawa air sungai yang deras. Lidi juga mengucapkan terima kasih pada batu
besar hitam yang telah menyelamatkan nyawanya.
“Hei, lidi, lihatlah!” teriak si batu, membuat lidi yang sedang melamun kaget
dibuatnya.
“Ada apa batu yang baik?” Tanya lidi dengan raut heran.
“Itu Pak Jamal datang, sepertinya ia melihat keberadaanmu!” ujar batu
besar dengan wajah riang. Lidi lekas memalingkan wajah ke arah Pak Jamal yang sedang
mendekati dirinya. Lidi yang semula terlihat sedih, kini berubah riang.
“Ya, Tuhan, semoga saja Pak Jamal akan memungutku dan kembali menyatukan
dengan kawan-kawanku, agar aku bisa membantu membersihkan halaman rumahnya
setiap hari,” doa lidi dalam hati.
Ternyata doa lidi langsung dikabulkan Tuhan. Pak Jamal melihat keberadaan
dirinya dan langsung memungut untuk disatukan kembali dengan ratusan lidi yang
terikat dalam sapu lidi itu.
***
Rabu, November 12, 2014
Langganan:
Postingan (Atom)