Oleh Sam Edy Yuswanto
*Lomba Resensi Novel Pulang
*cover buku koleksi pribadi
Judul Buku : Pulang
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika Penerbit
Cetakan : I, September 2015
Tebal : iv + 400 halaman
ISBN : 9786020822129
Sungguh, sejauh apa pun kehidupan
menyesatkan, segelap apa pun hitamnya jalan yang kutempuh, Tuhan selalu
memanggil kami untuk pulang (hal 400).
Pulang, merupakan judul novel
terbaru karya Tere Liye, salah satu penulis produktif di negeri ini yang telah
melahirkan novel-novel bestseller dan sebagiannya telah diangkat ke
layar lebar. Novel setebal 400 halaman ini cukup menarik, penuh intrik, menguras
emosi, menegangkan, dan (sebagaimana khas-nya Tere Liye selama ini) sarat pembelajaran
hidup. Menariknya, pembelajaran hidup yang disisipkan ke dalam alur cerita oleh
penulis bernama asli Darwis ini, sama sekali tak terkesan menggurui pembaca. Mungkin
inilah salah satu alasan mengapa karya-karyanya selalu mendapat tempat khusus
di hati para pembaca setianya.
Tokoh utama dalam novel ini bernama Bujang, seorang pemuda pemberani
yang setelah melalui berbagai penderitaan dan pengalaman hidup penuh lika-liku,
bahkan selama bertahun-tahun terjebak ke dalam dunia hitam, akhirnya dengan
susah payah menemukan setitik cahaya putih yang membuatnya merasa rindu untuk
segera ‘pulang’.
Bujang terlahir dari sebuah keluarga
yang memiliki masa lalu sangat pahit. Samad dan Midah, kedua orangtuanya, harus
terusir dari kampung kelahiran setelah nekat melangsungkan pernikahan beda
kasta, lantas memutuskan bermukim di sebuah kampung terpencil di lereng Bukit
Barisan, Sumatera. Semua bermula ketika Samad berusia 20 tahun dan berniat
melamar Midah, gadis yang sangat ia cintai dan juga mencintainya. Namun, lamaran
tersebut ditolak mentah-mentah oleh keluarga besar Midah (hal 13). Alasannya,
karena ayah Midah yang dijuluki Tuanku Imam adalah seorang pemuka agama ternama
di kampungnya. Sementara Samad berasal dari keluarga perewa (penjahat).
Ayah Samad yang dijuluki ‘Si Mata Merah’ dulunya adalah seorang tukang jagal
paling ditakuti (hal 144).
Samad merasa frustrasi dan sakit hati karena lamarannya ditolak
hanya karena perbedaan masa lalu orangtuanya yang sama sekali tak ada sangkut
paut dengan dirinya. Ia pun memilih pergi dari kampung hingga akhirnya terjebak
ke dalam lembah hitam. Darah tukang pukul yang mengaliri tubuh sang ayah
rupanya mengalir juga padanya. Di Kota Provinsi, ia dilatih menjadi seorang
tukang pukul nomor satu oleh Keluarga Tong, penjahat kelas kakap yang sangat
disegani, baik oleh sesama penjahat maupun pemerintah. Sebenarnya, dulu Samad
adalah pemuda baik dan taat menjalankan perintah agama. Namun, sejak lamarannya
ditolak, ia berubah drastis menjadi sosok yang tak lagi memedulikan ajaran
syariat.
Setelah bertahun-tahun menjadi tukang pukul hingga kaki sebelahnya
lumpuh demi menyelamatkan pimpinan Keluarga Tong, akhirnya Samad memilih
berhenti dan pulang ke kampung halaman. Rasa cintanya pada Midah yang tak
pernah pupus membuatnya bertekad mendatangi kembali rumah Tuanku Imam untuk
melamar Midah yang telah lama bercerai dengan suami pilihan orangtuanya. Sebagian
keluarga Midah memang merestui tapi sebagian lain dan masyarakat setempat
menolak mentah-mentah. Inilah alasan utama yang membuat Samad dan Midah
akhirnya terusir dari kampung halaman dan memilih tinggal di sebuah kampung
terpecil di lereng Bukit Barisan dan menjalani kehidupan dengan bercocok tanam.
Dengan segala keterbatasan, mereka membuka lembaran kehidupan baru.
Kemudian, lahirlah Bujang. Di tangan Midah, Bujang dididik beragam ilmu, baik
ilmu umum maupun agama. Berbeda dengan Samad yang mendidik Bujang dengan keras
dan melarangnya belajar agama. Bahkan, Samad tak segan memukul Bujang saat
memergokinya tengah belajar mengaji pada ibunya. Saat Bujang berusia 15, tiba-tiba
Tauke Besar, keturunan Keluarga Tong yang saat itu menjadi penguasa utama,
datang menjemput Bujang. Usut punya usut, rupanya Samad dulu pernah berjanji
pada Keluarga Tong, bahwa kelak jika memiliki anak laki-laki maka akan diambil
oleh Keluarga Tong untuk diangkat sebagai anak sekaligus tukang pukul andalan
di keluarga tersebut. Tentu saja Midah merasa sangat keberatan anak lelaki
semata wayangnya harus diboyong ke kota,
tapi manalah mampu ia melawan karakter keras suaminya.
Di ibu kota,
Bujang tak hanya dilatih menjadi tukang pukul nomor wahid, tapi juga
disekolahkan hingga ke luar negeri. Tauke berharap Bujang menjadi tukang pukul
intelektual. Menurut Tauke, masa depan Keluarga Tong bukan di tangan
orang-orang yang pandai berkelahi, tapi di tangan orang pintar. Ia tak mau
terus-menerus menjadi keroco di dunia hitam yang kerjanya hanya memalak,
memeras, dan menyelundupkan barang-barang. Maka tak heran, bila guru-guru berkelahi
terbaik dari luar negeri didatangkan oleh Tauke untuk menggembleng Bujang (hal
55).
Walhasil, ia pun berhasil menjadi tukang pukul andalan dan paling
disayangi oleh Tauke Besar. Julukan “Si Babi Hutan” pun semakin melekat pada
Bujang. Julukan ini sebenarnya bermula saat Tauke Besar datang ke Bukit Barisan
dan mengajak Bujang berburu babi di hutan yang berdekatan dengan tempat
kelahirannya dulu. Tak disangka, ternyata Bujang mampu mengalahkan babi hutan
raksasa di saat Tauke dan sesama pemburu lainnya terjebak dan nyaris dimangsa
oleh babi tersebut.
Cerita pun bergulir makin seru. Singkat cerita, roda bisnis Keluarga
Tong menggelinding cepat ibarat bola salju setelah pindah dari Kota Provinsi
menuju Ibu Kota. Tauke secara agresif berinvestasi di banyak tempat. Sumber
dananya berasal dari bisnis ‘ekspor-impor’ dengan armada belasan kapal
kontainer yang sebelumnya telah dibangun di Kota Provinsi. Dengan dukungan dana
besar, banyak hal lebih mudah diurus (hal 165).
Di tengah-tengah kesibukan Bujang menyelesaikan berbagai kasus, baik
kasus yang terjadi di dalam negeri maupun luar negeri, tiba-tiba datang kabar
duka yang membuat Bujang merasa tak bersemangat menjalani hidup. Ibunya
meninggal dunia. Bujang semakin ditikam rasa bersalah karena selama ini
mengabaikan keberadaan ibu dan tak pernah meluangkan waktu untuk menengoknya di
kampung halaman (hal 191). Kira-kira, bagaimana cara paling jitu yang digunakan Tauke
untuk menghibur Bujang yang sedang berduka? Dan apa yang akan dilakukan oleh Bujang
ketika beberapa tahun kemudian sebuah kabar duka kembali datang hingga mengoyak-oyak
jiwanya? Semua jawabannya dapat ditemukan di novel ini.
Harus saya akui, penulis begitu lihai memainkan alur cerita di
setiap babnya. Sehingga pembaca merasa penasaran untuk segera membaca bab-bab
berikutnya yang merupakan jawaban-jawaban dari bab sebelumnya. Menuju akhir
cerita, terkuaklah sebuah rahasia besar tentang masa lalu orangtua Bujang yang membuat Bujang merasa harus kembali pulang. Tak hanya pulang bersimpuh di
pusara orangtuanya, tapi juga menuju kepulangan yang hakiki; pulang pada jalan
kebenaran.
