Oleh: Sam Edy Yuswanto
*cerpen ini dimuat di Koran Merapi, Minggu 20 September 2015.
Mata yang Terus Menangis
Sepasang
bola mata perempuan beranak satu itu masih terus saja membasah berlinangan air
mata. Sepasang mata cekung perempuan yang sebenarnya berwajah ayu namun kini
terlihat semakin sayu memilu itu serupa dua buah mata air yang terus
mengucurkan bebutir air mata tak habis-habis hingga membanjiri kedua pipi putih
tembem berlesung pipitnya. Sementara kedua telapak tangannya yang mulus sedari
tadi terus meremas-remas lembaran rupiah berwarna merah licin mengkilat di atas
pepangkuannya.
Duh, betapa mendidih relung hati perempuan
yang nyaris setahun lamanya ditelantarkan sang suami melancong ke luar negeri,
tepatnya ke Arab Saudi, tanpa nafkah lahir, terlebih nafkah batin.
Sampai-sampai, perempuan itu terpaksa tak punya pilihan lain selain bergeming
pasrah ketika sekujur tubuh langsingnya dijamah sepuasnya oleh berpuluh lelaki
hidung belang bernafsu binatang saban malam.
Perempuan itu terpaksa menghinakan diri
melukar tubuhnya dengan berlembar-lembar rupiah semata untuk bertahan hidup di
tengah kerasnya hidup yang kian menggila. Mungkin, bila hanya untuk hajat hidup
keseharian, ia masih bisa menghambakan diri menjadi buruh cuci, atau mencuci
piring di warung-warung makan di dekat terminal.
Tapi, coba kalian lihat. Perempuan itu
tidak hidup seorang diri. Dia memiliki seorang putri. Putri semata wayang yang
sakit-sakitan. Penyakit yang (menurut perempuan itu seharusnya) tak
menggerogoti tubuh putrinya. O, betapa tubuh perempuan itu bergetar hebat
sementara jantungnya nyaris mencelat dari sarang ketika beberapa bulan yang
lalu ia mendengar vonis dokter atas penyakit yang diderita putrinya yang baru
usia lima tahun
itu. Thalassemia. Penyakit yang mengharuskan putrinya melakukan tranfusi darah
secara rutin agar dapat bertahan hidup.
Lelaki di Jeruji Besi
Lelaki
empat puluh tahun itu kian hari tubuhnya semakin kurus kerontang saja. Kedua
tangannya yang kurus dan tak sekekar dulu, sedari tadi mencengkeram kuat jeruji
besi yang sebagiannya telah berlumur karat. Kedua bola mata lamurnya nampak
mengilat baur kesumat yang entah kepada siapa hendak ia lunaskan.
Lelaki yang telah beristri dan dikaruniai
seorang anak perempuan itu sungguh bernasib tragis. Betapa tak? Ia tak memiliki
daya upaya apa-apa ketika sang majikan menuduhnya telah membunuh istrinya
setelah sebelumnya mencuri uang dan merampas seluruh perhiasan istrinya.
Ayah di mana, Bu?
“Ayah
di mana sih, Bu? Kapan Ayah pulang? Naya sudah nggak sabar ingin
dibelikan boneka panda oleh Ayah.”
Entah, telah berapa ratus kali, Naya, bocah
perempuan berpostur mungil itu mengulang igau sengau yang nyaris terucap dari
bibir polosnya saban malam. Sementara wajah sang ibu selalu berkabut dan
bergulung mendung acap bocah perempuan itu mengigau tentang ayahnya yang
sebelum berangkat mengais rezeki ke luar negeri pernah melontar janji manis
akan membelikan boneka panda bermata mutiara berwajah bidadari.
Lelaki Berwajah Setan
Lelaki
baya yang wajahnya serupa setan itu tak hentinya mengulum senyum seraya
mengelus-elus tubuh-tubuh telanjang perempuan-perempuan jalang mantan
selingkuhannya. Istri lelaki berwajah setan yang memiliki harta segudang tapi
hobi marah-marah itu kini telah berpulang ke alam baka untuk selama-lamanya.
Betapa lelaki berwajah setan itu lega, senang tak terkata bersebab tak pernah
lagi mendengar suara cempreng istrinya yang bawelnya minta ampun.
Sengaja. Ya. Sengaja lelaki itu membunuh
istrinya dengan cara yang sangat keji agar ia bisa mewarisi harta kekayaannya
dan bisa setiap malam menikmati tubuh-tubuh ranum perempuan-perempuan yang
menggilai gerlap duniawi. Dan, untuk menghilangkan jejak, lelaki yang telah
sejak lama tak memercayai wujud Tuhan itu pun merancang siasat licik; membuat
tuduhan palsu kepada lelaki berkulit sawo matang asal Indonesia yang menjadi
sopir pribadinya.
Lelaki Berwajah Perempuan
Dalam
remang ruang sempit, pengap pula lembab, erang samar dari dua celah bibir manusia
berjenis kelamin laki-laki itu nyaris tiap malam mengudara, bersirebut dengan
semilir angin yang menyusupi celah-celah jeruji besi. Kedua lelaki baya yang
telah bertahun-tahun lamanya bernasib serupa; tak bisa menikmati tubuh istrinya
di negeri asal kelahirannya itu entah mengapa kerap mengalami gangguan jiwa.
Salah satu di antara mereka kerap berubah wajah perempuan saat malam kian
dihimpit rasa dingin yang merajam tulang.
Dipanggang api
Dalam
lindap lelap yang baru beberapa kerjap mata, mendadak sang ibu tersentak oleh
igau sengau yang lagi-lagi terluncur dari bibir putri semata wayang. Lekas sang
ibu menggoyang-goyang bahu sang putri bersebab tak seperti biasa putrinya
mengigau sambil menjerit-jerit macam orang kesurupan.
“Na…
Naya bermimpi tu… tubuh Ayah dibakar, ditusuk-tusuk se… seperti sate dan
dipanggang di atas api yang menyala-nyala, Bu, huhuhu…,” terbata si anak
mengisahkan pada ibu seraya mengisak tangis tentang mimpi yang barusan
menelusup ke dalam liang tidurnya.
Boneka Panda Berwajah Bidadari
Lelaki
baya bermata cekung itu tak henti-hentinya mengulum senyum sementara kedua
tangannya terjulur hendak menyerahkan kado berisi boneka panda bermata mutiara
berwajah bidadari yang pernah ia janjikan pada putri semata wayangnya beberapa
tahun silam.
“Terima
kasih Ayah! Terima kasih Ayah!”
Tiada henti bocah perempuan yang wajahnya
langsung berona cerah itu mengucap kata terima kasih pada lelaki di hadapannya
seraya dengan lekas menyambar tak sabar boneka panda yang telah semenjak lama
ia impikan. Dikecup-kecupnya boneka panda berwarna putih gading berbulu halus
itu. Setelah berasa puas mencucup dan menatapi boneka itu, lantas ia segera
hambur ke dalam dekapan lelaki yang masih bergeming raga mengulum senyum di
hadapannya.
Namun,
tiba-tiba lelaki baya itu merasa kesulitan bernapas. Entah mengapa kujur
tubuhnya berasa gerah luar biasa dibanjiri peluh yang terus merembes melalui
pori-pori kulitnya. Dan, baru saja ia membuka kedua kelopak yang berasa
lengket, betapa kagetnya ia. Ternyata yang mendekap tubuhnya dengan sangat erat
itu bukan putri semata wayangnya. Melainkan, lelaki berwajah perempuan yang
belum puas melampiaskan gelora syahwatnya. Lelaki itu meringis getir
saat menyadari bahwa pertemuannya dengan putri semata wayang hanyalah bunga
tidur belaka.
***
Puring Kebumen, 2011-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar