Minggu, Desember 18, 2016

Hati Ibu*



*Cerpen ini dimuat Tabloid Genie, edisi #8, 10-16 November 2016



Rabu, November 23, 2016

Ular Tiban*



*Cerpen ini dimuat Minggu Pagi, edisi Minggu ke-3, November 2016
Oleh: Sam Edy Yuswanto

            “Sam, mau ikut nggak?” sayup kudengar suara Tohar, teman di pesantren ini, sambil menepuk-nepuk bahuku. Usai shalat Subuh aku sengaja tidur sebentar karena masih mengantuk.
            “Nggak, ganggu orang tidur saja!” seraya menarik sarung dan menutupkannya ke wajah. Kebiasaanku, juga teman-teman pesantren ini, tiap tidur menjadikan sarung sebagai selimut. Sementara baju-baju kotor yang belum sempat dicuci, dibuntal sarung bekas dan digunakan sebagai bantal.
            “Oke. Kalau gitu, aku pergi sendiri, mau lihat ular titisan Dewi Sri,” bisik Tohar mendekati telingaku sebelum pergi.
            Ular titisan Dewi Sri? Naluri mistisku menyemut di kepala. Secepat kilat, kusibak sarung yang menutupi wajah.
            “Haar! Di mana? Tunggu, aku melu!”
Tohar memutar kepala, menatapku dengan senyum kemenangan.
            Lantas, mengalirlah cerita dari bibir Tohar. Katanya, sudah dua hari ini di kota sebelah, tepatnya di Blitar, ada ular segede batang pohon kelapa yang entah datang dari mana tiba-tiba saja mendiami rumah sederhana Kartolo, salah satu warga kampung. Pria baya itu terkejut saat mendapati ular segede batang pohon kelapa ngluwer di teras rumah tepat jam 12 malam. Waktu itu, Kartolo mendengar ada suara ketuk pintu. Tapi begitu keluar, alih-alih ada orang, malah ia menemukan ular tersebut.   
Kartolo terpekik memanggil istri. Warga pun berduyun mendatangi rumahnya untuk menyaksikan ular tiban itu. Kabar munculnya ular misterius tersebut sontak merebak hingga luar kota.
“Har, kamu denger cerita ini dari siapa?” tanyaku antusias.
“Gito, anak kampung yang rumahnya di sebelah pesantren. Kemarin pas aku beli sabun colek di kios Pak Ramzi, aku ketemu Gito dan dia cerita kayak gitu, malah dia udah ke sana dan membuktikan langsung ular ajaib itu,”
            Aku menyimak serius cerita Tohar. Katanya, ular tiban itu membawa berkah bagi keluarga Kartolo. Bahkan, ia membentuk panitia guna mengatur para pengunjung yang berjubel tiap hari. Di dekat pintu rumah, ditaruh 2 kardus besar, sebagai tempat beramal pengunjung. Baru 2 hari, ia telah meraup keuntungan hingga jutaan rupiah.
Kartolo lantas menyebar cerita, sebelum bertemu sang ular, ia bermimpi bertemu Dewi Sri, putri yang katanya masih kerabat Nyi Roro Kidul. Dewi Sri memohon Kartolo agar memperkenankan tinggal di rumahnya, dan sebagai balasan ia akan melimpahkan rezeki. Kartolo meyakini ular itu sebagai titisan Dewi Sri.
***
Pagi itu kami bertolak ke Blitar. Kami terpaksa bolos sekolah dan berbohong pada keamanan pesantren dengan dalih ke luar kota menjenguk sodara yang sedang sakit.
“Beneran nengok saudara?” Tanya Pak Waid, ketua keamanan pesantren ini dengan raut penuh selidik. Aku lekas melirik Tohar.
“Iya, Pak. Beliau itu Pak Lik saya. Selama ini, beliau yang membiayai saya mondok di sini,” terang Tohar dengan raut sedih. Sementara aku berjuang mati-matian menahan tawa saat melirik aktingnya yang luar biasa perfect! Edan! Wallohi, ditatap Pak Waid saja tubuhku langsung bergigil, apalagi sampai membohonginya. Dasar Tohar! Di antara teman-teman kamar dan komplek, dia memang terkenal jawara nggedebus alias jago ngibul.
***
Tak sampai 2 jam, bus ekonomi yang kami tumpangi, tiba di terminal Blitar. Aku dan Tohar segera mencari angkot yang menuju kampung tempat ular tiban itu. Tak terlalu sulit mencari rumah Kartolo, sebab sopir angkot bersedia mengantar kami hingga pertigaan jalan yang menghubungkan ke rumahnya.
“Dari sini, jalan lurus, sekitar 200 meter ada pertigaan, ambil jalan yang kiri, nanti kalian akan melihat banyak orang berbondong ke rumah Pak Kartolo,” terang Abang kernet ramah. Aku dan Tohar mengangguk sambil mengucap terima kasih.
***
            Aku benar-benar takjub melihat suasana di sekitar rumah Kartolo yang mirip tempat wisata. Parkiran kendaraan tampak penuh. Para pedagang kaki lima pun berjubel, mulai tukang bakso, mie ayam, si omay, cilok, mainan anak-anak, hingga pedagang kaset CD bajakan.
            Dari sebalik kaca jendela, aku dan Tohar berjinjit kaki, berdesakan dengan pengunjung lain yang berjubel demi melihat secara langsung ular gede yang tengah ngluwer di ruang tamu. Ular hitam kecokelatan bermotif mirip kain batik itu sepertinya sedang tertidur pulas.
“Ularnya lagi tidur, kekenyangan habis makan seekor ayam,” ujar lelaki baya berkumis di sebelahku tanpa kutanya.
Cukup lama kami menonton ular ajaib itu. Sebelum pulang, kurogoh uang 5 ribuan lalu memasukkan ke kotak kardus itu. Bakap tua penjaga kardus, mengucap terima kasih sambil mengangsurkan kertas fotokopian yang berisi kisah asal-usul munculnya ular tersebut.
***
            Malam itu, usai mengaji, aku dan Tohar digelandang teman-teman menuju tempat penjemuran pakaian yang cukup luas di belakang kompleks. Tempat hoyal (mengobrol) favorit para santri. Raut teman-teman terlihat penasaran ingin mendengar cerita tentang ular tiban itu.
Didi, teman dari Madiun, rela merogoh kantongnya untuk membelikan 2 cangkir kopi buat kami. Wiji dan Lisin, teman sekamar, asli Tegal dan Madura, juga tak mau kalah. Keduanya membelikan pisang goreng dan bakwan satu piring.
            Sambil menghirup kopi dan sesekali menjambal gorengan, mengalirlah cerita dari mulut kami. Tapi aku lebih banyak diam. Sementara Tohar sangat antusias bercerita. Aku sampai melongo saat Tohar mengimbuhi cerita agar lebih seru dan membuat teman-teman berdecak takjub.
            Ulone sak piro gedene (ularnya seberapa besarnya), Cak!” tanya Lisin (teman kami dari Madura).   
“Bo, abo! Ulone sakmene (segini) Cak! (kedua tangan Tohar membuat lingkaran seolah-olah sedang memeluk pohon kelapa) De gede tenan taiye,” terang Tohar, menirukan logat bicara orang Madura, membuatku terkikik geli dalam hati.
***
            Tiga hari kemudian. Sebuah koran lokal memuat berita yang membuat aku dan Tohar shock di tempat. Katanya, kisah fenomenal tentang ular titisan Dewi Sri itu adalah hanyalah rekaan. Kartolo saat ini mendekam di bui gara-gara menipu warga dengan membuat cerita palsu sekaligus tertuduh kasus pencurian ular terbesar di kebun binatang kota sebelah. Untuk melancarkan aksinya, ia bersekongkol dengan pawang ular kampung sebelah. Saat ini pria baya si pawang ular hilang entah ke mana dan jadi buronan polisi. Ternyata ular itu bukan titisan Dewi Sri, tapi akal-akalannya Kartolo untuk meraup uang banyak. 
            Oh, Tuhan! Kenapa kemarin aku begitu gampang percaya hal tak masuk akal berbau mistis itu, ya? Harusnya, aku tak boleh langsung percaya begitu saja mendengar kabar yang belum terbukti kesahihannya itu.
            “Saamm!! Tohaarr!!” segerombol teman yang baru keluar dari gerbang sekolah, berlarian sambil memanggil kami yang masih shock usai membaca berita di koran lokal, di depan kantin siang itu. Buru-buru Tohar melipat koran tersebut dan menyembunyikan di sebalik baju seragam putih kebesarannya (maksudnya “kegedean”, soalnya tubuh Tohar kan pendek, kurus juga hitam, hik-hik).
            “Kucari-cari kalian, di sini rupanya. Eh, kata Lisin, kalian habis ke Blitar nonton ular tiban itu, ya? Eh, Cerita, dong!” cerocos Rahmat antusias dengan nafas ngos-ngosan.
Mukaku berasa kaku. Pun dengan wajah Tohar yang terlihat gugup.
“Iya, cerita maning (lagi) lah, soale inyong (soalnya aku) baru krungu (dengar) dari Lisin,” sahut Marzuki dengan logat Tegal yang parah banget medok-nya.
“Kalian tanya Sam saja, ya? Aku kebelet, nih!” Tohar menatapku sambil nyengir kecut, memegangi perutnya yang aku tahu pasti hanya pura-pura, lantas kabur tanpa aku bisa mencegah.
“Sam, ayo cerita!”
“Sam, dengar-dengar ularnya segede batang pohon kelapa, ya?”
Pertanyaan beruntun dari teman-teman membuat rautku menegang. Aduh! Pasti aku dan Tohar bakal diketawain habis-habisan deh, kalau mereka tahu bahwa kami telah tertipu kabar palsu.   
                                                                     ***                                                                    
 Kebumen, 2000 – 2016


Senin, November 21, 2016

Kampung dalam Lensa*



*Tulisan ini dimuat Koran Harian Nasional, edisi 19 November 2016

Judul Buku   : Kampungku Indonesia
Penulis          : Stefano Romano
Penerbit       : Mizan
Cetakan       : I, Juni 2016
Tebal             : 172 halaman
ISBN              : 978-979-433-945-9

            Stefano Romano adalah warga asing yang begitu mencintai negeri ini, salah satunya adalah Tanah Sunda. Pria kelahiran Roma 1974, yang berprofesi sebagai fotografer ini berkunjung ke Tanah Sunda untuk kali pertamanya pada tahun 2011. Ia merasa tersentuh dengan lingkungan dan kebudayaan yang ada di sana.
            “Saya tidak berhenti mendengarkan lagu Sunda sejak saat itu, dengan melankolis menyedihkan dan teramat akrab yang tidak saya pahami; terkadang saya merasa bahwa dalam kehidupan terdahulu, saya adalah seorang anak kecil yang berlarian di sawah di salah satu kota yang pernah saya kunjungi, mungkin di Bandung, Banten, atau Karawang,” ujarnya (hal 10-11).
            Stefano mengaku mulai menekuni profesinya sebagai fotrografer sejak tahun 2009. Ia mengawali kariernya dengan memotret komunitas migran dari berbagai etnis di Roma, khususnya Bangladesh, Maroko, Filipina, Thailand, dan juga Indonesia. Selain itu, ia juga bekerja sebagai juru foto resmi Kedutaan Indonesia dan Malaysia di Roma.
            Meskipun Indonesia bukan negerinya sendiri, akan tetapi Stefano merasa sangat mencintai daerah perkampungan sekaligus kebudayaan bumi pertiwi. selama ini ia telah menjelajahi sederet kampung di negeri ini, seperti Bandung, Cirebon, Jakarta, Bogor, Bekasi, Yogyakarta, Karawang, dan lain-lain. Sederet aktivitas warga kampung, seperti para pengamen jalanan yang tengah mengamen, tukang sayur keliling, para petani, keceriaan anak-anak yang tengah bermain, begitu memikat hati dan tak luput dari lensa kameranya.
            Ternyata, ketertarikan Stefano tidak berhenti hanya pada ragam kebudayaan Indonesia, akan tetapi ia juga merasa tertarik untuk mempelajari agama Islam. Bahkan ia akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang mualaf. Ia kemudian menemukan jodoh hidupnya dan memutuskan menikah dengan seorang perempuan warga Jakarta (hal 105).
            Banyak sekali hal berkesan selama Stefano mengunjungi berbagai pelosok kampung di negeri ini. Misalnya, ia tak pernah melupakan saat pertama kali berada di Petamburan. Ia memerhatikan bagaimana ekspresi anak-anak saat melihat dari balik pagar ke gedung-gedung pencakar langit yang ada di seberang sungai. Sementara di sekeliling mereka adalah rumah-rumah sempit, padat, dan kumuh, tempat mereka tinggal bersama keluarga, bersekolah, bekerja, dan bermain. Anak-anak itu berdiri di atas tumpukan sampah. Ia merasakan begitu besar jurang perbedaan antara orang-orang yang bermukim di sisi sungai dan realitas yang diwarnai kemewahan yang ada di seberang sana (hal 57-58).
Melalui buku inspiratif ini, kita dapat melihat secara lebih dekat tentang kondisi beragam aktivitas di berbagai perkampungan negeri ini melalui lensa kamera warga asing yang begitu mencintai warga sekaligus beragam kebudayaan negeri ini.
***


Kamis, November 17, 2016

Hidup Melayani yang Lain