Hikmah dan
Pembelajaran Hidup
Banyak sekali hikmah dan pembelajaran
hidup yang dapat dipetik dari novel beralur maju-mundur ini. Misalnya, mengajarkan
tentang arti kesetiaan. Ketika Bujang tengah diajar oleh Salonga, guru menembak
terbaik, ia diuji oleh Tauke untuk menembak Salonga, tapi ia tak mau
melakukannya. Karena ia memegang teguh sebuah prinsip kesetiaan dalam hidupnya.
“Kesetiaan anak ini ada pada prinsip, bukan pada orang atau kelompok. Di
masa-masa sulit, hanya prinsip seperti itulah yang akan memanggil
kesetiaan-kesetiaan terbaik lainnya” ujar Salonga (hal 187).
Pembelajaran hidup lainnya adalah
saat Midah melepas kepergian Bujang, ia berpesan untuk selalu menjaga diri dari
mengonsumsi makanan dan minuman haram. “Apa pun yang akan kau lakukan di sana, berjanjilah Bujang,
kau tidak akan makan daging babi atau daging anjing. Kau akan menjaga perutmu
dari makanan haram dan kotor. Kau juga tidak akan menyentuh tuak dan segala
minuman haram” (hal 24). Dan, beberapa tahun kemudian, Bujang akhirnya menemukan
alasan atas pesan sang ibu, bahwa menjaga perut dari makanan dan minuman haram
adalah sebuah cara agar tetap dekat saat panggilan untuk ‘pulang’ telah tiba
(hal 341).
Selain sarat pembelajaran hidup, penulis
juga cukup berani menguak sindikat shadow economy di negeri ini
yang keberadaannya begitu sulit bahkan tak mungkin diberantas. Shadow economy
atau biasa disebut underground economy adalah ekonomi yang berjalan di
ruang hitam. Penulis dengan lantang mengurai bahwa shadow economy
diibaratkan kecoa haram dan menjijikkan dalam sistem ekonomi dunia dan
keberadaannya tak dikenal oleh masyarakat umum. Melalui sindikat ini,
terjadilah praktik-praktik culas dan haram, misalnya pencucian uang,
perdagangan senjata, minyak bumi, properti, teknologi mutakhir, valas, pasar modal, retail, dan lain sebagainya yang kesemuanya itu dikendalikan oleh
institusi ekonomi pasar gelap (hal 30).
Keunggulan
dan Kelemahan
Dalam sebuah karya, tak dipungkiri tentu
ada keunggulan dan kelemahannya. Pun dengan novel ini. Mengenai keunggulannya
sebagaimana telah saya paparkan di atas, bahwa penulis cukup lihai memainkan
alur cerita pada tiap babnya, sehingga cukup sukses membuat pembaca penasaran
untuk membaca bab-bab selanjutnya. Selain itu, banyaknya hikmah dan
pembelajaran hidup yang disisipkan penulis juga menjadi keunggulan dalam novel
ini.
Sementara kelemahan novel ini, menurut saya, salah satunya pada
beberapa bagian mirip adegan film yang kurang masuk akal. Misalnya, ketika Tauke
dan Bujang nyaris dihabisi oleh Basyir, salah satu tukang pukul di Keluarga
Tong yang berkhianat. Ketika itu Basyir sedikit lengah selama lima detik. Nah, lima
detik tersebut tak disia-siakan oleh Tauke yang posisinya berada di ranjang
bersama Bujang dan Parwez (anak buah Tauke yang lain). Tauke dengan sigap menekan
tombol darurat terakhir. Ketika tombol telah aktif, lantai bawah ranjang pun
merekah, membentuk lorong miring dan ranjang meluncur turun membawa mereka
bertiga, lalu lantai kembali menutup otomatis. Menurut saya, sepertinya
mustahil adegan tersebut terjadi dalam lima
detik, meskipun sebenarnya sah-sah saja bila penulis berpatokan pada teknologi
yang makin canggih.
Akhirnya, sebagai penutup, saya ingin mengutip kembali sebuah pesan inti
dalam novel ini, bahwa “sejauh apa pun kehidupan menyesatkan, segelap
apa pun hitamnya jalan yang kutempuh, Tuhan selalu memanggil kami untuk pulang”. Ya, pada akhirnya, “pulang” memang
menjadi tujuan akhir dari setiap perjalanan hidup manusia.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar