ENTAH telah berapa ratus
surat yang Nadia tulis untuk Ayah semenjak masih duduk di bangku ibtidaiyah
kelas satu hingga kini ia kelas empat. Tiap pekan, saat hari libur sekolah atau
ketika hari bertanggal merah, Nadia selalu menyempatkan waktu duduk
berlama-lama di dalam kamar menuliskan semua hal yang ia alami sehari-hari
sekaligus mengutarakan bahwa telah lama ia merindu kehadiran Ayah.
Menurut cerita Ibu, kelak suatu
ketika Ayah akan kembali ke rumah. Ayah, kata Ibu, pergi meninggalkan rumah
untuk mencari uang. Ayah pergi ketika usia Nadia belumlah genap dua tahun.
Ayah, kata Ibu, memiliki wajah tampan, berwibawa, dan gagah mirip almarhum Bung
Karno.
”Bung Karno itu siapa sih,
Bu,“ tanya Nadia waktu itu dengan raut polos, sementara sepasang bola mata
beningnya mengerjap-ngerjap.
Ibu tersenyum sekilas sebelum
akhirnya menjawab, ”Bung Karno itu presiden pertama di negeri ini. Kalau kamu
mau tahu dia, itu fotonya yang pakai jas cokelat dan peci hitam yang Ibu pajang
di ruang tamu.“
Tanpa bertanya atau menyahut
ucapan Ibu, Nadia langsung melesat menuju ruang tamu. Lama. Cukup lama ia
berdiri terpaku memandangi gambar seorang lelaki setengah badan mengenakan jas
cokelat dan berpeci hitam yang menempel di dinding kayu ruang tamu. Di bagian
bawah gambar itu ada sebaris tulisan singkat tercetak dengan huruf kapital yang
beberapa bulan kemudian saat Nadia telah bisa mengeja huruf dipahaminya bahwa tulisan
itu berbunyi: SOEKARNO, PRESIDEN RI KE I.
Nadia manggut-manggut seraya
tersenyum bangga saat memandangi wajah Bung Karno yang tertempel di dinding
kayu.
”Wah, Ayahku benar-benar gagah
dan tampan,“ bisik Nadia seraya membayangkan sosok Ayah tengah bersemayam di
dalam gambar Bung Karno. Sementara tanpa sepengetahuan Nadia, Ibu telah
beberapa menit lalu berdiri di belakangnya dengan mata penuh kabut.
***
Surat-surat yang rutin Nadia
tulis untuk Ayah itu lantas dimasukkan ke dalam kardus mi instan yang telah
diplester rapat. Sementara, bagian tengah kardus tersebut disobek dengan pisau
untuk memberi celah agar surat-surat tak beramplop itu bisa masuk. Selama tiga
tahun ini Nadia telah menghabiskan tiga buah kardus yang ia taruh di salah satu
pojokan kamar yang berisi surat-surat untuk Ayah. Jauh-jauh hari, dalam benak
Nadia telah tersusun sebuah rencana; kelak, saat Ayah pulang, ia akan
perlihatkan semua surat-surat yang susah payah ia tulis untuk Ayah.
Dulu, saat Nadia baru kelas
satu, nyaris tiap malam Ibu bercerita tentang sosok Ayah yang selalu
menggendong Nadia saat tiba-tiba terjaga dari lelap tidur dan menangis tanpa
sebab. Di gendongan Ayahlah kemudian Nadia baru bisa terdiam.
”Nadia pingin ketemu
Ayah, Bu, Nadia ingin digendong Ayah, Nadia ingin diajak jalan-jalan melihat
pantai sama Ayah.” Selalu itu yang ia katakan usai mendengar cerita tentang
sosok Ayah yang kata Ibu penyabar dan sangat menyayanginya.
“Nanti, nanti jika Ayahmu telah
kembali, ya, Nak,” begitu ucap Ibu dengan wajah sendu seraya meraih kedua bahu
Nadia dan lekas menarik tubuh mungilnya ke dalam dekapan Ibu yang hangat.
“Nadia kangen Ayah, Bu….”
Tanpa Nadia sadari, sebutir
embun perlahan meluncur dari kelopak mata Ibu hingga menyeberangi pipinya yang
mulai mengisut saat mendengar ucapan putrinya yang begitu merindukan sosok
Ayah. Kalau sudah begitu, tak ada lagi kata yang mampu terucap dari bibir Ibu
untuk sekadar menghibur Nadia selain yang bisa Ibu lakukan hanyalah kian
mengencangkan dekapan ke tubuh putrinya.
***
Telah beberapa hari ini, entah
mengapa saat Nadia bertanya tentang Ayah tak ada lagi cerita yang terucap dari
bibir Ibu. Tak ada lagi cerita tentang sosok Ayah yang katanya penyabar,
penyayang, dan suka menggendong Nadia saat menangis. Tak ada lagi cerita
tentang Ayah yang kata Ibu memiliki wajah tampan dan gagah, seperti almarhum
Bung Karno.
”Bu, kira-kira Ayah kapan
pulangnya, Nadia kangen.”
