*Tulisan ini dimuat Koran Harian
Nasional, edisi 19 November 2016
Judul
Buku : Kampungku Indonesia
Penulis : Stefano Romano
Penerbit : Mizan
Cetakan : I, Juni 2016
Tebal : 172 halaman
ISBN : 978-979-433-945-9
Stefano Romano adalah warga asing
yang begitu mencintai negeri ini, salah satunya adalah Tanah Sunda. Pria
kelahiran Roma 1974, yang berprofesi sebagai fotografer ini berkunjung ke Tanah
Sunda untuk kali pertamanya pada tahun 2011. Ia merasa tersentuh dengan lingkungan
dan kebudayaan yang ada di sana.
“Saya tidak berhenti mendengarkan
lagu Sunda sejak saat itu, dengan melankolis menyedihkan dan teramat akrab yang
tidak saya pahami; terkadang saya merasa bahwa dalam kehidupan terdahulu, saya
adalah seorang anak kecil yang berlarian di sawah di salah satu kota yang
pernah saya kunjungi, mungkin di Bandung, Banten, atau Karawang,” ujarnya (hal 10-11).
Stefano mengaku mulai menekuni
profesinya sebagai fotrografer sejak tahun 2009. Ia mengawali kariernya dengan
memotret komunitas migran dari berbagai etnis di Roma, khususnya Bangladesh, Maroko, Filipina,
Thailand, dan juga Indonesia. Selain
itu, ia juga bekerja sebagai juru foto resmi Kedutaan Indonesia dan
Malaysia di Roma.
Meskipun Indonesia bukan negerinya sendiri,
akan tetapi Stefano merasa sangat mencintai daerah perkampungan sekaligus
kebudayaan bumi pertiwi. selama ini ia telah menjelajahi sederet kampung di
negeri ini, seperti Bandung, Cirebon, Jakarta, Bogor, Bekasi, Yogyakarta, Karawang,
dan lain-lain. Sederet aktivitas warga kampung, seperti para pengamen jalanan
yang tengah mengamen, tukang sayur keliling, para petani, keceriaan anak-anak
yang tengah bermain, begitu memikat hati dan tak luput dari lensa kameranya.
Ternyata, ketertarikan Stefano tidak
berhenti hanya pada ragam kebudayaan Indonesia, akan tetapi ia juga merasa
tertarik untuk mempelajari agama Islam. Bahkan ia akhirnya memutuskan untuk
menjadi seorang mualaf. Ia kemudian menemukan jodoh hidupnya dan memutuskan
menikah dengan seorang perempuan warga Jakarta
(hal 105).
Banyak sekali hal berkesan selama
Stefano mengunjungi berbagai pelosok kampung di negeri ini. Misalnya, ia tak
pernah melupakan saat pertama kali berada di Petamburan. Ia memerhatikan
bagaimana ekspresi anak-anak saat melihat dari balik pagar ke gedung-gedung
pencakar langit yang ada di seberang sungai. Sementara di sekeliling mereka
adalah rumah-rumah sempit, padat, dan kumuh, tempat mereka tinggal bersama keluarga,
bersekolah, bekerja, dan bermain. Anak-anak itu berdiri di atas tumpukan
sampah. Ia merasakan begitu besar jurang perbedaan antara orang-orang yang
bermukim di sisi sungai dan realitas yang diwarnai kemewahan yang ada di
seberang sana
(hal 57-58).
Melalui buku inspiratif ini, kita dapat melihat secara
lebih dekat tentang kondisi beragam aktivitas di berbagai perkampungan negeri
ini melalui lensa kamera warga asing yang begitu mencintai warga sekaligus beragam
kebudayaan negeri ini.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar