Kamis, April 03, 2014

Ibu Pertiwi Memanggil Pulang



Judul Buku      : Ibu Pertiwi Memanggilmu Pulang
Penulis             : Pepih Nugraha
Penerbit           : Bentang Pustaka
Cetakan           : I, Agustus 2013
Tebal               : xii + 268 halaman
ISBN               : 978-602-7888-62-3
Peresensi         : Sam Edy Yuswanto*

            Ketika memandang negeri ini dari kejauhan, ibarat memandang seorang ibu yang tengah menangisi putra-putrinya yang telah lama merantau ke negeri orang tapi tak kunjung pulang. Ada duka serta luka seorang ibu yang telah melahirkan anak-anak bangsa bernama Indonesia, ketika dihadapkan kenyataan getir; sebagian anak-anaknya tak bersedia pulang ke tanah kelahiran. Ini adalah sederet curahan hati penulis yang tertuang dalam buku ber-genre sosial budaya ini.
            Sebagai seorang jurnalis yang tak jarang meliput berita hingga ke luar negeri, Pepih Nugraha sering berinteraksi dengan para mahaiswa dan tenaga kerja Indonesia. Dari obrolan bersama mereka, terungkap sebuah fakta yang membuat hati penulis miris tapi tak bisa menyalahkan. Manajemen pemerintahan yang buruk, kurangnya perhatian pemerintah terhadap masa depan anak-anak bangsanya sendiri, menjadi alasan mereka enggan kembali ke bumi pertiwi.
            Pepatah mengatakan, “Hujan batu di negeri sendiri lebih baik daripada hujan emas di negeri asing”. Sebenarnya, kalau kita mau, kita bisa mengubah pepatah ini menjadi lebih optimis, “Hujan emas di negeri sendiri lebih baik daripada hujan emas di negeri asing.” Artinya, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak berjuang membangun negeri ini. Barangkali, setetes keringat yang menitik di tanah kelahiran, akan lebih berharga sebagai perekat negeri, daripada keringat yang tertumpah di negeri asing (hal 26-27).
            Dalam buku ini, penulis juga menyorot tajam para pejabat yang kepergok mengkorup uang negara. Merekalah, di antara biang keladi yang menyebabkan bumi pertiwi dan anak-anaknya hidup menderita. Maka, sudah saatnya mereka dihukum seberat-beratnya. Di China dan negara-negara lain, riwayat para koruptor bisa saja berakhir di tiang gantungan atau ujung timah panas (hal 62).
            Melalui buku ini, penulis mengajak kita semua (khususnya anak-anak muda) untuk  kembali menumbuhkan rasa cinta sekaligus berjuang membangun Indonesia agar menjadi negara maju dan berkembang.      
***


*Resensi ini dimuat di:
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar