Minggu, Januari 31, 2016

Keteladanan Seorang Ayah*

*Dimuat di koran Jateng Pos, 31 Januari 2016



Judul Buku      : Semua Tentangmu, Ayah
Penulis             : Hanif Mahaldi
Penerbit           : Metagraf
Cetakan           : I, November 2015
Tebal               : xii + 196 halaman
ISBN               : 978-602-73215-1-9

            Memiliki keluarga utuh dan bahagia adalah menjadi dambaan setiap orang di dunia ini. Namun, realitanya, tidak semua keluarga yang utuh juga memiliki kebahagiaan yang utuh juga. Terlebih di era serbamodern seperti sekarang ini, banyak sekali orang yang (sengaja) melupakan waktu menikmati kebersamaan bersama anggota keluarga yang lainnya. Seperti berkumpul bersama ayah, ibu, dan anak-anaknya di rumah.
            Banyak orang lebih cenderung mementingkan kepentingannya sendiri di luar rumah. Sehingga pada akhirnya, rumah hanyalah sekadar dijadikan tempat untuk tidur beristirahat setelah seharian beraktivitas. Rumah yang seperti ini, tentu akan jauh dari kebahagiaan, keharmonisan dan hal-hal yang telah dicontohkan dalam syariat Islam (hal 107).
            Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa sosok ibu diibaratkan madrasah pertama bagi anak-anaknya di dalam rumah. Hal ini sangat bisa dimaklumi, sebab pada dasarnya sosok ibu lebih banyak melakukan aktivitas di rumah. Sementara ayah, bertugas mencari nafkah di luar rumah. Namun kendati demikian, bukan berarti masalah pendidikan anak-anak hanya diserahkan sepenuhnya kepada ibu. Idealnya, antara ayah dan ibu saling bahu membahu mendidik anak bersama-sama (di luar pendidikan yang telah mereka dapatkan di sekolah umum).
            Dalam buku ini, penulis mengajak pembaca untuk merenungi kembali perjuangan sosok ayah yang begitu besar kepada keluarga, khususnya anak-anaknya. Besar harapan, melalui buku sederhana ini pembaca dapat meneladani sosok ayah yang telah berjasa dalam kehidupan ini. Jangan sampai kita sebagai anak, melupakan jasa-jasa terlebih sampai menyakiti hatinya.
            Hal paling penting kita renungi adalah; kesuksesan seorang anak pasti tidak dapat terlepas dari peran orangtuanya. Dengan arahan dan nasihat yang dulu pernah diberikan oleh orangtua, seorang anak akan mudah mengingat tentang rasa syukur, kesabaran, tegar, tidak mudah putus asa, dan hal-hal postif lainnya yang sering sekali dilupakan. Maka, menjadi sebuah kewajiban bagi kita untuk membalas jasa-jasa orangtua, terlebih saat usia mereka telah lanjut usia. Membalas jasa di sini tentu memiliki arti sangat luas. Misalnya, memberikan nafkah dan merawat mereka, dll. Dan seumpama sosok mereka telah tiada, seyogianya kita selalu mendoakan semoga mereka senantiasa mendapat maghfiroh (ampunan) dan tempat yang layak di sisi-Nya (hal 27).
            Melalui sosok ayah, kita dapat belajar banyak tentang arti kesabaran. Ayah bekerja dengan sepenuh hati, bahkan tanpa kita minta, dirinya akan terus memberikan yang terbaik untuk seluruh anggota keluarganya (hal 109). Meskipun terkadang kita memiliki pemikiran yang bertolak belakang dengan pemikiran ayah, akan tetapi jangan sampai hal ini dijadikan sebagai alasan untuk menjauhi apalagi sampai membencinya (hal 148).
            Sebagaimana telah diungkapkan di atas, bahwa keberhasilan atau kesuksesan kita dalam mengarungi hidup ini, tidak akan bisa terlepas dari peran kedua orangtua kita, salah satunya adalah ayah. Tentu saja, kesuksesan dan limpahan materi yang kita miliki tidak akan ada artinya sama sekali jika kita sampai mengabaikan keberadaan orangtua yang telah berjuang mati-matian membesarkan kita sejak bayi hingga seperti sekarang ini.
            Tidak ada cinta yang melebihi cinta seorang ayah pada anaknya, itu kata Dan Brown. Ungkapan bijak ini seharusnya menjadi motivasi bagi kita, sebagai seorang anak, agar berusaha mencintai ayah (dengan segala kelebihan dan kekurangannya) dengan sebaik-baiknya. Jika banyak fenomena sekarang ini yang kita baca melalui berbagai berita di media cetak maupun elektronik, tentang durhakanya seorang anak pada orangtuanya, lantas apakah kita juga membiarkan hal tersebut terjadi pada diri kita? Jawabannya, tentu saja tidak. Jangan sampai sebagai anak, kita nekat melakukan hal-hal yang menyebabkan kita tergolong sebagai anak-anak yang mendurhakai kedua orangtua (hal 181).
            Sedikit kritik membangun untuk buku ini, kelak bila dicetak ulang, ada baiknya pihak penerbit lebih mengoptimalkan editannya, sebab ada beberapa kesalahan penulisan kata-kata yang masih saya jumpai di buku ini.
***