Namaku Putri Kupu. Nama yang terdengar
agak aneh tapi sejatinya unik bukan? Aneh bin unik. Unik sekaligus aneh. Ya,
ya, ya, mungkin kedengarannya agak-agak mirip—atau sama persis?—dengan judul sebuah
sinetron atau film animasi yang pernah kalian tonton di televisi.
Menurut cerita nenek angkatku saat menemukanku, katanya ada seekor
kupu-kupu warna kuning keemasan yang menghinggapi wajahku di pinggiran rel
kereta api tak jauh dari stasiun Lempuyangan. Kupu-kupu itulah yang kemudian
menginspirasi nenek untuk menamai bayi yang tak henti mengoek itu; Putri Kupu.
Sutarmi (orang-orang biasa memanggilnya Nek Tarmi) akhirnya mengangkat
bayi itu sebagai anaknya. Kebetulan ia hidup sebatang kara. Sudarmo, sang suami
telah berpuluh tahun meninggal dunia akibat terserempet kereta api kelas bisnis
yang tengah melaju dengan kecepatan setan, hanya beberapa meter dari arah rel
kereta api di stasiun Balapan saat ia tengah pulang memulung sampah.
Sementara Suwiryo, putra tunggal Nek Tarmi telah lama tak ada kekabar
nasibnya semenjak memutuskan merantau ke ibu kota beberapa tahun silam. Rutinitas
Nek Tarmi sehari-hari hanyalah berjualan nasi bungkus berdaun pisang, berlauk
khas; gudeg, sepotong telor dadar plus rempeyek kacang. Tiap pagi hingga
petang—kadang hingga larut malam—Nek Tarmi selalu terlihat mondar-mandir di
sekitar stasiun Lempuyangan, menjajakan nasi bungkus racikan jemarinya yang
kisut.
Hei, coba ingat-ingat! Mungkin, sewaktu tengah berada di stasiun
Lempuyangan menunggu datangnya kereta, kalian pernah menjumpai wanita baya
mengenakan kebaya dan jarik lusuh dengan selendang tersampir di leher sedang
sibuk mondar-mandir menjajakan nasi bungkus. Ya, saya pastikan wanita itu adalah
Nek Tarmi yang tengah kubincangkan kali ini.
Entah, apa jadinya nasibku saat ini, jika saja waktu itu tak diketemukan
oleh Nek Tarmi. Bisa jadi aku akan dimangsa anjing-anjing kurap yang biasa
mondar-mandir di seputaran rel kereta api itu. Aku masih ingat, saat Nek Tarmi berkisah,
bahwa sekujur tubuhku masih berwarna merah baur darah saat menemukanku. Ah,
sebegitu nistakah diri ini hingga ibu kandungku tidak menginginkan aku terlahir
ke dunia dan memutuskan untuk membuang saja darah dagingnya sendiri?
Baiklah, aku tak mau lagi mengungkit-ungkit masa kelamku yang sangat menyakitkan.
Dan yang patut aku syukuri, biar pun hidup bergelimang kemiskinan, tapi Nek
Tarmi begitu menyayangiku layaknya anak kandung sendiri. Bahkan, sekarang aku
bisa duduk di bangku Sekolah Dasar kelas tiga karena beliau sangat mengingini
kelak aku bisa menjadi anak yang pintar dan berpendidikan. Tidak seperti Nek
Tarmi yang bodoh dan buta huruf semenjak kecil bersebab beliau tidak pernah
mencecap pendidikan formal.
***
“Aku yakin itu bukan anakku!” ketus
lelaki berkulit kuning langsat.
O, betapa kedua telinga ini serasa dilumat serentet petir saat lelaki
yang telah setahun jadi pacarku itu mengatakan kalimat di luar dugaan benakku. Sungguh
demi Tuhan, tidak ada lelaki lain yang menitiskan bakal janin ke dalam perutku ini
seperti tuduhan tak beralibinya.
“Sumpah demi Tuhan, Mas! Aku ndak
pernah tidur dengan lelaki lain, selain kamu!” pekikku dengan dada bergolak.
“Ah, sudah, sudah! Aku tidak mau
berdebat lagi. Aku tahu kok, yang kamu butuhkan ini, bukan?” lelaki itu
menyeringai licik seraya menyorongkan amplop cokelat yang aku yakini berisi
setumpuk uang.
Tentu saja, aku langsung berang bukan kepalang. Hei, dia pikir aku ini pelacur
apa? Sungguh tak kunyana sama sekali, jika janji-janji manisnya selama ini adalah
palsu. Betapa selama ini aku telah terpedaya oleh mulut manisnya yang ternyata
berbisa. Tapi, apalah aku, yang hanya seorang gadis desa yang terlanjur terperangkap
oleh bujuk-rayu lelaki bangsat anak pejabat tinggi itu.
“Bangsat! Kamu pikir aku pelacur, hah?”
seraya melemparkan amplop itu ke wajahnya. Amarahku benar-benar mucuk,
mencelat dari ubunku. Ketika aku merangsek ingin memukul dan mencakar-cakar
wajahnya, ia dengan gesit berkelit dan mendorong tubuhku dengan kasar hingga badanku
limbung dan jatuh di pinggir trotoar. Lantas dengan lekas ia berlari menuju
sedan mewahnya di seberang jalan sana.
“Hei, bajingan! Tunggu! Dasar banci!” teriakku kalap ketika beberapa
detik kemudian sedan itu langsung melesat cepat.
Ah, mengenang masa-masa kelam itu, serasa ada ribuan anak sungai yang
dalam sekejap langsung mengelilingi manik mataku.
***
Sudah dua hari ini, sepulang
sekolah, aku merasa dibuntuti oleh seseorang. Rasanya seperti ada yang tengah
mengawasi segala gerikku. Entah siapa. Padahal tak ada sesiapa di belakangku.
Hanya seekor kupu-kupu kecil warna kuning keemasan yang kulihat berlesatan ke sana
kemari. Sesekali kupu-kupu cantik itu mengitari langkahku. Ia terus mengikuti
ayunan kakiku hingga akhirnya aku tiba di rumah kayunya Nek Tarmi di sebelah
selatan rel kereta api, beberapa ratus meter dari arah barat stasiun
Lempuyangan ini.
Kupu-kupu itu, meskipun bertubuh
mungil, tapi warnanya sungguh teramat cantik. Tubuhnya yang kuning keemasan
kian berkilau terang saat tertimpa semburat mentari yang tengah berada pada garis
istiwa. Berkali kedua tanganku menggapai ingin menangkap lantas
membawanya pulang. Sungguh, aku ingin sekali memelihara kupu-kupu cantik itu di
sebuah toples kaca yang akan kutaruh di kamarku. Tapi, kupu-kupu itu selalu lesat
tinggi saat ia mengetahui aku tengah berusaha menangkapnya.
***
Betapa hati ini berdenyar-denyar
bahagia melihat pertumbuhan putriku yang dari hari ke hari tumbuh kian besar. Paras
ayunya benar-benar khas orang Jawa. Persis wajahku saat masih belia. O,
betapa kebahagiaanku akan terasa menyempurna seandainya saja aku bisa merawatmu
secara langsung, Nak. Batinku dirasuki rasa ngilu. Tapi, apalah dayaku. Aku
telah dikutuk oleh sesumpahku sendiri. Bukankah pada waktu itu aku sendiri yang
mendamba berubah menjadi seekor kupu-kupu? Berharap segala dukaku kan meluruh?
Masih terekam menggamblang dalam
memori ingatan, saat aku memutuskan untuk tidak menggugurkan kandunganku yang
kian menggelembung. Hati kecilku selalu melarangku untuk membunuh janin tak
berdosa yang terlanjur menyemayam dalam perut ini.
Namun, ketika usia kandunganku mengambah bulan ke sembilan, entah mengapa
aku kembali dihantam gamang. Betapa tidak mudah tak menggubris ucap nyinyir
orang-orang kampung yang tak pernah berhenti menganggapku wanita murahan yang tak
punya urat malu; hamil di luar nikah.
Hingga akhirnya, keluarlah sesumpah
dari bibirku. Aku ingin menjadi kupu-kupu yang bisa bebas terbang kemana pun
aku mau. Dan entah kenapa, usai menyatakan kalimat sumpah itu, tiba-tiba
perutku berasa sakit luar biasa. Dan semuanya terasa pekat saat kepalaku
diserbu ribuan kunang-kunang hingga akhirnya tubuhku ambruk ke tanah.
Saat tersadar, betapa terperangahnya aku melihat kujur tubuhku telah
mengecil dan bersayap. Keterkejutanku pun kian jadi ketika kedua telingaku
menangkap jerit tangis bayi yang tergolek merah baur darah di sisiku.
***
Puring
Kebumen, 2011
Catatan:
Cerpen ini pernah dimuat di Koran Merapi, Minggu 20
Nopember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar