Jumat, Agustus 08, 2014

Koruptor



Oleh: Sam Edy Yuswanto
Cerpen ini dimuat di Koran Merapi, 27 Mei 2012

            Nasrun terus berlari. Tak sedikit pun ia hirau teriakan lelaki berdasi yang beberapa menit lalu menurunkan kaca mobil dan mengangsurkan lembar lima ribuan ke arahnya. Rojak, teman sebaya Nasrun yang kesehariannya menadahkan telapak tangannya pada mobil-mobil mewah yang berhenti di lampu merah, langsung terlongo-longo tak percaya begitu melihat tingkah Nasrun yang menurutnya sangat aneh dan tak seperti biasa itu.
            “Aneh, orang mau dikasih uang kok malah lari. Piye, tho, Kang Nasrun,” heran Rojak dengan logat Jawa Timurnya yang terasa kental. Ia memang asli kelahiran Nganjuk dan telah tujuh tahun hidup di ibu kota sebagai gepeng (gelandangan dan pengemis).
            “Hei, kamu!” teriak lelaki berdasi dari dalam mobil. Kepala Rojak berputar mencari gerangan siapa yang barusan dipanggil oleh lelaki perlente yang sepertinya dari kalangan pejabat tinggi itu.
“Iya, kamu!” teriak lelaki itu tuk kedua kali seraya menunjuk Rojak yang masih bergeming dengan bibir melongo. Setelah tersadar bahwa yang dipanggil lelaki itu adalah dirinya, Rojak pun gegas menghampiri.
Nih, buat kamu!” seraya melempar kertas lima ribuan ke arah Rojak dan lekas menaikkan kembali kaca mobil gelapnya. Berselang detik, mobil sedan mewah warna hitam berplat merah itu segera tancap gas meninggalkan cipratan air sisa hujan semalam hingga memercik ke baju lusuh dan wajah kusam Rojak.
Rojak mengelus dada seraya geleng kepala. Dalam hati, sungguh Rojak merasa terhina atas perlakuan lelaki pejabat tak beretika itu. Tapi pada akhirnya, ia terpaksa (karena tuntutan perut tentu saja) mengambil uang yang sempat terbang diembus angin hingga jatuh di bibir trotoar.
***
            “Kenapa tho, Kang, barusan Sampeyan mau dikasih duit kok malah lari?” Tanya Rojak saat baru datang dan melihat Nasrun tengah duduk mencakung di gubuk kardusnya, di sebelah stasiun.
            Ah, seandainya saja Rojak tahu, bahwa lelaki perlente itu sebenarnya dulu adalah rekan kerjanya. Ya Tuhan, sungguh Nasrun tak mengira sama sekali, jika ia akan dipertemukan kembali dengan Bambang Sukmaji, pejabat keparat licik itu dengan cara yang membuat Nasrun kian merasa jatuh dan terhina di matanya.
Sungguh tak pernah ia sangka, jika Bambang bersama rekan yang lain, diam-diam menjebak dirinya basah-basah. Nasrun yang telah susah-payah berjuang membesarkan partai tapi pada akhirnya malah disingkirkan. Hei, bukankah mereka ikut menikmati kucuran suap saat dana proyek pembangunan taman kota itu akhirnya cair? Tapi, kenapa hanya aku yang dipidanakan? Tanpa ada yang sudi membelaku? Alih-alih membela atau bersimpati, mereka langsung menjauh dan terkesan cuci tangan. Bahkan beberapa di antara mereka yang dulunya sangat akrab dengan Nasrun dan sering bercanda bersama saat menghadiri berbagai acara ke luar kota bahkan saat lawatan ke luar negeri, mendadak pura-pura bego dan tak kenal saat beberapa kali diwawancarai oleh para wartawan.
Brengsek! Bajingan!
Tak henti-hentinya Nasrun mengumpati ketidaksetiakawanan mereka dalam hati.
            “Diajak ngomong kok malah ngelamun, tho, Kang?” Teguran Rojak sontak memotong lembar kelam yang tengah kembali bereuni di tempurung kepala Nasrun.
            “Aku lagi teringat kampung halaman, Jak,” sahut Nasrun memilih berbohong. Ya Tuhan, beruntung sekali ia dipertemukan dengan Rojak, lelaki lugu yang tak begitu menahu dengan carut-marutnya birokrasi negeri ini. Betapa Nasrun masih ingat saat ia hendak melarikan diri ke Singapura, dengan alasan klise tentu saja; memeriksakan kesehatannya yang mendadak ngedrop. Tapi agaknya, taktik itu sudah tak ampuh lagi digunakan, sebagaimana yang biasa dilakukan para pejabat lain yang sebelumnya tersandung kasus korupsi (kalau tak lari ke luar negeri, pasti mendadak lupa bin pikun atau sakit saat tiba hari persidangan). Karena sehari sebelum keberangkatan, Nasrun mendengar selentingan kabar bahwa semua bandara telah dijaga ketat oleh aparat.
            Hingga akhirnya, terbetik begitu saja di benak Nasrun untuk menyaru menjadi gepeng. Dan kali ini taktiknya berhasil dan tak terendus aparat. Hingga dua bulan berselang, paling tidak ia bisa sedikit bernafas lega bersebab sudah tak lagi dikejar para wartawan yang gila berita. Pula, tak dipusingkan ia dengan jadwal panggilan sidang yang membuat tempurung kepalanya seperti mau terbelah saja.
            “Makanya, mulai sekarang Sampeyan sambil nabung dikit-dikit, biar tahun ini bisa mudik ke kampung halaman,” ujar Rojak seraya merebahkan tubuhnya di atas lantai tanah beralaskan kardus bekas mie instan.
            Nasrun mengiyakan ucapan Rojak dengan angguk lemah. Selama ini, Nasrun memang mengaku berasal dari kampung, tepatnya di sebuah kampung terpencil di ujung kota Solo. Nasrun mengaku jadi pengemis setelah seluruh uangnya ditilap penadah saat berada di metro mini, padahal ia baru tiba di ibu kota guna mencari peruntungan seperti kawan-kawan lainnya yang sudah terlebih dulu menjadi kaum urban.  
***
            Lho, gambar ini wajahnya kok mirip sekali dengan Kang Nasrun, ya?” dahi Rojak yang legam berdaki langsung berlipat saat bola matanya tertumbuk pada potongan koran yang ada di tangannya. Secara tak sengaja, usai makan nasi bungkus yang ia beli dari Mbok Wakijah, pedagang nasi bungkus yang biasa mangkal di stasiun, pandangannya langsung terpahat pada gambar close up yang terpajang di potongan koran pembungkus nasi itu.
            “Tapi ndak mungkin, Kang Nasrun kan orang kampung, tampangnya saja ndeso begitu,” gumam Rojak dengan gurat tak percaya.
Tuk ke sekian kali, Rojak kembali memandangi lekat-lekat gambar pria mirip Nasrun yang di atasnya bertuliskan: DICARI! KORUPTOR NEGARA! Bagi yang menemukan, segera hubungi kantor polisi terdekat, atau hubungi No. Telp. di bawah ini. Disediakan hadiah 50 juta rupiah bagi yang berhasil menangkapnya.
            “Kang Nasrun!!” teriak Rojak saat melihat Nasrun muncul dari balik gang yang menghubungkan ke lokasi lampu merah.
            “Ada apa, tho, Jak?” Nasrun langsung tergesa menghampiri Rojak yang tengah duduk di emperan ruko yang masih tutup.
            Sampeyan sudah makan, Kang?” Tanya Rojak.
            “Belum. Kenapa? Kamu mau nraktir aku, ya?” sambut Nasrun dengan wajah cerah.
            Nih, kebetulan aku beli nasi bungkus dua,” Rojak menyodorkan nasi bungkus yang sebenarnya buat persediaannya nanti sore.
Perut Nasrun yang sejak pagi memang belum terisi nasi langsung menyambar nasi bungkus itu. Saat Nasrun tengah khusyuk menyantap nasi bungkus itu, Rojak diam-diam memerhatikan dengan begitu detail wajah Nasrun yang meskipun berkumis serta berjenggot lebat, tapi memang sangat mirip dengan wajah di potongan koran bekas pembungkus nasi itu. Sesekali bibir Rojak mengembangkan senyum misterius.
            “Kamu kok senyam-senyum sendiri, tho, Jak! Kamu baru menang lotre?” ucapan Nasrun sontak mengusir lamunan Rojak.
            “Eh, ndak. Ndak apa-apa. Aku cuma heran lihat Sampeyan makannya lahap banget. Kayak orang dua hari ndak makan,” Rojak tentu saja berbohong. Padahal dalam hati ia tengah merencanakan sesuatu yang ia yakini akan segera mengubah takdir hidupnya. Sementara Nasrun hanya terkekeh geli mendengar gurau kawannya itu.
***
Puring-Kebumen, Oktober 2011    

Catatan:
Piye: gimana. Mangkel: kesal. Ndak: tidak. Sampeyan: kamu. Kang: panggilan kepada pria yang lebih tua.