*Tulisan ini dimuat Koran Sindo, Minggu 30 Oktober 2016

Judul Buku      : A Tribute to Others
Penulis             : Jamil Azzaini
Penerbit           : Mizan
Cetakan           : I, Agustus 2016
Tebal               : 188 halaman
ISBN               : 978-602-418-077-5

            “Dunia saat ini berubah sangat cepat. Perlu banyak orang yang memiliki komitmen dan bersedia mendorong orang lain untuk bertumbuh”. Itulah pesan penting penulis dalam buku motivasi ini. Arti bertumbuh di sini adalah berusaha meluangkan waktu, ilmu, dan energi untuk membantu orang lain agar lebih sukses dan berada pada derajat hidup lebih tinggi.
            Sebagian orang merasa bisa menjalani hidup bahagia tanpa berinteraksi dengan banyak orang. Mereka hanya intensif berinteraksi dengan diri sendiri, keluarga dan sahabat lama. Akibatnya, mereka banyak sekali mengalami kerugian. Misalnya, sulit diajak berubah dan mudah tersinggung saat berseberangan pendapat dengan orang lain (hal 18).
Orang-orang yang hanya berinteraksi dengan diri sendiri, keluarga dan teman dekat yang itu-itu saja, bisa jadi sedang terkena penyakit loneliness (kesepian). Boleh jadi hartanya banyak, tapi hati terasa hampa, sepi dalam keramaian. Maka, hal yang sebaiknya dilakukan adalah; segera keluar dari kondisi tersebut, perbanyak relasi dan sahabat. Sahabat itu penting bagi kehidupan dunia dan akhirat.
            Mungkin, sebagian orang berpikir, “Boro-boro mikirin orang lain, mikir diri sendiri saja sulit!”. Orang yang punya pemikiran seperti ini, biasanya tak pernah menjadi ‘besar’ dan sukses (hal 41). Ikut memikirkan orang lain, pertanda ia bukan sosok egois yang hanya mementingkan diri sendiri. Membantu orang lain atau istilah penulis “menciptakan panggung bagi orang lain” justru memberi energi positif dan manfaat berlipat ganda, baik manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain (hal 44).    
            Jika ia mau mengangkat derajat orang lain, secara tak langsung derajatnya terangkat karena ia dituntut lebih banyak belajar, berusaha dan banyak mencari solusi. Ini artinya, ia kian terasah menjadi lebih “hebat”. Proses “menghebatkan” diri sendiri dengan cara “menghebatkan” orang lain ini sama dengan kerja cerdas. Ibarat pepatah “sekali mendayung 2-3 pulau terlampaui” (hal 46).
            Menurut penulis, tabiat ilmu berbeda dengan tabiat benda. Jika benda, misalnya memiliki apel 3 buah, lalu diberikan orang lain 1 buah, maka tinggal tersisa 2 buah. Tapi jika memiliki 2 ilmu, lalu 1 ilmu diberikan orang lain, maka ilmu tersebut tak akan berkurang, justru kian bertambah banyak. Sebab, sebelum ia memberikan ilmu, ia pasti akan berusaha memelajari, mendalami, dan memperluas ilmu yang akan diberikan orang lain.
            Dengan pertambahan ilmu dan keahlian itulah ia akan menjadi rujukan banyak orang dan dikenal sebagai ahli di bidang yang ditekuninya. Terkait hal ini, penulis memberi contoh; dalam urusan perbankan, dikenal sosok Robby Djohan, lelaki yang telah melahirkan banyak bankir profesional di negeri ini. Sementara di bidang entrepreneur muda, sosok Jaya Setiabudi layak diteladani karena telah melahirkan para pengusaha belia di Indonesia bahkan di antaranya telah menjadi exportir dan miliarder muda (hal 47).

Melayani Orang Lain
            Hidup hakikatnya adalah untuk melayani orang lain. Bagi orangtua, hidup melayani anak. Bagi anak, hidup melayani orangtua. Bagi karyawan dan pebisnis, hidup melayani customer, baik customer eksternal maupun internal. Bagi seorang pemimpin, hidup adalah melayani orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya. Begitu seterusnya (hal 111).
            Satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa melayani itu bukan sekadar melayani. Menurut penulis, melayani orang lain harus dilakukan sepenuh hati. Sebab isi hati menentukan kualitas kata-kata yang terlontar dari bibirnya. Ibarat sebuah teko yang berisi susu, ketika dituangkan dalam gelas akan keluar susu. Tapi jika teko tersebut berisi comberan, yang keluar pun comberan menjijikkan.
            Ada 3 tips yang ditawarkan penulis, agar hati selalu terjaga kejernihannya sehingga yang terucap juga kata-kata jernih dan menyejukkan pendengarnya. Pertama, pastikan apa yang masuk ke pikiran dan hati adalah informasi atau ilmu yang bergizi. Sesibuk apa pun, berusahalah meluangkan waktu untuk memasukkan pesan-pesan mulia dalam kitab suci. Kedua, selalu berpikir jernih (positif) dalam berbagai situasi. Jauhi beragam penyakit hati, seperti iri, dengki, sombong, malas, dll. Yakinlah bahwa tiap kejadian pasti ada hikmah di baliknya. Ketiga, berusaha memuliakan orang lain tanpa memilah-milah kedudukannya.
            Buku ini mengajak pembaca agar senantiasa meningkatkan kualitas diri dengan cara melayani orang lain dengan sepenuh hati.
***

Jumat, Oktober 21, 2016

Mengelola Kesedihan dengan Bijak*




*Resensi ini dimuat di koran Kabar Madura, Kamis, 20 Oktober 2016



Judul Buku : Ya Allah Dia Bukan Jodohku
Penulis : Ahmad Rifa’i Rif’an
Penerbit : Mizania
Cetakan : I, Agustus 2016
Tebal : 144 halaman
ISBN : 978-602-418-045-4




            Salah satu peristiwa menyedihkan dalam kehidupan ini adalah ketika kita merasa sangat takut kehilangan sesuatu. Misalnya kehilangan sosok orang yang berharga dan sangat kita cintai dalam hidup ini. Ya. Memang manusiawi jika kita merasa berat ketika harus kehilangan (berpisah) dengan orang yang kita cintai. Ada satu hal yang perlu untuk kita renungi, bahwa pertemuan dan perpisahan adalah dua hal yang bertolak belakang dan mau tidak mau akan dialami oleh setiap makhluk yang bernyawa, terlebih manusia.
            Sebenarnya ada satu prinsip penting yang seharusnya selalu kita pegang dalam berbagai situasi dan kondisi. Prinsip bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Dzat yang seharusnya kita cintai dan sayangi melebihi apa pun di muka bumi ini. Saya yakin, bila kita telah memegang prinsip ini dengan kuat, maka ketika suatu hari kita harus berpisah, misalnya berpisah dengan orang yang kita cintai, insya Allah kita dapat mengatasi kesedihan tersebut dengan bijak tanpa harus terpuruk dalam kesedihan berlarut-larut. Bukankah setiap sesuatu di dunia ini hanya milik Allah yang dapat sewaktu-waktu diambil oleh-Nya?
            Ketika kita telah menjadikan Allah sebagai Dzat yang paling kita cintai, agungkan, patuhi, dan takuti dibandingkan siapa pun di dunia ini, maka kehidupan yang kita jalani akan mengarah pada kedamaian dan kebahagiaan hakiki. Tidak hanya kebahagiaan hidup di dunia ini saja, akan tetapi kebahagiaan hidup di akhirat kelak (hal 13).
            Hal yang seharusnya selalu diwaspadai, bahwa melakukan apa pun (dengan mengatasnamakan cinta) kepada orang lain, adalah merupakan kebodohan yang nyata. Sebab, tujuan kita diciptakan adalah untuk beribadah kepada-Nya. Sungguh, betapa sangat meruginya jika atas nama cinta kita hanya sibuk melayani orang lain yang kita sayangi, sementara kita mengabaikan Tuhan bahkan melalaikan perintah dan larangan-Nya (hal 30).
            Memang, yang namanya masalah hidup, termasuk perpisahan, dapat membuat hidup kita terpuruk, menderita dan merasa putus asa menjalani hidup. Namun, jika kita selalu memegang prinsip bahwa setiap kejadian selalu menyimpan hikmah dan manfaat, niscaya apa pun masalah yang datang menghadang, akan membuat kita menjadi pribadi yang lebih kuat, bijak, dan dewasa (hal 66).
            Menurut penulis, kalkulasi usia manusia tidak secara linier membentuk kedewasaan berpikir seseorang. Ada yang usianya sudah menua tapi sifat dan perilakunya masih kekanak-kanakan. Demikian sebaliknya, ada yang usianya masih belia, tapi nyatanya ia mampu bersikap lebih bijak dan dewasa. Salah satu faktor yang dapat membentuk kedewasaan seseorang adalah tingkat masalah dan kesulitan yang berhasil dihadapinya.
            Masalah atau ujian hidup, pada hakikatnya adalah suatu kondisi di mana kita sedang diuji oleh-Nya agar dapat menjadi pribadi dengan kualitas yang semakin tinggi dan tangguh. Maka, hal yang harus kita lakukan adalah berusaha untuk terus memperbaiki diri agar Allah juga berkenan menjadikan kita sosok tangguh dan mengangkat derajat kita agar lebih mulia (hal 68).
            Ujian dalam hidup, sangat berpotensi mendekatkan kita dengan-Nya. Bukankah getirnya hidup sering kali mengajarkan kita bagaimana cara berdoa dan bersujud dengan tulus? Ya, diakui atau tidak, banyak di antara kita yang baru tersadar dan lantas mengingat keberadaan Allah, ketika kita tengah mengalami kesedihan dan penderitaan. Maka, sudah saatnya kita berusaha menjadikan sebuah ujian sebagai sarana untuk selalu introspeksi diri, mengilangkan ego dan kesombongan di dalam diri, dan semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt (hal 80).
            Buku ini cukup menarik, berisi tentang cara mengelola kesedihan (dengan bijak) ketika harus berpisah dengan orang yang berarti dalam hidup ini. Harapannya, mudah-mudahan buku ini dapat menjadi pelipur lara sekaligus sebagai sarana mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta (Peresensi: Sam Edy Yuswanto).
***

Jumat, September 30, 2016

Belajar dari Masa Lalu*



*Tulisan ini pernah dimuat di koran Tribun Jogja, edisi Minggu 25 September 2016


Judul Buku      : Maple Terakhir
Penulis             : Aning Lacya
Penerbit           : Ping
Cetakan           : I, 2016
Tebal               : 188 halaman
ISBN               : 978-602-407-002-1

            Masa lalu yang kelam, sering membuat sebagian orang trauma saat kembali mengingatnya. Namun, jika kita mau merenungi lebih dalam, sebenarnya membenci masa lalu bukanlah pilihan terbaik. Sebab, di dalamnya terdapat pelajaran berharga yang dapat kita petik. Misalnya, kita jadi lebih berhati-hati melangkah agar kejadian tak mengenakkan di masa lalu jangan sampai terulang kembali.
            Sebagaimana kisah dalam novel ini yang bercerita tentang gadis bernama Camille. Ia akhirnya bisa berdamai dengan masa lalu, meski sebelumnya sangat membenci bahkan mengutuki masa lalunya yang terasa sepahit empedu. Lelaki yang menjadi kekasih hatinya ternyata seorang pecundang dan memilih pergi meninggalkan dirinya.
Bagi Camille, cinta bukan hanya soal perasaan, tapi juga kepercayaan. Sayangnya, ketika Camille terlanjur jatuh hati pada kekasih hatinya, tiba-tiba saja lelaki tersebut berubah menjadi sosok yang selalu berusaha mengendalikan hidupnya dan tak mau memercayainya. Lantas, bagaimana ia akan memercayai kata cinta dari lelaki itu ketika ia diperlakukan bak robot? (hal 11-12).
            Seminggu usai putus dengan kekasihnya, kedua orangtua Camille mengajak pindah ke Belgia, tepatnya di kota Brugge, salah satu kota tercantik di dunia. Camille pun melanjutkan kuliah di sana seraya berusaha sekuat tenaga melupakan masa lalunya yang kelam bersama mantan kekasihnya.
            Pertemuannya dengan Ken, lelaki penyuka fotografi yang mengaku berasal dari Antwerpen, perlahan membuka mata hati Camille. Waktu itu, ia tengah bersantai dengan mengendarai sepeda di jalanan yang di kanan kirinya ditumbuhi pepohonan maple. Di sanalah ia bertemu dengan Ken yang tengah asyik memotret matahari di sela-sela dedaunan maple (hal 23).
Pertemuan demi pertemuan antara Camille dan Ken, perlahan menimbulkan rasa suka di hati keduanya. Namun, ketika kata cinta belum sempat terucap di bibir mereka, tiba-tiba Joulien, mantan kekasih Ken datang dan memohon maaf atas segala kesalahan yang pernah dilakukannya. Tentu saja Ken merasa bimbang saat Joulien memohon ingin kembali merajut cinta dengannya, karena jauh di lubuk hati Ken memang masih menyayangi gadis cantik itu, sementara di sisi lain ia juga menyayangi Camille (hal 63).
Camille merasa sangat terpukul ketika pada akhirnya mengetahui bahwa Ken masih mencintai Joulien, gadis yang ternyata adalah sahabat karibnya tapi selama ini ia tak pernah bercerita pada Camille bahwa Ken adalah mantan kekasihnya. Novel ini meninggalkan pesan penting pada pembaca bahwa; “bukan seberapa pentingnya masa lalu, tapi seberapa jauh kita belajar darinya”.
***