Rabu, Desember 16, 2015

Gibol*



*Cerpen ini dimuat di Annida-Online tahun 2010
 
*Gambar diambil dari web gulangguling.com 
            Sebagai pasangan pengantin baru, tentu tak berlebihan bukan, jika aku selalu ingin diperhatikan dan dimanja oleh Mas Gunawan, suamiku. Dan, aku bersyukur, karena Mas Gun – begitu panggilan keseharianku kepadanya – adalah tipe lelaki romantis. Yang selalu memberikan kejutan-kejutan hangat dan manis semenjak malam pertama hingga malam-malam berikutnya.
            Namun kini kehangatan yang selalu Mas tampakkan perlahan memupus, semenjak digelarnya piala dunia beberapa hari lalu. Tentu saja, aku merasa terabaikan. Tak diacuhkan. Aku jadi merasa sepi sendiri saat senja beringsut malam, padahal suamiku tak pergi kemana. Mas Gun yang tiap malam Minggu mengajakku makan bakso favorit di sebelah terminal pun, kini tak ada waktu buat mengajakku lagi.
            “Kalau hanya mau beli bakso, kamu kan bisa beli baksonya Mang Dadang,  yang biasanya lewat depan rumah, Say,” ujar Mas Gun ber-Say-Say saat lepas Magrib aku kembali mengajaknya jalan-jalan ke alun-alun dan mengakhirinya dengan bersantap baksonya Pak Kirno, sebelah terminal.  
            “Ah, tetep aja masih kalah dengan baksonya Pak Kirno. Ayolah Mas Gun, aku kan juga pengen jalan-jalan menikmati suasana malam minggu kayak biasanya,” aku terus merajuk.
            “Lain kali aja lah, Say, soalnya ntar jam tujuh ada pertandingan bola tim jagoanku, sayang kalo dilewatkan. Piala dunia kan nggak setiap tahun digelar, Say,” keterangan Mas Gun, udah nggak mau, pakai bersay-say pula, terang saja membuatku gondok. Sebal. Ugh! Bola lagi bola lagi. Dasar Gibol. Gila Bola!  
Masa dia lebih mementingkan bola sih daripada perasaan istrinya yang sedang butuh suasana romantis dan tentu saja ingin perhatian kasih sayangnya? Rutukku kesal. Dan malam itu aku gagal bermalam minggu sembari menikmati baksonya Pak Kirno yang uenak tenan. Lepas Isya, aku langsung meringkuk di kamar. Aku lebih sreg mengisi waktu senggangku dengan membaca buku dan majalah daripada menemani Mas Gun menonton bola di ruang tamu yang acap diselingi teriakan, sesekali kepalan tinju pertanda gemas karena pemain jagoannya gagal menembus gawang lawan.
***
            Tengah malam, aku terjaga paksa saat mendengar teriakan ‘gooool’ dari mulut Mas Gun. Jantungku rasanya mau copot. Kulirik jam dinding silver di dinding kamar. Jam dua? Gila. Perasaan sejak jam tujuh Mas Gun sudah stand by di depan televisi. Sampai selarut inikah pertandingan bola tim jagoannya belum kelar juga? Aku menarik paksa tubuhku dari ranjang. Setelah kurapikan rambutku yang acak-acakan dan melangkah ke dapur mengambil air putih untuk meredakan tenggorokanku yang mendadak kerontang, segera kuhampiri suamiku yang masih asyik nonton bola.
            “Mas, udah malam, nih. Ingat besok pagi-pagi ngantor, lho,” tegurku pelan, mencoba menahan gumpalan kesal dalam dada. Bagaimana pun dia suamiku, lelaki yang berhak menjadi kepala rumah tanggaku, dan hingga saat ini aku masih berusaha menghormati dan memahami kegilaannya pada benda bulat yang katanya juga digilai mayoritas penduduk dunia itu.
            “Wah, ini lagi seru-serunya, Say,” sahutnya santai masih dengan kata ‘say’nya yang menyebalkan tanpa sedikit pun menolehku.
            Aku mencoba duduk di sebelahnya. Berusaha menetralisir kegondokanku yang kian menyiksa.
            Eh, kamu mau nonton juga, Say. Bagus! Rugi memang kalo sampe dilewatkan. Ini pertandingan keren, Argentina melawan Korea Selatan,” ujarnya tanpa kutanya, kali ini dengan menolehkan kepalanya sebentar lalu kembali asyik menatap layar LCD 21 inci.
            “Mas,” nyaris aku mengucapkannya tanpa suara. Tentu Mas Gun tak mendengar panggilanku yang sudah pasti terkalahkan oleh suara sorak-sorai para supporter bola yang berteriak menyemangati tim pujaannya.
            Benar. Ia tak mendengar panggilanku barusan. Terbukti dia tetap bergeming, tak  menolehku. Ah! Segera kuuendapkan saja hasrat keperempuananku yang kepingin menikmati peluk mesra suami di malam dingin yang kian menusuk kulit ini.
***
            Aku terjaga dari tidur saat Mas Gun membopong tubuhku dan merebahkanku di ranjang. Rupanya aku ketiduran saat mendampinginya nonton bola semalam. Kulihat seulas senyum merekah di sudut bibirnya. Kedua matanya nampak memerah kelelahan. Lalu, dia mengecup pipiku pelan, sebelum beberapa menit selanjutnya akhirnya langsung pulas dengan dengkur halus di sebelahku. Dan, sama sekali aku tak berhasrat mengusik lelapnya.
Pelan kutarik tubuhku, melirik jam dinding yang menggantung setia di sana. Jam tiga pagi lebih dua puluh menit. Astaghfirullah…, nyaris semalam suntuk waktu yang semestinya digunakan untuk istirahat setelah seharian berkutat dengan pekerjaan di kantor, malah dihabiskan di depan televisi. Jangan-jangan semalam Mas Gun lupa shalat Isya? Ah! Semoga saja firasatku keliru.
***
            “Mas, bangun, Subuhan dulu, tuh,” tanganku menggoyang pelan tubuh Mas Gun yang masih tampak pulas dengan dengkuran halusnya.
            Dia hanya menggeliat, mengubah posisi tidurnya dari miring ke samping menjadi rebah telentang.
            “Mas, Subuhan dulu, gih, masa shalat kalah sama bola,” kuusap-usap kepalanya yang sedikit botak, berharap dia segera terbangun.  
            “Jam berapa, Say,” ucapnya lirih tanpa sedikitpun membuka kedua bola matanya yang berhiaskan alis tebal. Hmm, bahkan dalam posisi tidur dengan dua mata terpejam begini, Mas Gun tetap saja terlihat ganteng, gumamku.
            “Jam setengah enam kurang sepuluh menit,”
            Eh, bukannya segera bangun, Mas Gun malah membalikkan tubuhnya.
            Ih, Mas, buruan bangun, subuhan dulu. Ntar keburu waktunya habis, lho,” aku menarik-narik lengannya.
            “Bentar, Say, masih ngantuk,” sahutnya malas.
            Berulangkali kucoba membangunkannya, tapi hingga jam tujuh, di mana pada jam tersebut Mas Gun harus sudah tiba di kantor, dia masih belum terbangun juga. Dan, sengaja aku tak membangunkannya lagi memang. Kekesalanku sudah memuncak. Dan, hari ini, aku ingin memberikan pelajaran pada suamiku. Biar saja ia malu ditegur pimpinannya di kantor. Biar dia bisa mengerti bagaimana arti kedisiplinan sesungguhnya. Supaya ke depan Mas Gun lebih bisa me-menej lagi waktunya, harapku dalam batin.
            Akhirnya, setelah kutunggu sembari membaca buku di ruang tamu, jam delapan lebih empat puluh menit, Mas Gun terbangun juga dari pulasnya.
            “Say, kok nggak mbangunin aku sih,” katanya sambil menjejeriku yang tengah asyik membaca di sofa ruang tamu.
            “Mas, Mas, udah berkali-kali sampai capek aku mbangunin kamu, tapi tetap saja, kamu lebih mementingkan dirimu dari pada panggilan Tuhan,” sahutku tanpa menoleh. Walau aku telah berusaha menahan emosi, tapi agaknya nada bicaraku masih kentara ketusnya.
            “Sori deh, Say. Aku ngantuk banget soalnya,” ucapnya tanpa kutemukan sedikit pun rasa sesal dari nada bicaranya.
            “Mas, mestinya mohon maafnya jangan sama aku,” kali ini kucoba menatap wajah suamiku yang masih kusut dan lesu. Keningnya mengerut, mungkin tak paham dengan kalimatku barusan.
            “Sama siapa,” tanyanya kemudian, masih belum bisa mencerna ucapanku. Ah, sebegitu dahsyatkah virus Gibol hingga membuatnya lalai untuk memenuhi panggilan ibadah dari Sang Khaliq?
            “Ya minta ampun sama Tuhan lah, Mas. Udah, cepetan di-qodho dulu shalatnya sana,” kataku sambil kembali menekuri bacaanku.
            “Ya, ampun, Say. Aku nggak subuhan tadi, ya, astaghfirullah,” sahutnya santai lantas bangkit dari sofa dan gegas menuju kamar mandi.
            Seusai mandi dan meng-qodho shalat Subuh, Mas Gun (dengan wajah yang lagi-lagi terlihat santai) menghampiriku yang masih terus menyelesaikan bacaan. Dia duduk menjejeri, merangkulku. Aku menatapnya heran, kok dia begitu santainya tak berangkat ngantor? Jangan-jangan virus Gibolnya juga telah membuatnya amnesia? Eh, dia malah senyam-senyum menatapku.
            “Kenapa, Say, mau nanya kenapa aku nggak ngantor? Kan ini hari libur,” katanya tersenyum lebar seakan bisa membaca isi benakku. Terang saja aku makin gondok dibuatnya. Ya, benar. Bukankah ini hari libur? Duh, kenapa juga malah aku yang jadi amnesia begini. Aku pun makin cemberut dibuatnya.
Berarti aku mesti segera cari cara lain biar Mas Gun tak mengabaikan dan menggodaku seperti ini lagi, aku juga tak mau gara-gara kegilaannya pada bola hingga mengalahkan perintah Tuhan, gumamku dalam batin.
***
Kebumen, Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar