*Cernak ini telah dimuat di koran Solopos, Minggu 6 September 2015
Pagi
itu, Karin pamit pada ibu akan pergi ke rumah Tiara untuk bermain. Setiap hari
Minggu pagi, Karin memang selalu pergi ke rumah Tiara untuk bermain apa saja.
Karin senang setiap bermain di rumah Tiara, karena Tiara anaknya sangat kreatif
dan memiliki beragam permainan yang saat ini sudah jarang dimiliki oleh
anak-anak sebayanya.
Sebenarnya, permainan-permainan
milik Tiara sangat sederhana tapi cukup seru dan menyenangkan. Seperti ular
tangga, lompat tali, menganyam gelang karet menjadi aneka bentuk lucu-lucu, dan
masih banyak yang lain.
“Assalamualaikum,”
setelah mengetuk pintu, Karin mengucap kalimat salam di depan pintu rumah kayu
Tiara.
Tak
lama kemudian, pintu pun terkuak. Seorang wanita paruh baya menyambut Karin
dengan ramah. Beliau adalah Bu Hartati, ibunya Tiara.
“Waalaikum
salam. Eh ada Nak Karin. Ayo silakan masuk,”
“Iya,
Bu, terima kasih. Tiara ada, Bu?”
“Tiara
lagi bermain di belakang rumah, Nak Kiara langsung ke sana saja, ya?”
“Kalau
begitu, Karin ke belakang dulu ya, Bu,” pamit Karin sambil tersenyum.
***
“Hai
Tiara, lagi ngapain?” sapa Karin sambil memperhatikan Tiara yang tengah
berjongkok sambil memunguti sesuatu.
“Eh,
kamu Rin. Sini, bantu aku munguti kapuk,” terang Tiara membuat dahi Karin
berkerut heran.
“Kapuk?”
tanya Karin sambil mendekati Tiara lalu ikut berjongkok.
Tiara
mengangguk.
“Lho, ini bukannya kapas?”
tanya Karin sambil memungut segumpal kapas putih.
Lantas Tiara pun menjelaskan
bahwa kapuk itu sama dengan kapas. Kapuk-kapuk yang bertebaran bagai salju itu
berasal dari pohon randu yang tumbuh subur di belakang rumahnya. Karin sontak
mendongakkan kepala, melihat ke arah pohon randu yang menjulang tinggi, rimbun,
dan berbuah lebat. Buahnya berwarna hijau persis buah alpukat. Sebagian buah yang
menggelantung itu nampak kering kecokelatan, mengelupas, dan mengeluarkan kapuk
putih yang akan jatuh beterbangan jika tertiup angin.
Karin
sampai takjub dibuatnya. Sungguh, ia baru tahu bahwa kapas-kapas yang dijual di
toko-toko itu ternyata berasal dari pohon randu. Kata Tiara, kapuk-kapuk
tersebut juga biasa dikumpulkan ibunya untuk dijadikan bantal dan kasur.
“Oh,
jadi kamu ngumpulin kapuk ini buat dijadikan bantal?” tanya Karin sambil ikut
memunguti kapuk-kapuk yang berserakan di tanah. Tiara tertawa.
“Hehe,
kali ini bukan buat bantal. Tapi aku mau bikin lampu,”
Karin
terpana mendengar jawaban Tiara.
“Lampu?
Lampu dari kapuk?”
Tiara
tersenyum. Mengangguk. Karin semakin penasaran dibuatnya.
***
“Wow,
aku nggak nyangka kalau kapuk-kapuk ini bisa dijadikan lampu yang sangat
menarik seperti ini,” ujar Karin dengan raut takjub dan berbinar sambil
memandangi lampu kapuk yang baru saja dinyalakan oleh Tiara.
Sungguh Karin benar-benar tak
menyangka, kapuk yang selain berfungsi sebagai bahan pembuat bantal dan kasur,
ternyata juga bisa digunakan untuk membuat lampu sederhana dengan dicampuri
minyak jelantah (minyak goreng bekas). Menurut cerita Tiara, ia belajar membuat
lampu kapas dari ayahnya. Konon, ayah belajar membuat lampu kapas dari kakek
dan neneknya. Jadi pada zaman dulu, ketika listrik belum merambah kampung,
orang-orang biasa menggunakan lampu kapuk sebagai penerang di malam hari.
Cara membuatnya pun sangat mudah.
Sediakan wadah kecil dari bahan seng atau kaca (bisa juga dengan menggunakan
tatakan gelas kaca) sebagai tempat menaruh minyak jelantah secukupnya. Lalu,
masukkan segumpal kapas dan celupkan ke minyak jelantah tersebut. Pilin kapas tersebut
agar ujungnya menjadi lancip. Nah, ujung kapas yang lancip itulah yang
berfungsi sebagai sumbu untuk disulut dengan api. Itu cara pertama. Ada lagi
cara kedua, yakni ujung kapas tersebut dipilin lalu dimasukkan ke dalam tutup
botol bekas yang terbuat dari seng yang bagian tengahnya sudah dilubangi dengan
paku.
“Ternyata
mudah banget cara membuatnya, ya?” pekik Karin girang.
“Nah,
lampu kapuk ini bisa kita gunakan saat sedang mati lampu, selain ramah
lingkungan juga bisa buat pengganti lilin,” terang Tiara.
“Wah,
iya ya, jadi bisa ngirit gitu ya, apalagi sekarang harga lilin kan mahal,” kata
Karin sambil tertawa. Hari ini, lagi-lagi Karin mendapat pelajaran baru.
Sungguh tak sabar ia ingin segera pulang ke rumah dan memamerkan lampu kapuk
buatannya pada ibu. Kata Tiara, biar terdengar lebih keren, lampu kapuk
tersebut dinamai lampu pohon randu (Sam Edy Y).
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar