*Cerpen ini dimuat di Annida-Online tahun 2010
*Gambar diambil dari web gulangguling.com
Sebagai pasangan pengantin baru,
tentu tak berlebihan bukan, jika aku selalu ingin diperhatikan dan dimanja oleh
Mas Gunawan, suamiku. Dan, aku bersyukur, karena Mas Gun – begitu panggilan
keseharianku kepadanya – adalah tipe lelaki romantis. Yang selalu memberikan
kejutan-kejutan hangat dan manis semenjak malam pertama hingga malam-malam
berikutnya.
Namun kini kehangatan yang selalu
Mas tampakkan perlahan memupus, semenjak digelarnya piala dunia beberapa hari
lalu. Tentu saja, aku merasa terabaikan. Tak diacuhkan. Aku jadi merasa sepi
sendiri saat senja beringsut malam, padahal suamiku tak pergi kemana. Mas Gun
yang tiap malam Minggu mengajakku makan bakso favorit di sebelah terminal pun,
kini tak ada waktu buat mengajakku lagi.
“Kalau hanya mau beli bakso, kamu kan
bisa beli baksonya Mang Dadang, yang
biasanya lewat depan rumah, Say,” ujar Mas Gun ber-Say-Say saat lepas Magrib
aku kembali mengajaknya jalan-jalan ke alun-alun dan mengakhirinya dengan
bersantap baksonya Pak Kirno, sebelah terminal.
“Ah, tetep aja masih kalah dengan
baksonya Pak Kirno. Ayolah Mas Gun, aku kan juga pengen jalan-jalan menikmati suasana
malam minggu kayak biasanya,” aku terus merajuk.
“Lain kali aja lah, Say, soalnya ntar jam tujuh ada pertandingan bola tim
jagoanku, sayang kalo dilewatkan.
Piala dunia kan nggak
setiap tahun digelar, Say,” keterangan Mas Gun, udah nggak mau, pakai bersay-say
pula, terang saja membuatku gondok. Sebal. Ugh!
Bola lagi bola lagi. Dasar Gibol. Gila Bola!
Masa dia lebih mementingkan bola sih
daripada perasaan istrinya yang sedang butuh suasana romantis dan tentu saja ingin
perhatian kasih sayangnya? Rutukku kesal. Dan malam itu aku gagal bermalam
minggu sembari menikmati baksonya Pak Kirno yang uenak tenan. Lepas
Isya, aku langsung meringkuk di kamar. Aku lebih sreg mengisi waktu
senggangku dengan membaca buku dan majalah daripada menemani Mas Gun menonton
bola di ruang tamu yang acap diselingi teriakan, sesekali kepalan tinju
pertanda gemas karena pemain jagoannya gagal menembus gawang lawan.
***
Tengah malam, aku terjaga paksa saat
mendengar teriakan ‘gooool’ dari mulut Mas Gun. Jantungku rasanya mau copot. Kulirik
jam dinding silver di dinding kamar. Jam dua? Gila. Perasaan sejak jam tujuh
Mas Gun sudah stand by di depan televisi. Sampai selarut inikah
pertandingan bola tim jagoannya belum kelar juga? Aku menarik paksa tubuhku
dari ranjang. Setelah kurapikan rambutku yang acak-acakan dan melangkah ke
dapur mengambil air putih untuk meredakan tenggorokanku yang mendadak
kerontang, segera kuhampiri suamiku yang masih asyik nonton bola.
“Mas, udah malam, nih. Ingat besok pagi-pagi ngantor, lho,” tegurku pelan, mencoba menahan
gumpalan kesal dalam dada. Bagaimana pun dia suamiku, lelaki yang berhak
menjadi kepala rumah tanggaku, dan hingga saat ini aku masih berusaha
menghormati dan memahami kegilaannya pada benda bulat yang katanya juga digilai
mayoritas penduduk dunia itu.
“Wah, ini lagi seru-serunya, Say,”
sahutnya santai masih dengan kata ‘say’nya yang menyebalkan tanpa sedikit pun
menolehku.
Aku mencoba duduk di sebelahnya. Berusaha
menetralisir kegondokanku yang kian menyiksa.
“Eh,
kamu mau nonton juga, Say. Bagus! Rugi memang kalo sampe dilewatkan. Ini pertandingan keren, Argentina
melawan Korea Selatan,” ujarnya tanpa kutanya, kali ini dengan menolehkan
kepalanya sebentar lalu kembali asyik menatap layar LCD 21 inci.
“Mas,”
nyaris aku mengucapkannya tanpa suara. Tentu Mas Gun tak mendengar panggilanku
yang sudah pasti terkalahkan oleh suara sorak-sorai para supporter bola yang berteriak
menyemangati tim pujaannya.
Benar. Ia tak mendengar panggilanku
barusan. Terbukti dia tetap bergeming, tak menolehku. Ah! Segera kuuendapkan saja hasrat
keperempuananku yang kepingin menikmati peluk mesra suami di malam dingin yang kian
menusuk kulit ini.
***
Aku terjaga dari tidur saat Mas Gun
membopong tubuhku dan merebahkanku di ranjang. Rupanya aku ketiduran saat
mendampinginya nonton bola semalam. Kulihat seulas senyum merekah di sudut
bibirnya. Kedua matanya nampak memerah kelelahan. Lalu, dia mengecup pipiku
pelan, sebelum beberapa menit selanjutnya akhirnya langsung pulas dengan
dengkur halus di sebelahku. Dan, sama sekali aku tak berhasrat mengusik
lelapnya.
Pelan kutarik tubuhku, melirik jam dinding yang menggantung setia di
sana. Jam tiga
pagi lebih dua puluh menit. Astaghfirullah…,
nyaris semalam suntuk waktu yang semestinya digunakan untuk istirahat setelah
seharian berkutat dengan pekerjaan di kantor, malah dihabiskan di depan televisi.
Jangan-jangan semalam Mas Gun lupa shalat Isya? Ah! Semoga saja firasatku
keliru.
***
“Mas, bangun, Subuhan dulu, tuh,” tanganku menggoyang pelan tubuh
Mas Gun yang masih tampak pulas dengan dengkuran halusnya.
Dia hanya menggeliat, mengubah
posisi tidurnya dari miring ke samping menjadi rebah telentang.
“Mas, Subuhan dulu, gih, masa shalat kalah sama bola,”
kuusap-usap kepalanya yang sedikit botak, berharap dia segera terbangun.
“Jam berapa, Say,” ucapnya lirih
tanpa sedikitpun membuka kedua bola matanya yang berhiaskan alis tebal. Hmm, bahkan dalam posisi tidur dengan
dua mata terpejam begini, Mas Gun tetap saja terlihat ganteng, gumamku.
“Jam setengah enam kurang sepuluh
menit,”
Eh, bukannya segera bangun, Mas Gun
malah membalikkan tubuhnya.
“Ih,
Mas, buruan bangun, subuhan dulu. Ntar
keburu waktunya habis, lho,” aku
menarik-narik lengannya.
“Bentar, Say, masih ngantuk,”
sahutnya malas.
Berulangkali kucoba membangunkannya,
tapi hingga jam tujuh, di mana pada jam tersebut Mas Gun harus sudah tiba di
kantor, dia masih belum terbangun juga. Dan, sengaja aku tak membangunkannya
lagi memang. Kekesalanku sudah memuncak. Dan, hari ini, aku ingin memberikan
pelajaran pada suamiku. Biar saja ia malu ditegur pimpinannya di kantor. Biar
dia bisa mengerti bagaimana arti kedisiplinan sesungguhnya. Supaya ke depan Mas
Gun lebih bisa me-menej lagi waktunya, harapku dalam batin.
Akhirnya, setelah kutunggu sembari
membaca buku di ruang tamu, jam delapan lebih empat puluh menit, Mas Gun
terbangun juga dari pulasnya.
“Say, kok nggak mbangunin aku sih,”
katanya sambil menjejeriku yang tengah asyik membaca di sofa ruang tamu.
“Mas, Mas, udah berkali-kali sampai capek aku mbangunin kamu, tapi tetap saja, kamu lebih mementingkan dirimu
dari pada panggilan Tuhan,” sahutku tanpa menoleh. Walau aku telah berusaha
menahan emosi, tapi agaknya nada bicaraku masih kentara ketusnya.
“Sori deh, Say. Aku ngantuk banget
soalnya,” ucapnya tanpa kutemukan sedikit pun rasa sesal dari nada bicaranya.
“Mas, mestinya mohon maafnya jangan
sama aku,” kali ini kucoba menatap wajah suamiku yang masih kusut dan lesu. Keningnya
mengerut, mungkin tak paham dengan kalimatku barusan.
“Sama siapa,” tanyanya kemudian,
masih belum bisa mencerna ucapanku. Ah, sebegitu dahsyatkah virus Gibol hingga
membuatnya lalai untuk memenuhi panggilan ibadah dari Sang Khaliq?
“Ya minta ampun sama Tuhan lah, Mas. Udah, cepetan di-qodho
dulu shalatnya sana,”
kataku sambil kembali menekuri bacaanku.
“Ya, ampun, Say. Aku nggak subuhan tadi, ya, astaghfirullah,” sahutnya santai lantas
bangkit dari sofa dan gegas menuju kamar mandi.
Seusai mandi dan meng-qodho
shalat Subuh, Mas Gun (dengan wajah yang lagi-lagi terlihat santai)
menghampiriku yang masih terus menyelesaikan bacaan. Dia duduk menjejeri,
merangkulku. Aku menatapnya heran, kok
dia begitu santainya tak berangkat ngantor?
Jangan-jangan virus Gibolnya juga telah membuatnya amnesia? Eh, dia malah senyam-senyum menatapku.
“Kenapa, Say, mau nanya kenapa aku nggak ngantor? Kan
ini hari libur,” katanya tersenyum lebar seakan bisa membaca isi benakku. Terang
saja aku makin gondok dibuatnya. Ya, benar. Bukankah ini hari libur? Duh,
kenapa juga malah aku yang jadi amnesia begini. Aku pun makin cemberut
dibuatnya.
Berarti aku mesti segera cari cara lain biar Mas Gun tak mengabaikan dan
menggodaku seperti ini lagi, aku juga tak mau gara-gara kegilaannya pada bola
hingga mengalahkan perintah Tuhan, gumamku dalam batin.
***
Kebumen,
Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar