Rabu, Desember 02, 2015

Apalah Arti Sebuah Nama*


*Resensi ini dimuat koran Tribun Jateng, Minggu 29 November 2015

Judul Buku      : Namaku Subardjo
Penulis             : Hapsari Hanggarini
Penerbit           : Metamind
Cetakan           : I, Juli 2015
Tebal               : viii + 240 halaman
ISBN               : 978-602-72834-0-4

            Apalah arti sebuah nama. Kalau direnungi secara mendalam, ungkapan yang pernah dilontarkan oleh William Shakespeare ini memang ada benarnya juga. Ya, apalah arti sebuah nama jika nama yang tersemat dalam diri seseorang ternyata tidak mampu mencerminkan perilaku yang baik dan terpuji yang dapat dijadikan keteladanan bagi orang lain.
Setiap orangtua tentu akan berusaha mencarikan nama-nama yang bagus sekaligus indah untuk putra-putrinya. Di antara alasannya adalah; karena selain indah terdengar di telinga, nama juga diibaratkan doa. Jika nama tersebut memiliki arti atau makna yang baik, maka diharapkan anak tersebut kelak dapat tumbuh menjadi anak yang baik, anak berakhlak mulia yang berbakti kepada kedua orangtua dan bermanfaat bagi nusa bangsa serta agama.
Namun realitanya, banyak orangtua hanya terfokus memilihkan nama-nama yang bagus untuk anak-anaknya, sementara di sisi lain mereka lupa dengan kewajiban yang lebih prioritas, yakni mendidik anak. Sehingga, ketika anaknya tumbuh besar dan dewasa, ia tidak mampu menjadi anak yang baik seperti nama yang telah diberikan oleh orangtuanya.
Novel berjudul “Namaku Subardjo” karya Hapsari Hanggarini ini juga membahas tentang nama. Nama yang diberikan orangtua tapi tak diinginkan oleh anaknya karena dianggap terlalu kuno, sehingga menimbulkan banyak masalah di kemudian hari. Dikisahkan, Subardjo, tokoh utama yang memiliki paras cukup menawan dalam novel ini, merasa hidupnya sial dan kurang beruntung gara-gara ia memiliki nama yang tak ngepop dan jauh dari kata keren. Entah, ia juga tak tahu, apa sebenarnya alasan orangtuanya dulu memberikan nama “jadul” dan “ndeso” itu pada dirinya.
Kisah cintanya pun karam di tengah perjalanan gara-gara Priscilla, gadis cantik yang selama ini menjadi pacarnya, langsung merasa ill feell sekaligus malu ketika suatu hari mengetahui nama asli pacarnya adalah Subardjo. Sungguh, sangat bertolak belakang dengan namanya sendiri yang sangat ngepop dan kebarat-baratan; Priscilla Catherine Olivianti. Maklum, selama ini ia hanya mengetahui nama panggilannya saja, yaitu Jojo (hal 18-22).
Beruntung, Jojo memiliki Dina, adik perempuan yang baik, yang selalu siap menemani dan menghiburnya. Kedua kakak beradik ini adalah peranakan campuran keluarga dari kota Brebes dan Sidoarjo. Ibu berasal dari Sidoarjo, Bapak dari Brebes. Tinggal dan besar bersama orangtua yang berprofesi sebagai juragan telur asin di kota Brebes, membuat jiwa wirausaha keduanya telah tumbuh sejak kecil.
Bahkan, kedua orangtua Jojo dan Dina lantas mengembangkan bisnis tersebut hingga ke luar kota, yakni Jakarta. Ketika Jojo lulus SMA, ia diminta orangtuanya untuk melanjutkan bisnis telur asinnya di Jakarta sembari kuliah. Begitu juga dengan Dina. Ia diminta orangtuanya untuk menemani sekaligus membantu bisnis kakaknya di Jakarta sembari melanjutkan sekolah (hal 31-33).
Di Jakarta, bisnis telur asin yang dikelola Jojo dan adik perempuannya berkembang cukup pesat. Di tengah kesibukan Jojo berbisnis dan merampungkan skripsi, berbagai kejadian baik suka dan duka pun mewarnai kehidupannya. Setelah gagal dalam urusan asmara, tiba-tiba Rudy, salah satu pegawai Jojo, menawarinya agar ikut mendaftar jadi caleg di salah satu partai baru, yang konon memiliki misi mulia; memperjuangkan hak-hak rakyat. Akhirnya, Jojo yang sama sekali tak memiliki bakat jadi petinggi itu pun luluh dengan rayuan Rudy, pemuda yang memang sangat lihai bersilat lidah dan merayu itu.
Novel yang menjadi juara harapan pertama, dalam “Lomba Menulis Novel Remaja” bertema “Seberapa Indonesiakah Dirimu?” ini cukup menarik, penuh intrik dan kritik sosial, sekaligus dibumbui kejadian-kejadian konyol yang akan membuat pembaca tersenyum geli saat membacanya. Tak lupa, perilaku kotor dan licik yang biasa dilakukan oleh para petinggi saat musim Pemilu pun disindir dengan sangat lantang dalam buku ini.
***
*Penulis lepas bermukim di Kebumen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar