Senin, Oktober 05, 2015

Tujuh Kisah Sedih*



Oleh: Sam Edy Yuswanto
*cerpen ini dimuat di Koran Merapi, Minggu 20 September 2015.
Mata yang Terus Menangis
            Sepasang bola mata perempuan beranak satu itu masih terus saja membasah berlinangan air mata. Sepasang mata cekung perempuan yang sebenarnya berwajah ayu namun kini terlihat semakin sayu memilu itu serupa dua buah mata air yang terus mengucurkan bebutir air mata tak habis-habis hingga membanjiri kedua pipi putih tembem berlesung pipitnya. Sementara kedua telapak tangannya yang mulus sedari tadi terus meremas-remas lembaran rupiah berwarna merah licin mengkilat di atas pepangkuannya.
Duh, betapa mendidih relung hati perempuan yang nyaris setahun lamanya ditelantarkan sang suami melancong ke luar negeri, tepatnya ke Arab Saudi, tanpa nafkah lahir, terlebih nafkah batin. Sampai-sampai, perempuan itu terpaksa tak punya pilihan lain selain bergeming pasrah ketika sekujur tubuh langsingnya dijamah sepuasnya oleh berpuluh lelaki hidung belang bernafsu binatang saban malam.
Perempuan itu terpaksa menghinakan diri melukar tubuhnya dengan berlembar-lembar rupiah semata untuk bertahan hidup di tengah kerasnya hidup yang kian menggila. Mungkin, bila hanya untuk hajat hidup keseharian, ia masih bisa menghambakan diri menjadi buruh cuci, atau mencuci piring di warung-warung makan di dekat terminal.
Tapi, coba kalian lihat. Perempuan itu tidak hidup seorang diri. Dia memiliki seorang putri. Putri semata wayang yang sakit-sakitan. Penyakit yang (menurut perempuan itu seharusnya) tak menggerogoti tubuh putrinya. O, betapa tubuh perempuan itu bergetar hebat sementara jantungnya nyaris mencelat dari sarang ketika beberapa bulan yang lalu ia mendengar vonis dokter atas penyakit yang diderita putrinya yang baru usia lima tahun itu. Thalassemia. Penyakit yang mengharuskan putrinya melakukan tranfusi darah secara rutin agar dapat bertahan hidup.  

Lelaki di Jeruji Besi
            Lelaki empat puluh tahun itu kian hari tubuhnya semakin kurus kerontang saja. Kedua tangannya yang kurus dan tak sekekar dulu, sedari tadi mencengkeram kuat jeruji besi yang sebagiannya telah berlumur karat. Kedua bola mata lamurnya nampak mengilat baur kesumat yang entah kepada siapa hendak ia lunaskan.
Lelaki yang telah beristri dan dikaruniai seorang anak perempuan itu sungguh bernasib tragis. Betapa tak? Ia tak memiliki daya upaya apa-apa ketika sang majikan menuduhnya telah membunuh istrinya setelah sebelumnya mencuri uang dan merampas seluruh perhiasan istrinya.

Ayah di mana, Bu?
            “Ayah di mana sih, Bu? Kapan Ayah pulang? Naya sudah nggak sabar ingin dibelikan boneka panda oleh Ayah.”
Entah, telah berapa ratus kali, Naya, bocah perempuan berpostur mungil itu mengulang igau sengau yang nyaris terucap dari bibir polosnya saban malam. Sementara wajah sang ibu selalu berkabut dan bergulung mendung acap bocah perempuan itu mengigau tentang ayahnya yang sebelum berangkat mengais rezeki ke luar negeri pernah melontar janji manis akan membelikan boneka panda bermata mutiara berwajah bidadari.

Lelaki Berwajah Setan
            Lelaki baya yang wajahnya serupa setan itu tak hentinya mengulum senyum seraya mengelus-elus tubuh-tubuh telanjang perempuan-perempuan jalang mantan selingkuhannya. Istri lelaki berwajah setan yang memiliki harta segudang tapi hobi marah-marah itu kini telah berpulang ke alam baka untuk selama-lamanya. Betapa lelaki berwajah setan itu lega, senang tak terkata bersebab tak pernah lagi mendengar suara cempreng istrinya yang bawelnya minta ampun.
Sengaja. Ya. Sengaja lelaki itu membunuh istrinya dengan cara yang sangat keji agar ia bisa mewarisi harta kekayaannya dan bisa setiap malam menikmati tubuh-tubuh ranum perempuan-perempuan yang menggilai gerlap duniawi. Dan, untuk menghilangkan jejak, lelaki yang telah sejak lama tak memercayai wujud Tuhan itu pun merancang siasat licik; membuat tuduhan palsu kepada lelaki berkulit sawo matang asal Indonesia yang menjadi sopir pribadinya.

Lelaki Berwajah Perempuan
            Dalam remang ruang sempit, pengap pula lembab, erang samar dari dua celah bibir manusia berjenis kelamin laki-laki itu nyaris tiap malam mengudara, bersirebut dengan semilir angin yang menyusupi celah-celah jeruji besi. Kedua lelaki baya yang telah bertahun-tahun lamanya bernasib serupa; tak bisa menikmati tubuh istrinya di negeri asal kelahirannya itu entah mengapa kerap mengalami gangguan jiwa. Salah satu di antara mereka kerap berubah wajah perempuan saat malam kian dihimpit rasa dingin yang merajam tulang.

Dipanggang api
            Dalam lindap lelap yang baru beberapa kerjap mata, mendadak sang ibu tersentak oleh igau sengau yang lagi-lagi terluncur dari bibir putri semata wayang. Lekas sang ibu menggoyang-goyang bahu sang putri bersebab tak seperti biasa putrinya mengigau sambil menjerit-jerit macam orang kesurupan.
            “Na… Naya bermimpi tu… tubuh Ayah dibakar, ditusuk-tusuk se… seperti sate dan dipanggang di atas api yang menyala-nyala, Bu, huhuhu…,” terbata si anak mengisahkan pada ibu seraya mengisak tangis tentang mimpi yang barusan menelusup ke dalam liang tidurnya.

Boneka Panda Berwajah Bidadari
            Lelaki baya bermata cekung itu tak henti-hentinya mengulum senyum sementara kedua tangannya terjulur hendak menyerahkan kado berisi boneka panda bermata mutiara berwajah bidadari yang pernah ia janjikan pada putri semata wayangnya beberapa tahun silam.
            “Terima kasih Ayah! Terima kasih Ayah!”
Tiada henti bocah perempuan yang wajahnya langsung berona cerah itu mengucap kata terima kasih pada lelaki di hadapannya seraya dengan lekas menyambar tak sabar boneka panda yang telah semenjak lama ia impikan. Dikecup-kecupnya boneka panda berwarna putih gading berbulu halus itu. Setelah berasa puas mencucup dan menatapi boneka itu, lantas ia segera hambur ke dalam dekapan lelaki yang masih bergeming raga mengulum senyum di hadapannya.
            Namun, tiba-tiba lelaki baya itu merasa kesulitan bernapas. Entah mengapa kujur tubuhnya berasa gerah luar biasa dibanjiri peluh yang terus merembes melalui pori-pori kulitnya. Dan, baru saja ia membuka kedua kelopak yang berasa lengket, betapa kagetnya ia. Ternyata yang mendekap tubuhnya dengan sangat erat itu bukan putri semata wayangnya. Melainkan, lelaki berwajah perempuan yang belum puas melampiaskan gelora syahwatnya. Lelaki itu meringis getir saat menyadari bahwa pertemuannya dengan putri semata wayang hanyalah bunga tidur belaka. 
***
Puring Kebumen, 2011-2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar