Jumat, Juli 25, 2014

Ibu



*Cerpen ini dimuat di Tabloid Serambi Ummah

Kepergian Eri, kian memerihkan luka di hati. Kini, ibu hidup sebatang kara. Terpasung sepi di kampung halaman yang jauh dari bingarnya kehidupan kota, tempat ibu membesarkan ketiga putrinya. Fitri, anak pertama ibu, telah lima tahun tinggal di Jakarta bersama suami. Sementara Novi, anak kedua, juga ikut suaminya yang menjadi anggota DPRD di Madiun. Kini Eri, bungsu harapan terakhir ibu pun diboyong suaminya yang berprofesi sebagai juragan martabak terbesar di Surabaya.
“Ibu tenang saja di rumah, ndak usah mikir yang macem-macem, ndak perlu jualan kue lagi ke pasar. Eri janji, akan bantu kirim uang tiap bulan,” kata Eri kemarin, di detik-detik terakhir berpisah dengan ibu.
Sepertinya Eri kurang peka. Tak bisa menafsir gemurat kesedihan yang melipati raut ibu yang setengah hati melepas kepergiannya. Sungguh, sejatinya ibu tak mengharap materi dari anak-anaknya. Kalau sekadar hajat hidup sehari-hari, ibu masih bisa mencukupi dengan berjualan kue di pasar. Ibu hanya berharap bisa berkumpul dan hidup bahagia bersama ketiga anaknya—atau minimal ada salah seorang putrinya yang sudi menemani atau mengajaknya tinggal di kota—hingga kelak tiba pada garis ajalnya.
***
Semakin hari, ibu merasa semakin terkurung sepi di rumah sendiri. Ah, andai saja Karman, suami ibu kini masih hidup... Sayangnya, Karman keburu meregang nyawa, 10 tahun silam. Ketika itu Karman sedang ngojek di pangkalan tak jauh dari perlintasan kereta api. Ia terserempet kereta api saat menyeberang rel. Maklum saja, di perlintasan rel itu memang tak ada pagar pengamannya.
Assalamualaikum,” suara seseorang memenggal lelamun ibu sore itu.
Waalaikumsalam,” sahut ibu seraya bergegas menuju pintu.
“Masuk, Met!” ibu mempersilakan tamunya begitu pintu telah terkuak.
Pemuda bernama Slamet, tetangga ibu, lantas bergegas masuk dan duduk di salah satu kursi kayu.
“Ada apa, Met?” tanya ibu seraya duduk menjejeri Slamet.
“Tadi Mbak Fitri SMS. Katanya, ia baru ngirim paket televisi berwarna buat ibu, mungkin seminggu sampai,” Slamet menerangkan kabar—yang menurutnya adalah kabar gembira—itu dengan wajah cerah. Namun, ternyata ekspresi raut ibu tetap tak berubah. Datar. Biasa saja.
Kok sepertinya Ibu ndak senang tho dengar kabar Slamet?” heran Slamet.
Ibu merasa ndak butuh televisi, Met,” ujar ibu lirih.  
“Kata Mbak Fitri, televisi itu buat nemenin Ibu, biar Ibu ndak terlalu kesepian di rumah,” Slamet mencoba menerangkan alasan Fitri.
“Ya sudah, ndak usah dibahas. Ndak penting, kok,” sepertinya ibu enggan mengomentari lagi.
Oiya Met, besok pagi tolong antar Ibu ke pasar, ya? Ibu mau jualan kue lagi,” kata ibu kemudian.
Lho? Ibu mau jualan kue lagi? Bukannya Mbak Fitri dan Mbak Novi sudah ngirimi uang tiap bulan? Mbak Eri juga pernah bilang, agar Ibu ndak usah jualan lagi,”
“Buat kesibukan, Met. Ibu ndak betah kalau hanya berdiam diri terus-terusan di rumah. Lagian, Ibu telah terbiasa berjualan kue sejak anak-anak Ibu masih kecil,  Slamet hanya mengangguk-anggukan kepala mendengar penuturan ibu. Ya, bagi perempuan lanjut usia macam ibu yang sedari muda gigih berkerja, memang terasa sangat menyiksa menjalani hari-hari senjanya hanya berdiam diri tanpa aktivitas.   
***
Seminggu berlalu. Paket televisi yang dijanjikan Fitri pun datang lengkap dengan antenanya. Slamet dan Jarwo yang mengambil paket itu ke kantor pos. Sesampai di rumah, kedua pemuda putus sekolah dan akhirnya menjadi petani abadi itu segera menuju pekarangan belakang guna menebang bambu yang banyak bergerombol di sana. Bambu itulah yang akan digunakan untuk mendirikan antena. Tapi, saat Jarwo dan Slamet tengah memilih bambu yang lurus, ibu keburu datang menegur.
“Kalian ndak usah repot-repot nebangi bambu, sebaiknya kalian makan dulu saja di dapur, Ibu sudah masakin mie, nanti keburu dingin,” ujar ibu seraya menyuruh keduanya makan.
“Tapi kata Mbak Fitri, aku dan Jarwo disuruh masang antenanya,” ujar Slamet.
“Ucapan Fitri ndak usah kalian pikir. Biar kapan-kapan kalau dia nanya, Ibu yang akan menjelaskan,”
***
Piye, Met? Televisinya ndak rusak, kan? Antenanya sudah di pasang?” Suara perempuan yang sangat dikenali Slamet langsung memberondongi dengan pertanyaan begitu Slamet mengangkat ponselnya pagi itu.
“Sudah Mbak. Tapi…,” Slamet tak melanjut kalimatnya.
“Kenapa, Met?” kejar perempuan di ujung telepon tak sabar.
Slamet pun menjelaskan alasan ibu.
“Ya sudah, biar kapan-kapan aku yang ngomong sama Ibu. Terima kasih atas bantuannya, ya, Met,” Fitri memilih menyudahi pembicaraan.
Dua minggu berlalu. Televisi berwarna 14 inci itu masih teronggok di pojok ruang tamu. Ibu benar-benar tak peduli dengan barang elektronik yang banyak digandrungi masyarakat itu. Bagi ibu, ada dan tidaknya televisi, tak akan bisa menggantikan posisi anak-anaknya yang kini jauh di rantau. 
***
 Assalamualaikum,” lantang Slamet di depan pintu rumah ibu. Sore itu Slamet hendak mengantar paket pos berisi ponsel kiriman Novi. Katanya, biar ia bisa memantau keadaan ibu sewaktu-waktu. Sesuai pesan, Slamet disuruh mengaktifkan ponsel tersebut.
Assalamualaikum,” Sepi. Slamet pun mengulang salamnya. Tapi tetap tak berjawab. Ke mana gerangan Ibu, ya? Biasanya sore-sore begini beliausedang membersihkan rumah. Batin Slamet dijejali tanya. Slamet jadi tak sabar. Diraihnya gagang pintu kayu itu lalu didorongnya pelan.
Masya Allah! Ibuu?!” Slamet terpekik ketika melihat tubuh ibu terkulai di lantai. 
Berkali Slamet menggoyang-goyang bahu ibu, tapi tetap bergeming. Dan kepanikan Slamet kian memuncak, ketika menyadari bahwa ibu telah tiada.
“Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun,”
Baru saja Slamet hendak membopong tubuh ibu, tiba-tiba dari dalam saku kemejanya terasa ada benda yang bergetar-getar, seiring suara ringtone yang memekak telinga karena volumenya tersetting full. Dengan tangan gemetar Slamet merogoh benda mungil itu.
“Mbak Novi?” wajah Slamet kian memias begitu melihat nama ‘Novi’ berkedip-kedip di layar ponsel tersebut.
***
             
 Kebumen, 2011-2012


Cerita Tentang Gilang



*Cerpen ini dimuat di Majalah Joe Fiksi

Perkenalkan. Namaku Gadis. Lengkapnya Gadis Wulandari. Orangtua dan teman-teman biasa memanggil nama depannya saja: Gadis. Saat ini aku baru kelas 2 SMA. Sebagaimana jamaknya gadis-gadis yang menyukai musik, begitu juga aku, terlebih musik-musik yang diusung oleh anak-anak band dengan vokalis yang good looking punya.
Adalah Buaya Band, grup band yang saat ini lagi nge-top dan digandrungi teman-teman sekolah, termasuk aku tentu saja. Gilang, vokalis band tersebut, selain bertampang kiyut bin cool, juga dikaruniai cengkok suara yang empuk. Masih berasa hangat dalam memori ingatan, saat beberapa waktu lalu, aku merasa menjadi gadis yang sangat beruntung Ya, karena aku berkesempatan mengenal lebih dekat vokalis yang selalu dipuja teman-teman sekolahku. Awal perkenalanku dengan Gilang bermula saat di kotaku tengah menggelar konser musik yang salah satunya diisi oleh Buaya Band.
Kebetulan, waktu itu aku menjadi salah satu panitia promo konsernya. Dan, aku tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu untuk kenal lebih dekat dengan Gilang. Dasar nasib, tak hanya jadi panitia, aku bahkan didaulat mendampingi mereka saat diwawancarai salah satu radio terkemuka di kotaku. Seusai acara, aku menjabat tangan Gilang erat. Kami pun saling bertukar nomor handphone.
Malamnya, saat kedua kelopak mataku sulit terkatup membayang ulang saat-saat mendampingi Gilang diwawancara, tak dinyana dia menelponku…
“Halo, ini Gadis, ya?” sapanya manis saat tubuhku mendadak terpatung di bibir ranjang. Sungguh, aku benar-benar masih belum memercayai suara yang mengalun merdu di ujung selulerku.
“E..e… i…iiya,” aku tak kuasa melawan gugup yang tiba-tiba saja mengetuk-ngetuk dadaku.
“Aku ngganggu nggak, nih,” katanya tanpa memberi jeda buatku mengatur degup jantung yang kian tak karuan.
“Ngg…nggak, kok,”
“Kalau gitu, bisa ke sini nggak,” kalimatnya kali ini membuatku nyaris pingsan. Berkali kucubiti pipi dan tangan, tapi tetap saja rasanya sakit. O, Tuhan. Berarti…aku memang tidak sedang bermimpi?
“Aku lagi bete, nih. Temenin aku, ya? Bisa?” lanjut Gilang dengan nada sangat berharap aku mengiyakan ajakannya. O, MG! Mana mungkin aku mengabai tawaran manis cowok ganteng selebritis kondang itu? Cowok yang selama ini beberapa kali menghiasi bunga tidurku? Hei, tubuhku serasa melayang tinggi dibawa terbang oleh hayali indahku.
“Ya, bi… bisa,” meski terbata, tapi dengan mantap aku langsung mengiyakan. Lantas, dengan mengendarai motor matic, aku pun meluncur ke hotel di mana ia dan para personil Buaya Band lainnya menginap.
***
            Sempat celingukan, sebelum akhirnya jari telunjukku—dengan rada gemetar—memencet tombol pintu kamar hotel nomor 21, sebagaimana pesan Gilang agar aku langsung menuju ke kamarnya. Untung, resepsionis hotel masih ingat wajahku yang kemarin chek in kamar buat para personil Buaya band. Aku terpaksa bohong padanya, bahwa aku masih ada sedikit wawancara dengan mereka. 
Dan saat pintu telah terkuak...
            “Hei, masuk aja, kok bengong,” sambut Gilang setengah berbisik.
Entah kenapa aku masih diserbu ragu dan hanya bergeming di depan pintu. Ups! Masuk ke kamar cowok sendirian? Aduh, gimana, nih? Selama ini aku belum pernah masuk ke kamar cowok seorang diri. Meski teman satu kos sekali pun.
           “Ssst… buruan masuk, kalau ada orang yang lihat, ntar bisa jadi gosip,” lanjutnya setengah berbisik. Dan, entah, siapa yang memulai, aku tak ingat. Yang jelas, detik berikut, aku telah berada di dalam kamarnya.
            “Eh, ngg… nggak usah dikunci, Mm… Maas,” mendadak aku diserbu panik. Wajahku berasa tegang bukan main ketika melihat Gilang memutar anak kunci kamarnya. Tapi Gilang malah tertawa lebar.
“Hei, tenang saja, jangan berpikir negatif, aku nggak bakal ngapa-ngapain kamu, kok,” Gilang mengulas senyum manis. Rautnya seperti membaca kekhawatiran yang menggayuti benakku. Jujur, aku sangat senang mendapat penghormatan diundang orang yang aku idolakan. Tapi entah, ada perasaan was-was yang mengalir deras dalam dadaku. Namun, fikiran burukku perlahan enyah saat kulihat tak ada gelagatnya yang mencurigakan.
           “Teman-teman Mas Gilang pada ke mana nih, memang nggak sekamar?” tanyaku berbasa-basi.
           “Mereka nggak biasa tidur rame-rame dalam satu kamar,” ujarnya santai.
            Lalu, kami pun terbawa dalam obrolan. Ternyata dia familiar sekali orangnya. Enak diajak ngobrol banyak hal. Persis kayak teman yang sudah lama kenal. Rasa takut yang semula merambati hati pun hilang entah ke mana. Sementara malam kian merambat larut. Hmm, tak bisa kubayangkan, andai teman-teman nanti kuceritakan hal ini, pasti mereka bakal ngiri bombay padaku.
           Merasa telah cukup lama bersama Gilang, aku pun pamit pulang. Namun, tanpa kuduga, dia menarik tanganku dan memberiku ciuman di kedua pipiku. Kejadiannya begitu cepat sehingga aku tak kuasa untuk menolak. Entahlah, bagaimana warna mukaku saat Gilang mencium pipiku. Anehnya, aku hanya bergeming laksa patung.
            Dan, aku tercekat luar biasa, saat Gilang tiba-tiba mendekap dari belakang dan mendorong kasar tubuhku ke ranjang. Tentu saja aku meronta. Dan dengan terpaksa, aku menendang bagian perutnya hingga dia terjengkang dari ranjang. Asal kalian tahu, aku pernah ikut karate waktu SMP. Jadi, jangan pikir aku ini gadis lemah.
            “Aku memang nge-fans berat sama Mas Gilang, tapi kalau Mas menganggap aku gadis gampangan, itu salah besar, Mas!” aku meradang seraya bergegas meraih handel pintu, memutar anak kuncinya dan segera berlari meninggalkan hotel paling mewah di kota ini yang tiap kamarnya dikelilingi pertamanan bunga dan pepohonan.
***
            Sesampai di kamar kos, aku langsung menumpahkan tangis. Sungguh, aku tak menyangka, grup band idolaku, di mana Gilang sang vokalis yang aku puja selama ini, ternyata polahnya sungguh tak bermoral. Sungguh bertolak belakang dengan statement-statement-nya yang terlihat cerdas dan santun. O, Tuhan, ternyata cowok ganteng itu tak seganteng hatinya. Gilang tipikal cowok yang tak menghormati dan menghargai harkat martabat kaum wanita. Apa memang seperti ini budaya yang dianut para selebritas? Malam ini, aku tak bisa tidur. Kedua mataku sembab. Hatiku perih. Sungguh, aku benar-benar kecewa dengan Gilang.
***
            Sejak kejadian itu, Gilang tak pernah lagi menghubungi HP-ku. Mungkin dia marah dengan penolakan kerasku malam itu. Padahal, aku yang seharusnya marah sama dia. Sebenarnya aku sangat menanti kata maaf terucap dari bibirnya, meski hanya melalui SMS. Tapi, ya sudahlah, aku tak mau ambil pusing lagi. Yang pasti, kejadian yang menimpaku ini akan menjadi pembelajaran berharga buatku, agar ke depan aku lebih ekstra hati-hati saat bersama orang yang baru kukenal.
***
             Siang yang terik, sepulang sekolah, aku dikejutkan sebuah berita yang langsung menyentak telinga saat aku baru saja menyalakan televisi 14 inchi di kamar kosku. Dalam sebuah acara “Gosip Seleb”, diberitakan, Gilang digelandang kantor polisi. Pasalnya, seorang selebritis muda bernisial “BS” yang kerap nongol di sinetron stripping mengadukan Gilang ke kantor polisi dengan tuduhan; Gilang lari dari tanggung jawab setelah menghamili dan menganiayanya.
            Berulangkali kupanjatkan syukur, karena di malam jahanam itu aku bisa terlepas dari bujuk rayu vokalis band yang aku yakin sebentar lagi pasti akan menjalani hari-harinya di hotel prodeo.
Ah, Mas Gilang… mengapa nama grup band-mu sama persis dengan kelakuanmu?
***
Puring Kebumen, 2010-2012


Sabtu, Juli 19, 2014

Permainan Edukatif Perangsang Karakter Positif Anak


    Dunia anak identik dengan dunia permainan. Mereka bisa bermain sepuas hati dengan perasaan lepas tanpa terbebani aneka masalah sebagaimana orang dewasa. Dalam dunia bermain, tersimpan beragam pembelajaran yang kelak berguna bagi perkembangan (baik fisik maupun psikis) anak-anak. Ya, karena dengan bermain, energi anak bisa tersalurkan, pikiran juga akan menjadi lebih ‘fresh’.
 
  Tetapi, ternyata tak selamanya permainan itu bagus untuk perkembangan anak. Ada banyak jenis permainan yang bisa berdampak negatif dan juga positif. Buku ini menawarkan beragam permainan anak-anak yang dilakukan berkelompok dengan tujuan menumbuhkan karakter dan perilaku positif anak. Misalnya, belajar bagaimana cara bersosialisasi yang baik, menolong sesama, bersikap jujur, tanggung jawab, tidak boleh berlaku curang, dan lain-lain.
  
 Jaring Laba-laba adalah nama dari salah satu permainan yang ada di buku. Tujuan permainan ini; melatih anak bekerja sama dalam sebuah kelompok serta merangsang tumbuhnya sikap tanggung jawab pada diri anak. Perlengkapan yang dibutuhkan sangat murah dan sederhana, yakni sebuah tali yang dibentuk bolong-bolong menyerupai jaring laba-laba.
  
 Cara bermain; anak-anak dibagi menjadi beberapa kelompok. Masing-masing kelompok terdiri sembilan anggota. Sebelum bermain, instruktur menjelaskan aturan bermainnya. Setiap kelompok harus melewati lubang laba-laba tersebut. Satu lubang hanya boleh dilewati satu orang. Untuk lubang di bagian atas, tiap kelompok dapat membantu anggotanya untuk melewati, misal; kedelapan anggota mengangkat teman yang hendak melewati lubang tersebut. Kelompok yang berhasil memasuki lubang tercepat yang menjadi juaranya, (halaman 20-21).
  
 Permainan seru selanjutnya ‘Trust Fall’. Alat yang dibutuhan juga sederhana; sebuah kursi. Permainan ini menanamkan keberanian pada diri anak bahwa setiap sesuatu itu pasti berisiko. Selain itu, menumbuhkan rasa percaya terhadap orang lain serta bertanggung jawab pada diri sendiri. Cara bermain; anak-anak dibagi beberapa kelompok. Masing-masing terdiri sembilan anggota. Sebelum bermain, lepaskan benda-benda mengganggu yang menempel di tubuh, seperti jam tangan, cincin, kacamata, dll.

Setiap kelompok memainkan secara bergilir. Permainan dimulai dengan seorang anggota kelompok berdiri tegap membelakangi anggota lain di atas kursi, lalu dia menjatuhkan diri, sementara delapam anggota yang lain bersiaga menangkapnya. Cara menjatuhkan diri yang benar yakni kedua tangan dirapatkan di sisi badan sambil memegangi kedua pundaknya. Ketika menjatuhkan diri, posisi tubuh harus tetap kaku. Sementara teman-teman yang bertugas menangkap, membentuk dua barisan yang berdiri berhadapan dan saling erat bepegang tangan dengan teman di depannya. Saat menangkap, kedua tangan harus lentur agar teman yang menjatuhkan diri bisa tertangkap dengan baik. Setiap anggota mendapat giliran menjatuhkan diri hingga tiba giliran kelompok lainnya. Kelompok paling kompak yang akan menjadi pemenang, (halaman 28-30).

Permainan ‘Terowongan Kaki’ juga sangat asyik. Tujuan permainan ini selain mengajar cara kerja sama yang baik, juga melatih kecepatan anak melakukan sesuatu. Perlengkapan yang dibutuhkan; bola plastik. Cara bermain; anak-anak dibagi menjadi beberapa kelompok dengan jumlah anggota sama. Setiap kelompok mendapat sebuah bola plastik. Sebelum dimulai, setiap kelompok diatur berbaris satu-satu ke belakang dengan kedua kaki direnggangkan mirip terowongan. Salah satu anggota diminta berdiri menghadap kelompoknya.

Dengan aba-aba dari instruktur, anak yang berdiri menghadap kelompok harus menggelindingkan bola melewati terowongan kaki teman-temannya hingga bisa terangkap teman yang berdiri paling belakang. Jika bola sampai menyentuh kaki atau tidak sampai pada teman yang berdiri paling belakang, maka lemparan harus diulang. Jika bola berhasil ditangkap teman yang berdiri paling belakang, maka ia maju ke depan menggantikan peran teman yang menggelindingkan bola. Permainan selesai jika setiap anggota telah menggelindingkan bola. Kelompok yang berhasil menyelesaikan permainan tercepat yang dinyatakan sebagai pemenang, (halaman 90-92).

Masih banyak permainan menarik lainnya dalam buku yang mengajarkan perilaku positif pada anak-anak. Buku ini sangat cocok dimiliki para guru Sekolah Dasar dengan harapan di waktu-waktu senggang mereka dapat mengajarkan permainan edukatif ini. Selamat membaca dan mencoba.

***

Judul Buku : Permainan-permainan Perangsang Karakter Positif Anak
Penulis : Hamid Bahari
Penerbit : Diva Press
Cetakan : I, September 2013
Tebal : 192 halaman
ISBN : 978-602-255-254-3
Harga : Rp 30.000,-
Peresensi: Sam Edy Yuswanto*



*Resensi ini dimuat Malang Post, Saturday, 19 October 2013:

Rabu, Juli 16, 2014

Meneladani Kepemimpinan Umar Bin Khathab




            Umar bin Khathab merupakan sahabat Rasulullah Saw. yang berwibawa, tegas dan pemberani dalam membedakan perkara yang haq (benar) dan batil (salah). Sejarah mencatat, sebelum Umar masuk Islam, ia merupakan orang yang memiliki kedudukan tinggi. Ia adalah sosok cerdas dan dikenal jawara gulat yang tangguh di Ukaz, sebuah gelanggang dan pasar ternama yang terletak di ceruk bukit Arafah, sebelah selatan Ka’bah.
            Masuknya Umar ke dalam agama Islam merupakan angin segar bagi spirit umat Islam pada masa itu. Peristiwa itu dipandang sebagai suatu anugerah tersendiri bagi umat Islam. Ibnu Mas’ud berkata; “Kami berada dalam kemuliaan semenjak Umar memeluk agama Islam.” Dalam sebuah riwayat, Shuhaib berkata, “Ketika Umar masuk Islam, ia menyatakan keislamannya dengan terang-terangan sekaligus mengajak orang-orang untuk masuk Islam secara terang-terangan pula. Sehingga kami bisa duduk dengan tenang di sekitar Baitullah, melakukan thawaf tanpa dirundung rasa khawatir, mampu melawan orang-orang yang mengganggu kami.” (hal 21-25).
            Sebelum masuk Islam, Umar adalah seorang pembesar Quraisy yang sangat membenci Rasulullah Saw. beserta para pengikutnya. Selain itu, ia tercatat sebagai orang yang memiliki gaya hidup mewah dengan harta berlimpah. Namun sejak ia mendapat hidayah masuk Islam, ia lantas meneladani kehidupan Rasulullah yang hidup dalam kesederhanaan, kezuhudan, serta menjauhi gemerlapnya dunia. Setelah masuk Islam, ia mempertaruhkan seluruh hidup untuk membela dakwah Rasulullah Saw. dan menjadi benteng sekaligus pilar ajaran Islam yang paling kokoh (hal 27-28).
            Umar, yang sejak muda terkenal piawai dan cakap dalam bidang tulis menulis, kesusatraan, kepenyairan, dan penerjemahan, kemudian ditunjuk oleh Rasulullah sebagai juru tulis. Setiap kali Rasulullah mendapat wahyu maka sahabat yang paling lekas merekamnya adalah Umar bin Khathab.
            Selain menjadi juru tulis nabi, Umar juga ditunjuk sebagai juru diplomasi. Kemampuannya dalam bidang diplomasi sebenarnya sudah dimiliki sebelum ia masuk Islam. Rasulullah juga memberikan kepercayaan pada Umar untuk menjadi penasihatnya sekaligus ahli strategi Islam. Sehingga tak berlebihan bila sebagian ahli sejarah menyebut Umar sebagai sosok kunci dalam gemilang kemenangan Islam di banyak peperangan (hal 36).
            Selain tegas dan pemberani, Umar merupakan sosok khalifah atau pemimpin yang peduli dan memiliki belas kasih terhadap rakyatnya. Misalnya, ketika suatu malam ia dan Ibnu Abbas menyamar sebagai orang biasa. Keduanya berjalan menempuh lorong-lorong kecil untuk mengetahui secara langsung kondisi rakyat yang dipimpinnya.
            Di tengah perjalanan, keduanya dikejutkan suara tangis anak perempuan. Umar lantas mengajak Ibnu Abbas untuk mencari muasal suara tangis tersebut. Betapa terkejutnya Umar saat mendapati sebuah gubuk yang dihuni seorang ibu tua dan anak-anaknya yang terus menangis. Usut punya usut, si ibu tengah memasak batu untuk membohongi anak-anaknya yang kelaparan. Dengan cara itulah, anak-anaknya yang sedang menahan rasa lapar akan terhibur dan akhirnya tertidur setelah kelelahan menangis.
            Sambil menahan rasa iba, Umar lantas pulang dengan tergesa untuk mengambil sekarung tepung dan bumbu masak. Umar meminta Ibnu Abbas untuk membawakan sekaleng minyak samin. Umar sengaja memikul sendiri sekarung tepung itu dan menolak tawaran Ibnu yang ingin membantu membawakannya. Setiba di gubuk ibu tua, Umar dengan senang hati menyiapkan masakan bahkan menyuapi anak-anak tersebut dengan penuh kasih sayang (hal 168-172).
             Melalui buku ini, semoga kita bisa meneladani gaya kepemimpinan sahabat Umar bin Khathab yang tegas berwibawa dan sangat peduli dengan nasib rakyat yang dipimpinnya.                                                                    
***




Judul Buku      : Ilham Keberanian Umar bin Khathab
Penulis             : Zen Abdurrahman
Penerbit           : Diva Press
Cetakan           : I, April 2014
Tebal               : 194 halaman
ISBN               : 978-602-255-525-4


*Resensi ini dimuat di Harian Bhirawa: