*Cerpen ini dimuat di Tabloid
Serambi Ummah
Kepergian Eri, kian
memerihkan luka di hati. Kini, ibu hidup sebatang kara. Terpasung sepi di
kampung halaman yang jauh dari bingarnya kehidupan kota, tempat ibu membesarkan
ketiga putrinya. Fitri, anak pertama ibu, telah lima tahun tinggal di Jakarta
bersama suami. Sementara Novi, anak kedua, juga ikut suaminya yang menjadi
anggota DPRD di Madiun. Kini Eri, bungsu harapan terakhir ibu pun diboyong
suaminya yang berprofesi sebagai juragan martabak terbesar di Surabaya.
“Ibu tenang saja di
rumah, ndak usah mikir yang macem-macem, ndak perlu jualan
kue lagi ke pasar. Eri janji, akan bantu kirim uang tiap bulan,” kata Eri
kemarin, di detik-detik terakhir berpisah dengan ibu.
Sepertinya Eri
kurang peka. Tak bisa menafsir gemurat kesedihan yang melipati raut ibu yang
setengah hati melepas kepergiannya. Sungguh, sejatinya ibu tak mengharap materi
dari anak-anaknya. Kalau sekadar hajat hidup sehari-hari, ibu masih bisa
mencukupi dengan berjualan kue di pasar. Ibu hanya berharap bisa berkumpul dan
hidup bahagia bersama ketiga anaknya—atau minimal ada salah seorang putrinya
yang sudi menemani atau mengajaknya tinggal di kota—hingga kelak tiba pada
garis ajalnya.
***
Semakin hari, ibu
merasa semakin terkurung sepi di rumah sendiri. Ah, andai saja Karman,
suami ibu kini masih hidup... Sayangnya, Karman keburu meregang nyawa, 10 tahun
silam. Ketika itu Karman sedang ngojek di pangkalan tak jauh dari
perlintasan kereta api. Ia terserempet kereta api saat menyeberang rel. Maklum saja, di perlintasan rel itu memang tak ada pagar
pengamannya.
“Assalamualaikum,” suara seseorang memenggal
lelamun ibu sore itu.
“Waalaikumsalam,” sahut ibu seraya bergegas menuju
pintu.
“Masuk, Met!” ibu mempersilakan tamunya begitu pintu
telah terkuak.
Pemuda bernama Slamet, tetangga ibu,
lantas bergegas masuk dan duduk di salah satu kursi kayu.
“Ada apa, Met?” tanya ibu seraya duduk menjejeri Slamet.
“Tadi Mbak Fitri SMS. Katanya, ia baru ngirim
paket televisi berwarna buat ibu, mungkin seminggu sampai,” Slamet menerangkan
kabar—yang menurutnya adalah kabar gembira—itu dengan wajah cerah. Namun,
ternyata ekspresi
raut ibu tetap tak berubah. Datar. Biasa saja.
“Kok sepertinya
Ibu ndak senang tho dengar kabar Slamet?” heran Slamet.
“Ibu merasa ndak butuh televisi, Met,” ujar ibu lirih.
“Kata Mbak Fitri,
televisi itu buat nemenin Ibu, biar Ibu ndak terlalu kesepian di
rumah,” Slamet mencoba menerangkan alasan Fitri.
“Ya sudah, ndak
usah dibahas. Ndak penting, kok,” sepertinya ibu enggan
mengomentari lagi.
“Oiya Met,
besok pagi tolong antar Ibu ke pasar, ya? Ibu mau jualan kue lagi,” kata
ibu kemudian.
“Lho? Ibu mau
jualan kue lagi? Bukannya Mbak Fitri dan Mbak Novi sudah ngirimi uang
tiap bulan? Mbak Eri juga pernah bilang, agar Ibu ndak usah jualan
lagi,”
“Buat kesibukan,
Met. Ibu ndak betah kalau hanya berdiam diri terus-terusan di rumah. Lagian,
Ibu telah terbiasa berjualan kue sejak anak-anak Ibu masih kecil,” Slamet hanya mengangguk-anggukan kepala
mendengar penuturan ibu. Ya, bagi perempuan lanjut usia macam ibu yang sedari
muda gigih berkerja, memang terasa sangat menyiksa menjalani hari-hari senjanya
hanya berdiam diri tanpa aktivitas.
***
Seminggu berlalu. Paket
televisi yang dijanjikan Fitri pun datang lengkap dengan antenanya. Slamet dan
Jarwo yang mengambil paket itu ke kantor pos. Sesampai di rumah, kedua pemuda
putus sekolah dan akhirnya menjadi petani abadi itu segera menuju pekarangan
belakang guna menebang bambu yang banyak bergerombol di sana. Bambu itulah yang
akan digunakan untuk mendirikan antena. Tapi, saat Jarwo dan Slamet tengah
memilih bambu yang lurus, ibu keburu datang menegur.
“Kalian ndak
usah repot-repot nebangi bambu, sebaiknya kalian makan dulu saja di
dapur, Ibu sudah masakin mie, nanti keburu dingin,” ujar ibu seraya
menyuruh keduanya makan.
“Tapi kata Mbak
Fitri, aku dan Jarwo disuruh masang antenanya,” ujar Slamet.
“Ucapan Fitri ndak usah kalian pikir. Biar kapan-kapan kalau dia
nanya, Ibu yang akan menjelaskan,”
***
“Piye, Met? Televisinya
ndak rusak, kan? Antenanya sudah di pasang?” Suara perempuan yang sangat dikenali Slamet langsung memberondongi
dengan pertanyaan begitu Slamet mengangkat ponselnya pagi itu.
“Sudah Mbak. Tapi…,” Slamet tak melanjut kalimatnya.
“Kenapa, Met?” kejar perempuan di ujung telepon tak
sabar.
Slamet pun menjelaskan alasan ibu.
“Ya sudah, biar
kapan-kapan aku yang ngomong sama Ibu. Terima kasih
atas bantuannya, ya, Met,” Fitri memilih menyudahi pembicaraan.
Dua minggu berlalu.
Televisi berwarna 14 inci itu masih teronggok di pojok ruang tamu. Ibu
benar-benar tak peduli dengan barang elektronik yang banyak digandrungi
masyarakat itu. Bagi ibu, ada dan tidaknya televisi, tak akan bisa menggantikan
posisi anak-anaknya yang kini jauh di rantau.
***
“Assalamualaikum,” lantang Slamet di
depan pintu rumah ibu. Sore itu Slamet hendak mengantar paket pos berisi ponsel
kiriman Novi. Katanya, biar ia bisa memantau keadaan ibu sewaktu-waktu. Sesuai
pesan, Slamet disuruh mengaktifkan ponsel tersebut.
“Assalamualaikum,”
Sepi. Slamet pun mengulang salamnya. Tapi tetap tak berjawab. Ke mana gerangan
Ibu, ya? Biasanya sore-sore begini beliausedang
membersihkan rumah. Batin Slamet dijejali tanya. Slamet jadi tak sabar. Diraihnya gagang pintu kayu itu lalu
didorongnya pelan.
“Masya Allah!
Ibuu?!” Slamet terpekik ketika melihat tubuh ibu terkulai di lantai.
Berkali Slamet
menggoyang-goyang bahu ibu, tapi tetap bergeming. Dan kepanikan Slamet kian memuncak,
ketika menyadari bahwa ibu telah tiada.
“Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun,”
Baru saja Slamet hendak membopong tubuh ibu, tiba-tiba
dari dalam saku kemejanya terasa ada benda yang bergetar-getar, seiring suara ringtone
yang memekak telinga karena volumenya tersetting full. Dengan
tangan gemetar Slamet merogoh benda mungil itu.
“Mbak Novi?” wajah Slamet kian memias begitu melihat
nama ‘Novi’ berkedip-kedip di layar ponsel tersebut.
***
Kebumen, 2011-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar