*Cerpen ini dimuat Minggu Pagi, edisi Minggu ke-3, November 2016
Oleh: Sam Edy
Yuswanto
“Sam, mau ikut nggak?” sayup
kudengar suara Tohar, teman di pesantren ini, sambil menepuk-nepuk bahuku. Usai
shalat Subuh aku sengaja tidur sebentar karena masih mengantuk.
“Nggak, ganggu orang tidur saja!”
seraya menarik sarung dan menutupkannya ke wajah. Kebiasaanku, juga teman-teman
pesantren ini, tiap tidur menjadikan sarung sebagai selimut. Sementara baju-baju
kotor yang belum sempat dicuci, dibuntal sarung bekas dan digunakan sebagai bantal.
“Oke. Kalau gitu, aku pergi sendiri,
mau lihat ular titisan Dewi Sri,” bisik Tohar mendekati telingaku sebelum pergi.
Ular titisan Dewi Sri? Naluri
mistisku menyemut di kepala. Secepat kilat, kusibak sarung yang menutupi wajah.
“Haar! Di mana? Tunggu, aku melu!”
Tohar memutar
kepala, menatapku dengan senyum kemenangan.
Lantas, mengalirlah cerita dari bibir
Tohar. Katanya, sudah dua hari ini di kota
sebelah, tepatnya di Blitar, ada ular segede batang pohon kelapa yang entah
datang dari mana tiba-tiba saja mendiami rumah sederhana Kartolo, salah satu warga
kampung. Pria baya itu terkejut saat mendapati ular segede batang pohon kelapa ngluwer
di teras rumah tepat jam 12 malam. Waktu itu, Kartolo mendengar ada suara ketuk
pintu. Tapi begitu keluar, alih-alih ada orang, malah ia menemukan ular
tersebut.
Kartolo terpekik
memanggil istri. Warga pun berduyun mendatangi rumahnya untuk menyaksikan ular
tiban itu. Kabar munculnya ular misterius tersebut sontak merebak hingga luar kota.
“Har, kamu denger
cerita ini dari siapa?” tanyaku antusias.
“Gito, anak kampung
yang rumahnya di sebelah pesantren. Kemarin pas aku beli sabun colek di kios
Pak Ramzi, aku ketemu Gito dan dia cerita kayak gitu, malah dia udah ke sana dan membuktikan
langsung ular ajaib itu,”
Aku menyimak serius cerita Tohar. Katanya,
ular tiban itu membawa berkah bagi keluarga Kartolo. Bahkan, ia membentuk
panitia guna mengatur para pengunjung yang berjubel tiap hari. Di dekat pintu
rumah, ditaruh 2 kardus besar, sebagai tempat beramal pengunjung. Baru 2 hari, ia
telah meraup keuntungan hingga jutaan rupiah.
Kartolo lantas
menyebar cerita, sebelum bertemu sang ular, ia bermimpi bertemu Dewi Sri, putri
yang katanya masih kerabat Nyi Roro Kidul. Dewi Sri memohon Kartolo agar memperkenankan
tinggal di rumahnya, dan sebagai balasan ia akan melimpahkan rezeki. Kartolo
meyakini ular itu sebagai titisan Dewi Sri.
***
Pagi itu kami
bertolak ke Blitar. Kami terpaksa bolos sekolah dan berbohong pada keamanan
pesantren dengan dalih ke luar kota
menjenguk sodara yang sedang sakit.
“Beneran nengok saudara?”
Tanya Pak Waid, ketua keamanan pesantren ini dengan raut penuh selidik. Aku lekas
melirik Tohar.
“Iya, Pak. Beliau itu
Pak Lik saya. Selama ini, beliau yang membiayai saya mondok di sini,” terang
Tohar dengan raut sedih. Sementara aku berjuang mati-matian menahan tawa saat
melirik aktingnya yang luar biasa perfect! Edan! Wallohi, ditatap
Pak Waid saja tubuhku langsung bergigil, apalagi sampai membohonginya. Dasar
Tohar! Di antara teman-teman kamar dan komplek, dia memang terkenal jawara nggedebus
alias jago ngibul.
***
Tak sampai 2 jam,
bus ekonomi yang kami tumpangi, tiba di terminal Blitar. Aku dan Tohar segera
mencari angkot yang menuju kampung tempat ular tiban itu. Tak terlalu sulit
mencari rumah Kartolo, sebab sopir angkot bersedia mengantar kami hingga
pertigaan jalan yang menghubungkan ke rumahnya.
“Dari sini, jalan
lurus, sekitar 200 meter ada pertigaan, ambil jalan yang kiri, nanti kalian
akan melihat banyak orang berbondong ke rumah Pak Kartolo,” terang Abang kernet
ramah. Aku dan Tohar mengangguk sambil mengucap terima kasih.
***
Aku benar-benar takjub melihat
suasana di sekitar rumah Kartolo yang mirip tempat wisata. Parkiran kendaraan tampak
penuh. Para pedagang kaki lima
pun berjubel, mulai tukang bakso, mie ayam, si omay, cilok, mainan anak-anak,
hingga pedagang kaset CD bajakan.
Dari sebalik kaca jendela, aku dan
Tohar berjinjit kaki, berdesakan dengan pengunjung lain yang berjubel demi
melihat secara langsung ular gede yang tengah ngluwer di ruang tamu.
Ular hitam kecokelatan bermotif mirip kain batik itu sepertinya sedang tertidur
pulas.
“Ularnya lagi tidur,
kekenyangan habis makan seekor ayam,” ujar lelaki baya berkumis di sebelahku
tanpa kutanya.
Cukup lama kami menonton
ular ajaib itu. Sebelum pulang, kurogoh uang 5 ribuan lalu memasukkan ke kotak
kardus itu. Bakap tua penjaga kardus, mengucap terima kasih sambil
mengangsurkan kertas fotokopian yang berisi kisah asal-usul munculnya ular
tersebut.
***
Malam itu, usai mengaji, aku dan
Tohar digelandang teman-teman menuju tempat penjemuran pakaian yang cukup luas
di belakang kompleks. Tempat hoyal (mengobrol) favorit para santri.
Raut teman-teman terlihat penasaran ingin mendengar cerita tentang ular tiban
itu.
Didi, teman dari
Madiun, rela merogoh kantongnya untuk membelikan 2 cangkir kopi buat kami. Wiji
dan Lisin, teman sekamar, asli Tegal dan Madura, juga tak mau kalah. Keduanya
membelikan pisang goreng dan bakwan satu piring.
Sambil menghirup kopi dan sesekali menjambal
gorengan, mengalirlah cerita dari mulut kami. Tapi aku lebih banyak diam. Sementara
Tohar sangat antusias bercerita. Aku sampai melongo saat Tohar mengimbuhi
cerita agar lebih seru dan membuat teman-teman berdecak takjub.
“Ulone sak piro gedene
(ularnya seberapa besarnya), Cak!” tanya Lisin (teman kami dari Madura).
“Bo, abo! Ulone
sakmene (segini) Cak! (kedua tangan Tohar membuat lingkaran seolah-olah
sedang memeluk pohon kelapa) De gede tenan taiye,” terang Tohar, menirukan
logat bicara orang Madura, membuatku terkikik geli dalam hati.
***
Tiga hari kemudian. Sebuah koran
lokal memuat berita yang membuat aku dan Tohar shock di tempat. Katanya,
kisah fenomenal tentang ular titisan Dewi Sri itu adalah hanyalah rekaan.
Kartolo saat ini mendekam di bui gara-gara menipu warga dengan membuat cerita
palsu sekaligus tertuduh kasus pencurian ular terbesar di kebun binatang kota sebelah. Untuk
melancarkan aksinya, ia bersekongkol dengan pawang ular kampung sebelah. Saat
ini pria baya si pawang ular hilang entah ke mana dan jadi buronan polisi. Ternyata
ular itu bukan titisan Dewi Sri, tapi akal-akalannya Kartolo untuk meraup uang
banyak.
Oh, Tuhan! Kenapa kemarin aku begitu
gampang percaya hal tak masuk akal berbau mistis itu, ya? Harusnya, aku tak
boleh langsung percaya begitu saja mendengar kabar yang belum terbukti
kesahihannya itu.
“Saamm!! Tohaarr!!” segerombol teman
yang baru keluar dari gerbang sekolah, berlarian sambil memanggil kami yang
masih shock usai membaca berita di koran lokal, di depan kantin siang
itu. Buru-buru Tohar melipat koran tersebut dan menyembunyikan di sebalik baju
seragam putih kebesarannya (maksudnya “kegedean”, soalnya tubuh Tohar kan pendek, kurus juga
hitam, hik-hik).
“Kucari-cari kalian, di sini
rupanya. Eh, kata Lisin, kalian habis ke Blitar nonton ular tiban itu, ya? Eh, Cerita,
dong!” cerocos Rahmat antusias dengan nafas ngos-ngosan.
Mukaku berasa kaku.
Pun dengan wajah Tohar yang terlihat gugup.
“Iya, cerita maning
(lagi) lah, soale inyong (soalnya aku) baru krungu (dengar) dari
Lisin,” sahut Marzuki dengan logat Tegal yang parah banget medok-nya.
“Kalian tanya Sam
saja, ya? Aku kebelet, nih!” Tohar menatapku sambil nyengir kecut, memegangi
perutnya yang aku tahu pasti hanya pura-pura, lantas kabur tanpa aku bisa
mencegah.
“Sam, ayo cerita!”
“Sam, dengar-dengar
ularnya segede batang pohon kelapa, ya?”
Pertanyaan beruntun
dari teman-teman membuat rautku menegang. Aduh! Pasti aku dan Tohar bakal
diketawain habis-habisan deh, kalau mereka tahu bahwa kami telah tertipu kabar
palsu.
***
Kebumen, 2000 – 2016
Aduh, kabar palsu. :D Btw, aku tak kuat sama latar blognya ... ><
BalasHapusKabar palsu hehe, terinspirasi dari kisah nyata ini. Latar yang mana ya? :D
HapusMaklum, nggak telaten ngutak-ngatik desain blog. Hehehe