Ibu hanya membisu ketika
putrinya kembali bertanya tentang kabar Ayah. Wajah Ibu terlihat kosong dan
hampa. Tapi, berselang detik kemudian Ibu berusaha mengembangkan senyum, lantas
berkata dengan suara pelan, tapi menyimpan segunung kesedihan yang tak bisa
dipahami Nadia.
”Nadia, sebaiknya kamu tidur
dulu, ya? Sudah malam, besok kamu kan sekolah.”
”Nadia, coba lihat sekarang
sudah jam berapa, shalat berjamaah dulu, yuk.“
”Nadia, Ibu mau nyuci baju
dulu, nanti kita lanjutkan lagi mengobrolnya, ya.“ Dan, masih banyak
kalimat-kalimat lain yang terlontar dari bibir Ibu saat Nadia kembali dan
kembali bertanya perihal kabar Ayah.
Ah, sepertinya Ibu sengaja
mengalihkan pembicaraan. Sepertinya, Ibu mulai merasa bosan bercerita tentang
Ayah. Sepertinya Ibu… ah, apakah Ibu telah lupa dan tak lagi menyayangi Ayah?
Gumam kecewa Nadia dalam hati ketika melihat Ibu selalu berusaha mengalihkan
pembicaraan.
Meski sejuta tanda tanya
bernada kecewa datang menyerbu kepala, Nadia tak lagi berani bertanya tentang
Ayah saat raut Ibu berjuang keras menyembunyikan serpihan-serpihan kenangan
indah bersama Ayah.
***
Ayah, Nadia kangen, Yah. Nadia
kecewa pada Ibu yang tak lagi mau bercerita tentang Ayah. Nadia kesepian di
rumah, Yah. Nadia merasa sangat iri ketika melihat teman-teman Nadia dibonceng
ayahnya menuju pantai tiap Minggu. Nadia ingin sekali pergi ke pantai, Yah.
Kata teman-teman Nadia, air pantai itu rasanya asin dan lengket di tangan.
Nadia, ingin sekali membuktikannya, Yah. Tapi, Nadia tidak mau pergi ke pantai
kalau tidak bersama Ayah.
Bola mata Ibu menghangat
seketika saat membaca selembar surat yang tergeletak di atas meja, persis di
sebelah Nadia yang kepalanya terkulai dengan posisi sebelah tangan tertindih
kepala. Ah, rupanya Nadia ketiduran saat menulis surat untuk ayahnya yang belum
selesai itu. Surat yang ia tulis entah untuk ke berapa ratus kalinya. Surat
berisi gejolak kerinduan Nadia pada sosok Ayah.
Tak hanya kau saja, Nak. Ibu
juga rindu Ayah. Gumam hati Ibu menekan rasa perih di dada.
Tangan Ibu bergetar saat
meletakkan kembali surat itu ke atas meja. Baru saja tangan Ibu terjulur hendak
mengelus rambut Nadia, tiba-tiba Nadia mengigau.
”Yah, jangan tinggalkan Nadia,
Yah!“
”Ayaaah…!“
Ibu tak kuasa menahan dadanya
yang tiba-tiba bergemuruh. Ibu langsung tergugu begitu mendengar igauan
putrinya yang cukup sukses merajang hatinya. Perih. Betapa perih kenyataan yang
harus ia hadapi kini.
”Maaf, Nak, maafkan Ibu,
maafkan Ibu…” Ibu bergumam dengan bibir bergetar. Sebenarnya, selama ini Ibu
sengaja membohongi Nadia. Ayah sebenarnya telah lama meninggal dunia saat usia
Nadia belum genap dua tahun. Penyakit demam berdarah adalah penyebab nyawa Ayah
terlepas dari raganya. Ketiadaan biaya berobat ke rumah sakit ketika itu yang
membuat nyawa Ayah tak betah tinggal lebih lama dalam raganya.
Ah, sungguh Ibu merasa sangat
bersalah karena tak berterus terang saja sejak dulu bahwa Ayah telah lama
tiada. Niat Ibu sebenarnya sederhana, ia ingin menghibur Nadia (ketika bibir
polos Nadia tak pernah lelah menanyakan keberadaan Ayah) dengan mengatakan
bahwa Ayah sedang bekerja di luar kota. Tapi, ketika usia Nadia kian bertambah,
ternyata Ibu tak kuasa untuk terus-terusan berbohong.
”Maafkan Ibu, Nak, suatu saat
nanti, jika kamu telah dewasa, Ibu janji akan mengatakan yang
sebenar-benarnya…“ ucap lirih Ibu dalam hati.
Dengan penuh kelembutan, Ibu
merengkuh, membopong tubuh Nadia seraya mengurai rambut hitam yang menutupi
sebagian keningnya. Berkali Ibu mengecupi kening Nadia sebelum kemudian
menidurkannya di atas dipan bambu.
*) Dimuat Harian Republika, Januari 2014
Puring-Kebumen, 2012-2013
Penulis lahir dan bermukim di
Kebumen Jateng. Belajar menulis secara otodidak. Ratusan tulisannya telah menghiasi
berbagai media cetak, seperti Republika, Sindo, Suara Pembaruan, Radar
Surabaya, Majalah Kartini, Majalah Story, Majalah Basis, Tabloid Nova, Tabloid
Cempaka, dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar