Oleh Sam Edy Yuswanto
*cover buku koleksi pribadi
Penulis: Azzura Dayana
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Cetakan: I, Agustus 2014
Tebal dan ukuran: 232 halaman, 20 cm.
ISBN: 978-602-1614-26-6
Harga Buku: Rp. 46.000,-
Maha Indah Dia yang hadirkan
ini….
Sejuta edelweiss dan bentangan sayap merak
Belasan sabana hijau saling rangkai
Sungai-sungai murni yang mengalir
Sampai ke hati
Deretan kata-kata
indah yang mewarnai sampul novel “Rengganis: Altitude 3088” ibarat sebuah
mantra yang mampu menghipnotis sekaligus membuat penasaran pembaca untuk
bersegera membaca lembar demi lembar novel berlatar puncak Gunung Argopuro di
Jawa Timur yang memiliki ketinggian 3.088 meter di atas permukaan laut dengan pesona
keindahannya yang sukses memanjakan indra penglihatan para pendaki.
Mensyukuri karunia
kenikmatan Tuhan adalah sebuah keniscayaan bagi setiap umat manusia. Tentu, ada
banyak cara yang dapat ditempuh untuk mensyukuri beragam nikmat dan kekuasaan-Nya
yang Mahaluas dan tak bertepi. Salah satunya adalah dengan traveling, bertualang
menikmati pemandangan alam di berbagai penjuru dunia ini. Safiya Hussain dalam
buku Happiness Every Day menjelaskan tentang manfaat mengunjungi
tempat-tempat wisata dalam rangka mensyukuri nikmat Tuhan. Dalam buku tersebut Safiya
menjelaskan, bahwa dengan berwisata, pikiran kita akan terasa lebih segar,
lebih berenergi, dan suasana hati kita akan lebih baik dari sebelumnya. Allah sendiri
telah menitahkan kita untuk bepergian menyaksikan kemahabesaran-Nya. Dia
berfirman, “Katakanlah: ‘Berjalanlah di muka bumi…’ (Q.S. Al-An’am ayat
11).
Dalam novel ini,
Azzura Dayana berkisah tentang petualangan delapan anak manusia yang terdiri
dari lima pemuda dan tiga pemudi, menikmati keindahan puncak Argopuro, sebuah
gunung dengan trek terpanjang di Pulau Jawa sekaligus gunung yang terkenal
keangkerannya. Dibutuhkan waktu lebih lama ketika kita ingin melakukan
pendakian ke puncak Argopuro dibandingkan pendakian ke gunung-gunung lainnya. Setelah
menyiapkan berbagai bekal dan perlengkapan pendakian, mereka pun bersepakat
akan melakukan petualangan seru tersebut selama lima hari. Dimulai dari pendakian menuju
Cisentor, kemping di Rawa Embik, summit attack ke tiga puncak di
Argopuro, menuju pos di Taman Hidup, dan terakhir menuju Desa Bermi (hal 23).
Di balik keindahan Gunung
Argopuro, ternyata tersimpan kisah penuh misteri tentang sosok Dewi Rengganis
dan istana kediamannya. Jika dilihat dari asal-usulnya saja, nama Argopuro
terdiri dari dua suku kata; argo dan puro. Argo artinya gunung atau ketinggian.
Puro artinya pura atau istana (hal 125). Banyak sekali versi yang menuturkan
asal mula sosok perempuan yang konon memiliki kecantikan tiada tara itu. Salah satu versi menyebutkan, Dewi Rengganis termasuk
salah seorang putri dari Prabu Brawijaya, raja terakhir Kerajaan Majapahit. Ia terlahir
dari rahim seorang selir yang tak diinginkan keberadaannya. Maka, setelah Dewi
Rengganis dewasa, ia bersama para pengikut setianya melarikan diri ke Gunung
Argopuro dan mendirikan istana di sana
(hal 40-41). Dan masih banyak versi lain tentang siapa sebenarnya sosok Dewi Rengganis
yang di akhir cerita dikabarkan hilang secara misterius bersama keenam
dayang-dayangnya. Terlepas benar atau tidaknya cerita berbau mistis tersebut,
akan tetapi di sekitar puncak Argopuro ditemukan sisa-sisa arca, tembok istana,
kamar-kamar persegi, lantai batu berundak, gapura taman, tangga, dan lumpang
batu yang selalu berisi air (hal 136). Bahkan di daerah Cikasur ditemukan
sisa-sisa lapangan udara yang menjadi tempat landasan pesawat terbang yang
dibangun Belanda pada zaman kolonial dulu. Menurut cerita yang beredar, konon
saat pembangunan landasan tersebut tengah berlangsung, Belanda keburu bertekuk
lutut pada Jepang (hal 62).
Petualangan seru lima pemuda (Fathur,
Dimas, Rafli, Dewo, Acil) dan tiga pemudi (Sonia, Nisa, Ajeng) menjelajahi Gunung
Argopuro pun segera dimulai. Acil didaulat sebagai guide tim, alasannya karena
ia sudah hafal medan.
Sebelumnya ia sudah pernah mendaki Gunung Argopuro dua kali. Sementara Dewo, yang
dikenal teman-temannya sebagai petualang sejati, didaulat menjadi pimpinan tim
tersebut. Mengendarai mobil angkutan sewaan, mereka berdelapan menempuh jarak
dari Terminal Besuki menuju Desa Baderan. Setiba di sana,
mereka segera mengurus surat
perizinan pendakian di kantor KSDA (Konservasi Sumber Daya Alam).
Beragam kejadian
seru pun mewarnai pendakian mereka menuju puncak Argopuro. Misalnya, ketika
tiba di Sungai Cikasur, mereka langsung disuguhi panorama alami yang begitu memikat
dan memanjakan mata. Sungai Cikasur adalah salah satu kesederhanaan yang indah
di bumi Argopuro. Sebuah sungai kecil beralur panjang dan sempit, dengan airnya
yang bersih dan jernih serta mengalir cukup deras. Banyak tumbuhan selada air
di sungai ini yang dapat dimanfaatkan oleh para pendaki untuk dimasak sebagai
sayuran hangat. Sementara di tepian kiri dan kanan sungai dipenuhi rerimbunan
rumput tebal bernuansa hijau dan campuran antara putih dan cokelat (hal 47).
Di daerah Cikasur
itulah, mereka mendirikan beberapa tenda untuk rehat sejenak. Rencananya, esok
pagi mereka akan menikmati keindahan sunrise dan mengabadikannya melalui
kamera masing-masing. Meski memiliki sabana luas dan indah, namun ternyata
Cikasur bukanlah daerah yang cukup aman dan diwarnai cerita-cerita mistis dari
para pendaki yang pernah mengalami hal-hal aneh di luar nalar selama berada di sana. Sonia dan Rafli,
misalnya. Mereka berdua mengalami kejadian menyeramkan hingga membuat mereka
susah tidur selama di Cikasur. Tengah malam, Rafli terjaga dari lelapnya saat
mendengar banyak derap langkah kaki di luar tenda, sementara tenda mendadak
bergoyang-goyang (hal 69-70).
Hal ganjil dan
mistis lainnya terus mewarnai perjalanan mereka. Sonia, satu-satunya gadis yang
belum berjilbab dan memiliki sedikit ‘kelebihan’, misalnya. Ia merasa kerap
dibuntuti seseorang selama pendakian. Alur cerita makin terasa menegangkan,
misalnya ketika Dewo terperosok hingga terluka cukup parah dan nyaris jatuh ke
jurang. Kepanikan kian bertambah saat Acil, pria bertubuh mungil tapi pemberani
itu tiba-tiba diserang dua ekor babi berukuran besar sementara teman-teman
lainnya sedang berada di tempat berbeda. Puncaknya, ketika Rafli, satu-satunya
pria perokok dalam tim tersebut, mengalami kejadian aneh dan menghilang secara
misterius sehingga membuat ketujuh temannya panik bukan kepalang.
Apakah Rafli dapat
ditemukan dengan selamat? Berhasilkah Acil memenangkan pertarungan dengan dua
babi besar yang mengamuk tanpa ampun? Temukan jawabannya di dalam novel karya penulis
kelahiran Palembang
ini.
Sarat Hikmah
Berbagai kejadian, baik suka maupun duka, yang mewarnai
petualangan trek delapan anak manusia menuju Gunung Argopuro, meninggalkan
banyak sekali hikmah. Jika merunut pada definisi, hikmah adalah sebuah kebijaksanaan
yang datangnya dari Allah agar dijadikan sebagai bahan perenungan dan
pembelajaran bagi umat manusia. Dalam hadits riwayat Tirmidzi, Rasulullah
bersabda, “Hikmah adalah barang yang hilang milik orang beriman. Di mana
saja ia menemukannya, maka ambillah”.
Setidaknya ada empat hikmah yang dapat dipetik oleh
pembaca dalam novel ini. Pertama, kekompakan. Dalam sebuah tim,
kekompakan adalah hal yang harus diprioritaskan. Tanpa adanya kekompakan, sehebat
apapun sebuah tim, tentu mereka akan sulit menghadapi perbedaan dan berbagai
ujian yang datang tiba-tiba. Kedua, mengedepankan berpikir positif.
Misalnya, ketika mengalami hal-hal yang tak diinginkan selama pendakian, maka hal
yang harus diprioritaskan adalah berusaha berpikir positif, tenang dan fokus,
seraya mencari jalan keluarnya bersama.
Ketiga, meyakini bahwa
Allah selalu bersama kita dalam tiap situasi dan kondisi. Misalnya, ketika
mereka mengalami hal-hal ganjil di luar nalar, hal yang harus dilakukan adalah
segera mengembalikan semuanya kepada-Nya. Hal gaib memang ada meski tak kasat
mata. Tugas kita adalah berhati-hati seraya berusaha menjaga keimanan dari
hal-hal yang dapat menyebabkan syirik. Keempat, konsisten beribadah.
Sebagai seorang muslim, menjauhi segala larangan dan menaati segala perintah-Nya
adalah sebuah keniscayaan. Dalam novel ini, penulis menyampaikan ‘pesan
penting’ kepada tokoh-tokohnya agar senantiasa konsisten beribadah (menunaikan
shalat) dalam kondisi apa pun. Misalnya, saat cuaca terasa sangat dingin,
mereka tetap berusaha menunaikan shalat meski harus mengganti wudhu dengan
tayamum.
Melalui novel ini, Azzura Dayana juga mengajak pembaca
agar senantiasa mencintai dan menjaga lingkungan. Jangan sampai kita melakukan
aksi kejahatan terhadap lingkungan sekitar, misalnya buang sampah sembarangan.
Sayangnya, masih banyak para pendaki di negeri ini yang mengaku cinta terhadap
alam tapi nyatanya mereka tak dapat memahami arti cinta itu sendiri. Mereka
dengan seenaknya mencorat-coret bebatuan dan permukaan dataran kapur, lantas membuang
sampah di sungai dan berbagai titik lokasi pendakian.
Kelebihan dan Kekurangan
Dalam sebuah karya,
tentu ada kelebihan sekaligus kekurangannya. Begitu juga dengan novel ini. Tentang
keunggulan novel ini, menurut saya, Azzura Dayana cukup piawai memaparkan setting
lokasi secara mendetail, sehingga pembaca seolah tengah dibawa menuju tempat-tempat
eksotis yang dilalui para tokoh dalam novel ini.
Sementara kekurangannya antara lain ada pada pemaparan
karakter setiap tokohnya yang kurang begitu kuat. Menurut saya, akan lebih
menarik dan mengaduk-aduk emosi pembaca jika penulis mengungkap sisi kehidupan
para tokoh di sela-sela cerita. Selain itu, masih ada beberapa kata yang kurang
sesuai dengan EYD dan pengeditan yang kurang maksimal. Misalnya, kata ‘cokelat’
kadang ditulis ‘coklat’ (hal 47, 83, 191, 192 dan 226) dan ‘cokelat’ (hal 73).
Kemudian, kata ‘mengunyah’ ditulis ‘menguyah’ (hal 75), dan kata ‘celetuk’ ditulis
‘celutuk’ (hal 107).
Akhirnya tak ada
gading yang tak retak. Tak ada manusia sempurna di dunia ini. Terlepas dari
segala kekurangan, namun novel ini layak diapresiasi dan dapat dijadikan
sebagai bacaan fiksi islami bermutu yang sarat hikmah, manfaat, dan
pembelajaran hidup. Selamat membaca.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar