Oleh: Sam
Edy Yuswanto
Cerpen ini dimuat di Koran Merapi, 27 Mei 2012
Nasrun terus berlari. Tak sedikit pun
ia hirau teriakan lelaki berdasi yang beberapa menit lalu menurunkan kaca mobil
dan mengangsurkan lembar lima ribuan ke arahnya. Rojak, teman sebaya Nasrun yang
kesehariannya menadahkan telapak tangannya pada mobil-mobil mewah yang berhenti
di lampu merah, langsung terlongo-longo tak percaya begitu melihat tingkah Nasrun
yang menurutnya sangat aneh dan tak seperti biasa itu.
“Aneh, orang mau dikasih uang kok
malah lari. Piye, tho, Kang Nasrun,” heran Rojak dengan logat Jawa
Timurnya yang terasa kental. Ia memang asli kelahiran Nganjuk dan telah tujuh
tahun hidup di ibu kota sebagai gepeng (gelandangan dan pengemis).
“Hei, kamu!” teriak lelaki berdasi dari
dalam mobil. Kepala Rojak berputar mencari gerangan siapa yang barusan dipanggil
oleh lelaki perlente yang sepertinya dari kalangan pejabat tinggi itu.
“Iya,
kamu!” teriak lelaki itu tuk kedua kali seraya menunjuk Rojak yang masih bergeming
dengan bibir melongo. Setelah tersadar bahwa yang dipanggil lelaki itu adalah dirinya,
Rojak pun gegas menghampiri.
“Nih,
buat kamu!” seraya melempar kertas lima ribuan ke arah Rojak dan lekas menaikkan
kembali kaca mobil gelapnya. Berselang detik, mobil sedan mewah warna hitam berplat
merah itu segera tancap gas meninggalkan cipratan air sisa hujan semalam hingga
memercik ke baju lusuh dan wajah kusam Rojak.
Rojak
mengelus dada seraya geleng kepala. Dalam hati, sungguh Rojak merasa terhina atas
perlakuan lelaki pejabat tak beretika itu. Tapi pada akhirnya, ia terpaksa
(karena tuntutan perut tentu saja) mengambil uang yang sempat terbang diembus
angin hingga jatuh di bibir trotoar.
***
“Kenapa tho, Kang, barusan Sampeyan
mau dikasih duit kok malah lari?” Tanya Rojak saat baru datang dan
melihat Nasrun tengah duduk mencakung di gubuk kardusnya, di sebelah stasiun.
Ah, seandainya saja Rojak tahu, bahwa
lelaki perlente itu sebenarnya dulu adalah rekan kerjanya. Ya Tuhan, sungguh Nasrun
tak mengira sama sekali, jika ia akan dipertemukan kembali dengan Bambang
Sukmaji, pejabat keparat licik itu dengan cara yang membuat Nasrun kian merasa
jatuh dan terhina di matanya.
Sungguh
tak pernah ia sangka, jika Bambang bersama rekan yang lain, diam-diam menjebak
dirinya basah-basah. Nasrun yang telah susah-payah berjuang membesarkan partai
tapi pada akhirnya malah disingkirkan. Hei, bukankah mereka ikut menikmati
kucuran suap saat dana proyek pembangunan taman kota itu akhirnya cair? Tapi,
kenapa hanya aku yang dipidanakan? Tanpa ada yang sudi membelaku? Alih-alih membela
atau bersimpati, mereka langsung menjauh dan terkesan cuci tangan. Bahkan
beberapa di antara mereka yang dulunya sangat akrab dengan Nasrun dan sering bercanda
bersama saat menghadiri berbagai acara ke luar kota bahkan saat lawatan ke luar
negeri, mendadak pura-pura bego dan tak kenal saat beberapa kali diwawancarai
oleh para wartawan.
Brengsek!
Bajingan!
Tak
henti-hentinya Nasrun mengumpati ketidaksetiakawanan mereka dalam hati.
“Diajak ngomong kok malah ngelamun,
tho, Kang?” Teguran Rojak sontak memotong lembar kelam yang tengah kembali
bereuni di tempurung kepala Nasrun.
“Aku lagi teringat kampung halaman,
Jak,” sahut Nasrun memilih berbohong. Ya Tuhan, beruntung sekali ia dipertemukan
dengan Rojak, lelaki lugu yang tak begitu menahu dengan carut-marutnya
birokrasi negeri ini. Betapa Nasrun masih ingat saat ia hendak melarikan diri
ke Singapura, dengan alasan klise tentu saja; memeriksakan kesehatannya
yang mendadak ngedrop. Tapi agaknya, taktik itu sudah tak ampuh lagi digunakan,
sebagaimana yang biasa dilakukan para pejabat lain yang sebelumnya tersandung
kasus korupsi (kalau tak lari ke luar negeri, pasti mendadak lupa bin pikun
atau sakit saat tiba hari persidangan). Karena sehari sebelum keberangkatan, Nasrun
mendengar selentingan kabar bahwa semua bandara telah dijaga ketat oleh aparat.
Hingga akhirnya, terbetik begitu
saja di benak Nasrun untuk menyaru menjadi gepeng. Dan kali ini taktiknya
berhasil dan tak terendus aparat. Hingga dua bulan berselang, paling tidak ia
bisa sedikit bernafas lega bersebab sudah tak lagi dikejar para wartawan yang
gila berita. Pula, tak dipusingkan ia dengan jadwal panggilan sidang yang membuat
tempurung kepalanya seperti mau terbelah saja.
“Makanya, mulai sekarang Sampeyan
sambil nabung dikit-dikit, biar tahun ini bisa mudik ke kampung halaman,” ujar Rojak
seraya merebahkan tubuhnya di atas lantai tanah beralaskan kardus bekas mie
instan.
Nasrun mengiyakan ucapan Rojak
dengan angguk lemah. Selama ini, Nasrun memang mengaku berasal dari kampung,
tepatnya di sebuah kampung terpencil di ujung kota Solo. Nasrun mengaku jadi
pengemis setelah seluruh uangnya ditilap penadah saat berada di metro mini, padahal
ia baru tiba di ibu kota guna mencari peruntungan seperti kawan-kawan lainnya
yang sudah terlebih dulu menjadi kaum urban.
***
“Lho, gambar ini wajahnya kok
mirip sekali dengan Kang Nasrun, ya?” dahi Rojak yang legam berdaki langsung
berlipat saat bola matanya tertumbuk pada potongan koran yang ada di tangannya.
Secara tak sengaja, usai makan nasi bungkus yang ia beli dari Mbok Wakijah,
pedagang nasi bungkus yang biasa mangkal di stasiun, pandangannya langsung terpahat
pada gambar close up yang terpajang di potongan koran pembungkus nasi
itu.
“Tapi ndak mungkin, Kang
Nasrun kan orang kampung, tampangnya saja ndeso begitu,” gumam
Rojak dengan gurat tak percaya.
Tuk
ke sekian kali, Rojak kembali memandangi lekat-lekat gambar pria mirip Nasrun yang
di atasnya bertuliskan: DICARI! KORUPTOR NEGARA! Bagi yang menemukan, segera
hubungi kantor polisi terdekat, atau hubungi No. Telp. di bawah ini. Disediakan
hadiah 50 juta rupiah bagi yang berhasil menangkapnya.
“Kang Nasrun!!” teriak Rojak saat
melihat Nasrun muncul dari balik gang yang menghubungkan ke lokasi lampu merah.
“Ada apa, tho, Jak?” Nasrun
langsung tergesa menghampiri Rojak yang tengah duduk di emperan ruko yang masih
tutup.
“Sampeyan sudah makan, Kang?”
Tanya Rojak.
“Belum. Kenapa? Kamu mau nraktir aku,
ya?” sambut Nasrun dengan wajah cerah.
“Nih, kebetulan aku beli nasi
bungkus dua,” Rojak menyodorkan nasi bungkus yang sebenarnya buat persediaannya
nanti sore.
Perut
Nasrun yang sejak pagi memang belum terisi nasi langsung menyambar nasi bungkus
itu. Saat Nasrun tengah khusyuk menyantap nasi bungkus itu, Rojak diam-diam memerhatikan
dengan begitu detail wajah Nasrun yang meskipun berkumis serta berjenggot
lebat, tapi memang sangat mirip dengan wajah di potongan koran bekas pembungkus
nasi itu. Sesekali bibir Rojak mengembangkan senyum misterius.
“Kamu kok senyam-senyum
sendiri, tho, Jak! Kamu baru menang lotre?” ucapan Nasrun sontak mengusir
lamunan Rojak.
“Eh, ndak. Ndak
apa-apa. Aku cuma heran lihat Sampeyan makannya lahap banget. Kayak
orang dua hari ndak makan,” Rojak tentu saja berbohong. Padahal dalam
hati ia tengah merencanakan sesuatu yang ia yakini akan segera mengubah takdir
hidupnya. Sementara Nasrun hanya terkekeh geli mendengar gurau kawannya itu.
***
Puring-Kebumen,
Oktober 2011
Catatan:
Piye: gimana. Mangkel:
kesal. Ndak: tidak. Sampeyan: kamu. Kang: panggilan kepada pria
yang lebih tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar