Rabu, Mei 20, 2015

Kekuatan Cinta Mampu Mengalahkan Berbagai Rintangan



 

Judul Buku   : ToBa Dreams
Penulis        : TB Silalahi
Penerbit       : Exchange
Cetakan       : I, April 2015
Tebal           : 260 halaman
ISBN           : 978-602-72024-6-7

          Tuhan telah menganugerahkan rasa cinta ke dalam hati sanubari setiap manusia. Cinta merupakan bekal utama bagi setiap manusia agar dapat mengarungi kehidupan ini dengan penuh harmoni yang pada muaranya nanti akan tercipta perasaan saling menyayangi dan mengasihi terhadap sesama, bahkan terhadap makhluk hidup lainnya.
          Dengan cinta, manusia dapat melakukan banyak kebaikan atau hal-hal positif. Kekuatan cinta memang begitu dahsyat, bahkan mampu mengalahkan berbagai ujian yang tiada henti datang mengadang. Seperti kisah cinta dalam novel ‘ToBa Dreams’ yang ditulis oleh Purnawirawan Jendral ini. Cinta yang dirasakan Andini terhadap Ronggur mampu mengalahkan berbagai rintangan terjal yang datang silih berganti.
          Atas nama cinta, Andini yang sejak kecil hidup dalam keluarga muslim, rela menanggalkan agamanya. Ia memilih berpindah keyakinan demi pria pujaan hatinya. Ia bahkan rela diusir oleh keluarganya dan kemudian menikah dengan Ronggur di salah satu gereja di tanah kelahiran keluarga Ronggur.
          Semua bermula ketika Sersan Tebe, ayah Ronggur, bercita-cita setelah pensiun dari TNI akan segera pulang ke Tarabunga, tanah kelahirannya yang berada di tepian Danau Toba. Dengan mengandalkan uang pensiunan yang tak seberapa, ia ingin bermukim, berbaur dengan masyarakat menjadi petani, sekaligus mengabdikan dirinya hingga akhir hayat di tanah kelahiran. Ia berharap ketiga anaknya (Ronggur, Sumurung, dan Taruli) sebagaimana dirinya, ikut mencintai tanah kelahiran dengan segala tantangan yang sudah pasti akan dihadapinya. Sersan Tebe yakin, jika Danau Toba diurus oleh orang-orang yang memberikan hatinya, niscaya tempat itu akan menjadi tujuan wisata yang terkenal hingga ke mancanegara (hal 16).
Sebagai anak sulung, Ronggur digadang-gadang dapat mewarisi ayahnya menjadi tentara. Atau bila tidak, ayahnya ingin Ronggur kelak menjadi pendeta seperti sang kakek. Tapi sayang seribu sayang, Ronggur merasa tak mewarisi bakat ayah dan kakeknya. Ia lebih menyukai dunia bisnis. Dan, rencana Ronggur menekuni dunia bisnis bersama teman-temannya gagal berantakan saat ayah memutuskan akan pulang dan mengabdi di tanah kelahirannya. Tak hanya Ronggur, kedua adiknya, Sumurung dan Taruli sebenarnya juga merasa enggan pulang ke kampung halaman yang terpencil, terlebih selama ini mereka telah terbiasa hidup di kota besar seperti Jakarta. Namun, kedua adiknya tak ada yang berani protes seperti dirinya yang suka membangkang orangtua (hal 31-35).        
          Akhirnya dengan berat hati, Ronggur pun memilih ikut pulang ke kampung halaman orangtuanya. Itu semua dilakukan demi Kristin, ibu kandungnya yang terus membujuk dirinya agar sekali-sekali menuruti kemauan sekaligus membahagiakan orangtua. Meski kerap menentang ayah, tapi sebenarnya jauh di dasar lubuk hati Ronggur merasa bangga pada sosok ayah yang memiliki hati lurus, tulus, jujur, anti korupsi, dan menjadi panutan anak buahnya.
          Pulang ke kampung halaman benar-benar menjadi mimpi buruk bagi Ronggur. Selain harus berpisah dengan teman-teman dekatnya, ia juga harus berpisah dengan Andini, gadis yang sangat ia cintai. Hubungan asmara yang telah terjalin selama 6 tahun dengan putri tunggal dari keluarga ningrat itu pun semakin tak ada kepastian. Terlebih, sedari awal ayah Andini menentang keras hubungan percintaan putrinya dengan Ronggur, yang tak selevel dengan keluarga Andini yang kaya-raya. Ayah Andini justru menaruh harapan besar pada Irwan, yang sama-sama berasal dari keturunan ningrat, untuk menjadi pendamping hidup Andini. Sebenarnya, Irwan adalah sahabat SMP-nya Ronggur yang telah lama memendam rasa suka pada Andini. Tapi, ketika Ronggur akhirnya jadian dengan Andini, diam-diam Irwan menjauh dan menganggap Ronggur sebagai musuhnya.
          Merasa tak betah tinggal di kampung halaman yang sepi, akhirnya Ronggur kabur dari rumah dan kembali ke Jakarta. Ia ingin mencari pekerjaan apa saja, asalkan bukan menjadi tentara atau pendeta sebagaimana keinginan ayah. Selain itu, ia juga ingin melunaskan janjinya bertemu kembali dengan Andini untuk memperjuangkan cinta mereka. Dan, betapa Ronggur sangat kecewa saat tiba di rumah Andini, ia melihat gadis yang dicintainya tengah bersama Irwan, anak pejabat bea cukai yang belum lama ini baru pulang dari Amerika setelah menyelesaikan kuliahnya (hal 93).
          Rupanya, tanpa Ronggur sadari, saat ia berada di kampung halaman selama 7 bulan, Irwan menggunakan kesempatan itu untuk mendekati Andini dan keluarganya. Kendati sempat terjadi kesalahpahaman, namun akhirnya kisah cinta Andini dan Ronggur kembali bersatu. Berbagai upaya dilakukan Ronggur untuk mendapatkan Andini. Bahkan ia sampai nekat terjun ke dunia hitam, bergabung dengan komplotannya Bonsu, gembong narkoba tingkat internasional. Ia terpaksa menerima tawaran Bonsu untuk bergabung bersama komplotannya setelah ayah Andini menghina dirinya habis-habisan.
Begitu juga Andini, ia pun sampai rela melepas status keislamannya demi bisa menikah bersama Ronggur. Andini bersedia pindah agama setelah Ronggur berjanji akan membimbingnya menjadi hamba yang taat beragama sesuai dengan keyakinan Ronggur dan keluarganya yang beragama Kristen.
Namun sayang, setelah menikah dan dikaruniai anak bernama Choky, kebiasaan buruk Ronggur masih belum berubah. Ia tak mampu membimbing Andini dan putranya menjadi penganut agama yang baik. Sementara di sisi lain, ia masih belum sepenuhnya dapat terlepas dari jaringan Bonsu dan komplotannya. Hingga akhirnya Andini bersama Choky memilih pergi dari rumah dan kembali memeluk agama yang pernah ditinggalkannya. Andini terpaksa memberi jeda kepada Ronggur untuk memperbaiki kelakuannya sebelum memutuskan kembali hidup bersamanya. Seiring berjalannya sang waktu, Andini dan Choky mulai dapat diterima kembali oleh keluarga yang dulu pernah mengusirnya.
Sederet konflik masih terus mengiringi kisah cinta Ronggur dan Andini. Misalnya, ketika Ronggur tak kuasa menolak permintaan Bonsu untuk menghabisi Jaksa Adil Paramarto yang terkenal jujur dan adil dalam menegakkan hukum, ketika akhirnya ia menjadi buronan polisi setelah menghabisi teman-teman komplotannya sendiri, dan masih banyak konflik lain yang semakin membuat novel ini terasa menegangkan dan memikat.
Novel yang diterbitkan oleh penerbit Exchange dan telah diangkat ke layar lebar ini cukup menarik dan sarat hikmah. Hikmah yang dapat kita petik di antaranya; pertama, sebagai orangtua yang bijak, jangan sampai memaksakan kehendak pada anak-anaknya karena setiap anak tentu memiliki cita-cita yang tak harus sama dengan orangtuanya. Kedua, betapa negeri ini sangat kaya dengan tempat-tempat wisata yang elok dan seharusnya dilestarikan bersama. Danau Toba misalnya. Sersan Tebe, dalam novel ini, mengajak masyarakat di daerahnya agar senantiasa peduli terhadap lingkungan, termasuk tidak mencemari kejernihan Danau Toba dengan berbagai jenis sampah yang dibuang sembarangan.
Ketiga, kekayaan bukanlah jaminan kebahagiaan. Terlebih jika kekayaan itu diperoleh melalui jalan yang dimurkai Tuhan sebagaimana yang dilakukan Ronggur. Meski ia memperoleh harta berlimpah dari berbisnis narkoba, namun jiwanya tak pernah merasa tenang, selalu dihantui perasaan berdosa, terlebih saat menyaksikan seseorang meregang nyawa akibat over dosis. Keempat, jangan sampai kita menggadaikan agama hanya demi seseorang yang kita cintai. Terlebih jika kita sampai berpindah agama tapi bukan karena panggilan jiwa, melainkan keterpaksaan. Sebagaimana kita ketahui bersama, sesuatu yang dilakukan atas dasar keterpaksaan, pasti akan menuai banyak konflik di kemudian hari, sebagaimana yang dialami Ronggur dan Andini. Betapa sangat kecewanya Ronggur ketika melihat Andini dan putra semata wayangnya yang masih kecil pada akhirnya lebih memilih agama Islam sebagai pegangan hidup.  
Dan kelima, betapa dunia ini akan terasa indah dan penuh warna jika kita mampu menghargai dan menghormati setiap perbedaan. Sebagaimana dicontohkan oleh Sersan Tebe dan keluarganya. Ketika menyaksikan Andini, menantunya, kembali pada keyakinannya yang lama (masuk Islam), mereka berusaha menghormati keputusan itu dan masih sudi menerima Andini sebagai bagian dari keluarganya. 
***
*Diresensi oleh Sam Edy Yuswanto, penulis lepas bermukim di Kebumen.

Senin, Mei 18, 2015

Strategi Menjadi Marketer Andal



Judul Buku      : Sales dan Marketing
Penulis             : Scott L. Girard, Jr., Michael F. O’Keefe, dan Marc A. Price
Penerbit           : Metagraf, Solo
Cetakan           : I, November 2014
Tebal               : xii + 228 halaman
ISBN               : 978-602-9212-74-7

            Penjualan dan pemasaran suatu produk, ibarat dua sisi mata uang. Artinya keduanya saling berkaitan dan tak mungkin dapat dipisahkan. Ya, penjualan dan pemasaran merupakan dua elemen yang saling memengaruhi dalam dunia bisnis. Melalui marketing, kita akan mendapat gambaran jelas dan detail mengenai target pasar yang akan kita bidik. Dengan target pasar yang jelas, maka target dan arah pemasaran pun dapat ditentukan.
            Pemasaran merupakan aktivitas yang dilakukan dengan tujuan untuk mencari dan meyakinkan calon konsumen agar mau membeli produk yang kita ciptakan. Proses pemasaran bisa dilakukan dengan berbagai cara. Namun ada beberapa hal yang penting dilakukan sebelum proses pemasaran tersebut dilakukan. Misalnya, berusaha menemukan jenis barang atau jasa yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen yang potensial, menentukan harga yang layak, nama yang efektif, kemasan serta merek dagang yang menarik, dan lain sebagainya (hal 7-9).
            Biasanya, para pebisnis memiliki banyak ide sehingga mereka tak mempunyai waktu untuk memikirkan prioritas dan perencanaan yang realistis. Ada beberapa tips yang bisa membantu kita untuk tetap berada pada jalur yang benar saat merencanakan pemasaran. Di antaranya, membuat kerja sama dengan orang-orang yang dapat mendukung usaha kita, menciptakan jaringan pemasaran yang kuat, menerapkan sistem pemasaran yang menarik bukan pemasaran yang sifatnya memaksa, mempelajari para kompetitor kita, dan lain-lain (hal 16-22).
            Banyak orang atau perusahaan mengabaikan hal-hal mendasar dalam cara mereka menjual dan mengembangkan bisnis. Mereka lupa bahwa hal-hal mendasar selalu menjadi fondasi untuk menuju sukses. Beberapa hal mendasar yang perlu diperhatikan dalam penjualan antara lain melakukan pendekatan, melihat atau melakukan penelitian, mendengarkan, mempresentasikan, melakukan tindak lanjut, dan masih banyak lainnya yang akan diulas lebih lanjut dalam buku ini.
            Melakukan pendekatan, artinya kita berusaha menghampiri para calon pembeli untuk mempromosikan apa yang ingin kita jual. Lupakan semua database yang rumit untuk sementara. Perkenalkan diri kita pada orang-orang di warung kopi, di pusat-pusat kebugaran, atau tempat-tempat memungkinkan lainnya. Jangan lupa, banyak di antara kita yang memiliki tetangga tapi belum pernah kita kunjungi. Luangkan waktu untuk berkenalan dengan mereka.
            Selanjutnya, lakukan penelitian sederhana setiap hari. Pelajari tren pasar terbaru. Bacalah berita-berita mengenai industri yang tengah berkembang. Media internet bisa diandalkan untuk dijadikan sumber informasi, statistik, berita mengenai peluncuran produk, ataupun layanan yang berkaitan dengan bisnis kita. Internet juga dapat dijadikan sebagai alat penelitian untuk menggali berbagai informasi tentang hal-hal yang tengah diminati masyarakat luas (hal 45-46).
            Selain itu, kita harus lebih banyak mendengarkan apa yang dikatakan oleh para calon pembeli dan pelanggan kita, tidak hanya mengenai produk atau layanan, tapi juga apa yang mereka katakan mengenai industri bisnis yang tengah kita tekuni. Berilah mereka forum yang memberi kesempatan untuk berbicara mengenai apa yang mereka lihat setiap hari, terutama yang menurut mereka akan menguntungkan mereka. Forum seperti ini sangat penting, sebab dapat membantu kita memahami kebutuhan-kebutuhan mereka.
            Banyak orang menemui kesulitan untuk menindaklanjuti penjualan dan pengembangan bisnis. Banyak di antaranya terlalu malas dan takut untuk melakukannya. Sementara sebagian yang lain, terkadang terlalu berlebihan dalam menyambut pelanggan dengan memberikan terlalu banyak pelayanan. Kuncinya adalah melihat serta mendengarkan untuk mempelajari bagaimana dan seberapa sering para pelanggan mau didekati. Jika kita dapat melakukan tindak lanjut secara tepat, maka usaha kita akan menuai hasil memuaskan, dan kita dapat melayani pelanggan baru yang akan merasa puas dengan pelayanan yang kita berikan (hal 47-48).
            Buku ini bagus dan layak dijadikan sumber referensi bagi para pebisnis dan pemilik perusahaan, terlebih di tengah persaingan bisnis dunia yang semakin hari semakin kompetitif.
***
*resensi ini pernah dimuat di koran Jateng Pos 26 April 2015.



Minggu, Mei 17, 2015

Pujian Hujan


(
Cerpen ini pernah tayang di Annida-online).

Allohumma atsqinaa ghoitsammughiitsaa…

Walaa taj'alnaa minal qoonithiin*



Kalimat pujian itu kembali mengudara sengau dari corong yang tercagak di atap seng surau lapuk kampung kecil itu. Tepatnya usai azan shalat lima waktu. Kemarau panjang benar-benar membikin warga kampung kelimpungan. Karena ladang-ladang mereka berubah mengerontang. Hingga tanah gembur yang semula subur kini meranggas. Pecah-pecah seperti usai terhempas gempa.

Hingga di suatu petang, entah siapa yang memulai, warga kampung berkumpul dan merundingkan sesuatu di rumah Pak lurah. Lantas, mereka berbondong menuju rumah Pak Kiai Karim--Kiai sepuh usia 78--guna memohon beliau agar mengumandangkan kembali pujian-pujian yang berisi doa minta hujan pada Tuhan.

Sebagaimana sebelumnya, doa-doa pujian itu diimani warga sebagai jimat mujarab yang langsung membuat Tuhan merasa trenyuh, lantas menitah sang langit agar selekasnya mencurahkan air ke area ladang-ladang gersang mereka.

“Tolong Pak Kiai, kumandangkan lagi puji-pujian itu, agar ladang-ladang warga tak lagi kering,” pinta Pak lurah dengan wajah berbias sendu. Warga memang memohon Pak lurah untuk menjadi juru bicara kesah mereka.

Pak Kiai Karim nampak manggut-manggut mendengar permohonan Pak lurah seraya mengelus-elus jenggotnya yang panjang dan sudah didominasi warna putih.

“Saya sifatnya hanya membantu dengan doa. Jika nanti dikabulkan, itu memang karena Allah yang paling tahu apa yang terbaik buat hamba-Nya. Tapi, seandainya belum terkabul, kalian jangan kecewa, lantas menyalahkan-Nya. Karena Allah pasti selalu mempunyai rencana lain di balik semua keputusan-Nya.”

Wejangan Pak Kiai membuat warga kampung manggut-manggut sepenuh takzim. Entah, apakah petuah imam dan pengajar ngaji di surau lapuk di ujung kampung mereka itu benar-benar masuk ke dalam lubuk sanubari mereka. Atau hanya sekedar menelusupi telinga kanan, lalu terbirit melalui telinga kiri.

“Dan, yang harus kalian ingat, mari kita ramaikan kembali surau kita dengan pengajian, penuhi shaf-shaf shalatnya, jangan hanya karena kita sedang kesulitan saja lantas membuat kita ingat pada-Nya,” lanjut Pak Kiai.

Sebenarnya telah berkali Pak Kiai berwejang senada sebagaimana sebelumnya saat kemarau datang dan warga kampung berkumpul untuk memohon beliau agar memanjatkan pujian hujan. Namun pada kenyataannya, besok, besok dan besoknya, tetap tak ada warga yang sudi menyambangi surau.

“Iya, Pak Kiai. Kalau begitu saya permisi dulu, saya atas nama warga kampung menyampaikan beribu terima kasih karena Pak Kiai telah sudi menolong kami,” kata Pak lurah sebelum akhirnya mohon pamit.

***

Lima hari sudah, Pak Kiai Karim kembali melantunkan pujian hujan dengan suara khas seraknya. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, tak ada warga yang sudi mampir ke suraunya yang kian lapuk digerogoti rayap, karena memang tak ada warga yang terpanggil jiwa sosialnya untuk membangun atau memperbaiki surau tua itu. Bahkan sekadar ikut ngrewangi Pak Kiai membersihkan surau pun mereka enggan.

Dan lagi-lagi, yang menghidupkan surau lapuk itu hanya Pak Kiai seorang diri. Membersihkan surau sendiri. Azan dan iqamat sendiri. Menjadi imam sendiri. Tanpa ada sesiapa yang sudi berdiri di belakangnya untuk meraih pahala 27 derajat yang telah dijanjikan Allah pada setiap hamba-Nya.

Dulu, tepatnya 10 tahun silam, setiap Magrib hingga Isya, surau itu cukup ramai buat shalat berjamaah dan mengaji. Pak Kiai sama sekali tak merasa dibuat repot, apalagi mengumbar keluh. Bersebab waktu itu beliau dibantu dua putranya, Warman dan Teguh, untuk mengajari mengaji warga kampung tiap malam.

Namun, yang namanya takdir memang sesuatu yang sesiapa pun tak mampu menebaknya. Warman meninggal karena kecelakaan. Ia menjadi korban tabrak lari. Setahun , menyusul putra kedua, Teguh, yang tersambar petir saat sedang menyiangi rumput di ladang. Kini Pak Kiai hidup sendiri. Sebatangkara. Sementara istrinya sudah lama meninggal, tepatnya saat Teguh masih usia lima tahun. 

Berselang tahun, semenjak listrik merambah kampung dan warga mulai mengenal televisi dan parabola, perubahan besar-besaran pun terjadi. Sebagian besar penduduk beramai-ramai membeli benda elektronik dan payung raksasa ajaib itu. Yang belum mampu beli televisi, mereka berbondong menebeng di rumah tetangga atau sanak famili yang sudah memiliki televisi.

Sejak saat itulah, perlahan namun pasti, warga mulai jarang menyambangi surau. Bahkan beberapa bulan berselang, tak ada lagi yang sudi mampir ke surau itu lagi. Acara-acara televisi itu sepertinya telah menyihir warga untuk tak beranjak walau barang sejenak. Saat senja lamat-lamat tersaput gelap, para warga justru sedang bermasyuk-ria di depan kotak kaca ajaib yang tak kenal kata 'rehat' itu. Hanya tinggal rumah Pak Kiai Karim saja yang tak ada pesawat televisinya. Dan hanya beliau satu-satunya warga yang masih sudi menghidupkan suraunya yang kian lapuk, selapuk usianya yang telah pasrah menunggu dijemput Izrail.

# # #

Telah lewat masa seminggu, pujian hujan itu menguar dari mulut serak Pak Kiai Karim. Namun, tak serintik air langit pun yang sudi menetesi bumi. Dan itu membuat warga dirundung gelisah, nyaris memutus asa dan mulai bersyakwasangka doa Pak Kiai tak seampuh dulu lagi.

“Kok, ndak kayak tahun kemarin ya, Nem. Biasanya puji-pujian Pak Kiai cukup ampuh, kalau ndak langsung turun hujan ya paling tidak langit terlihat mendung dan gerimis,” kata Dahlan pada Inem, istrinya, yang sedang duduk manis menonton tayangan sinetron bersambung.

“Iyo, Pak. Apa mungkin doa Pak Kiai Karim sudah ndak ampuh lagi?” Inem melengos sebentar dari televisinya, memandang suaminya dengan mengerut dahi.

Dahlan mengiyakan ucapan istrinya sambil menghirup cangkir kopi dan mengisap rokok lintingannya.

“Mudah-mudahan saja Gusti Alloh mau mendengar doa Pak Kiai, yo, Pak,” sejatinya, jauh di dasar lubuk hati, Inem masih menyisa harap, doa Pak Kiai masih sedahsyat dulu.

***

Namun ternyata, besok dan besoknya, hujan masih belum turun. Bahkan warga kampung sempat bertanya-tanya bersebab di pagi itu tak lagi terdengar suara azan Subuh dan pujian hujan mengumandang dari suraunya Pak Kiai Karim. Merasa masih punya harapan, Inem menyuruh suaminya agar menyambangi rumah Pak Kiai guna menanyakan alasan; mengapa tak lagi mengumandangkan pujian pengundang hujan?

Dahlan pun menggesa langkah menuju kediaman Pak Kiai Karim. Namun, setiba di sana, ternyata rumah Pak Kiai kosong. Oh, mungkin beliau sedang ber-dhuha di surau, begitu terka benak Dahlan. Alangkah terkejutnya ia, ketika Pak Kiai Karim ditemukan tergeletak di pengimaman surau.

Tubuh Pak Kiai telah kaku, kepalanya berlumur darah yang hampir mengering tertimpa kayu penyangga atap yang sudah lapuk. Tergesa Dahlan menyambar mikrofon yang tergeletak di lantai mihrab. Lantas dengan bibir bergetar ia memberitahukan kabar duka itu kepada warga kampung.

Dalam hitungan menit, warga kampung telah berjubel di halaman surau. Mereka terkesima dengan kejadian tragis yang menimpa Pak Kiai Karim. Raut prihatin dan sedih memancar dari wajah-wajah warga, meskipun tak ada seorang pun yang menitikkan air mata, apalagi meratapi kepergiannya.

Setelah jenazah Pak Kiai Karim dikebumikan, langit yang semula berwarna biru cerah mendadak pucat tergulung mendung yang dalam sekejap meratai seluruh petala langit. Guntur dan kilat saling bersaut membelah langit yang berkalang durja. Angin mendadak bertiup kencang tak tentu arah, memintal dedaunan kering dan debu-debu pekuburan. Dalam bilangan detik, langit yang berkalang mendung tak kuasa menahan diri lagi untuk tak memuncratkan airnya ke seluruh mayapada.

Warga panik. Lintang pukang menuju rumah masing-masing dengan baju menguyup. Sementara hujan masih belum reda. Malah kian menderas. Suara rentet petir sesekali meruangi udara yang dingin.

Keesokan harinya, warga dibuat terperangah saat ke luar rumah. Hujan yang turun sejak kemarin siang hingga larut malam menimbulkan air bah setinggi betis-betis orang dewasa.

***


Puring-Kebumen, 2011



Catatan:

*Ya Allah, semoga Engkau berkenan menurunkan hujan kepada kami, dan janganlah Engkau jadikan kami termasuk golongan orang-orang yang memutus rahmat-Mu. 


*sumber iliistrasi diambil dari web Annida-online.

Rabu, Mei 13, 2015

Ketika Ia Terpaksa Berbagi Hati




“Hati yang Terbagi” merupakan buku kumpulan cerita pendek (cerpen) perdana karya saya yang diterbitkan oleh penerbit Pustaka Puitika Yogyakarta. Buku ini berisi 10 cerpen yang sudah pernah dimuat di berbagai media cetak, baik lokal maupun nasional, seperti cerpen berjudul: “Anak-anak Kereta” dimuat koran Seputar Indonesia, “Ketika Pesawat itu Jatuh” dan “Ongkos Naik Haji Emak” dimuat koran Republika, “Koruptor” dimuat koran Merapi, “Hati yang Terbagi”, “Maling” dan “Asmara Simalakama” dimuat Bangka Pos, “Sandal Jepit” dimuat Majalah Basis, “Kekasih” dimuat Solopos, dan “Tukang Sampah” dimuat Inilah Koran.
“Hati yang Terbagi” judul cerpen sekaligus menjadi judul buku ini, berkisah tentang kegetiran seorang perempuan bernama Siti yang ‘terpaksa’ berbagi hati dengan perempuan lain. Begitu besar rasa cintanya pada sang suami, sehingga apa pun akan dilakukan demi mempertahankan keutuhan rumah tangga termasuk kerelaannya hidup di sangkar madu. Semua bermula ketika rahim Siti tak mampu menciptakan bakal janin yang diidam-idamkan setiap pasangan suami istri. Sementara usia pernikahan keduanya nyaris melewati tahun kesepuluh. 
Saran Siti untuk mengadopsi anak, mendapat pertentangan keras dari suami dan ibu mertua. Hingga akhirnya, Siti terpaksa mengamini keinginan ibu mertuanya yang menghendaki putranya menikah lagi. Sayang seribu sayang, dari pernikahan kedua Damar dengan Lastri, nama perempuan itu, ternyata tetap sama alias tak kunjung mendapatkan momongan. Padahal menurut ahli medis, rahim Lastri dinyatakan subur.
Berikut ini saya sisipkan petikan singkat cerpen Hati yang Terbagi:
Dulu, kukira setelah menikah, orang-orang akan setop bertanya “Eh, kapan kamu nikah?” Tapi setelah menikah pun, orang-orang masih nyinyir merangkai kata; “Eh, kapan nih, punya momongan?” Bla-bla-bla. Seperti itulah kehidupan, tak akan pernah usai dan hanya buang-buang waktu percuma jika kita sibuk meladeni ucapan orang (hal 28-36).
Cerpen ‘Asmara Simalakama’ masih membahas seputar lika-likunya kehidupan berumah tangga. Cerita bermula ketika Kris berkenalan dengan Maia, seorang perempuan cantik, melalui jejaring sosial. Kisah cinta keduanya pun akhirnya bermuara di kursi pelaminan. Usai pernikahan, kejanggalan demi kejanggalan dirasakan Kris, tepatnya ketika Maia selalu menolak saat diajak melakukan hubungan intim.
Betapa kaget dan marahnya Kris, saat sebuah rahasia besar terbongkar. Benar kiranya ungkapan orang bijak, bahwa kebohongan yang ditutup serapat apa pun, kelak akan terendus juga baunya. Maia, sosok perempuan feminin yang Kris kenal selama ini ternyata bukan perempuan tulen, alias perempuan jadi-jadian. Yang mengejutkan, ketika Kris berusaha mengubur kenangan-kenangan menjijikkan bersama Maia, justru sebuah keganjilan datang tanpa bisa dicegah.
Cerpen ini mengandung hikmah penting; jangan pernah kita meremehkan orang lain apalagi sampai membencinya mati-matian. Sebab, tak ada satu manusia pun di muka bumi ini yang tahu kejadian-kejadian tak terduga pada dirinya kelak. Bisa saja hal yang pernah dibenci justru menjadi simalakama di kemudian hari.
Berikut petikan singkat cerpen Asmara Simalakama:
Malam pertama adalah malam yang telah lama kunantikan. Kendati kuterpaksa ditikam kecewa, bersebab pada malam itu kau bilang tengah berhalang. Kau tak bisa melayaniku dengan dalih tengah dihadang adat bulanan. Sebagai suami yang baik, tentu aku sangat memafhumi fitrahmu sebagai perempuan.
Tapi hingga seminggu. Dua minggu. Bahkan bulan telah berganti nama. Kau selalu menolak saat aku memintamu melakukan hubungan intim. Kau terus menghindar dengan ragam dalih dan tutur bahasa halus saat berulang kali kubilang ingin menyempurnakan nafkah batinku. Kau hanya berkenan dicumbui selain bagian tervital dari dirimu (hal 19-27).
Hukum di negeri ini rupanya hingga detik ini masih belum dapat diterapkan dengan adil dan merata. Tebang pilih. Orang bilang, “Tajam di bawah, tumpul di atas”. Artinya, jika yang berbuat kesalahan adalah rakyat kecil, maka proses hukum langsung dapat diproses dengan cepat. Berbeda halnya jika yang berbuat kesalahan adalah orang-orang besar, misalnya para pejabat yang tersandung kasus korupsi, biasanya proses hukumnya sangat berbelit bahkan ironisnya mereka dapat terbebas dari hukuman padahal berbagai bukti telah terpampang di depan mata. Seandainya masuk bui pun, mereka masih diperlakukan secara terhormat.
Cerpen berjudul “Sandal Jepit” mewakili hati nurani penulis yang merasa sangat prihatin dengan kondisi hukum di negeri ini yang masih tebang pilih. Karman, pemuda putus sekolah akibat ketiadaan biaya pendidikan formal yang mahal, terpaksa menjalani hari-harinya sebagai pemulung sampah. Terlebih setelah Karyo, bapaknya yang juga seorang pemulung, tak lagi bisa beraktivitas akibat penyakit yang kerap datang menderanya.
Suatu ketika, Karyo minta dibelikan sandal jepit, karena sandalnya yang lama sudah tak bisa dipakai lagi. Sebagai pemulung yang tak jelas pendapatan hariannya, ia berusaha secepatnya mengabulkan permintaan bapak yang sudah kian sepuh saja. Hingga pada suatu hari yang tak dinyana, Karman tergoda untuk mengambil sandal jepit yang tergeletak di sebuah mushala. Malang nian, aksi nekatnya dipergoki si empunya sandal.
Berikut saya sisipkan petikan cerpen Sandal Jepit:
“Sandal jepit yang ini berapa ya, Mbok?” Tanya karman sambil memegangi sandal jepit warna biru muda yang barusan ia keluarkan dari plastik bening pembungkusnya.
            “Oh, yang itu delapan ribu lima ratus, Man,” sahut Mbok Minah.    
Duh, berarti masih kurang. Uang sisa belanja buat beli beras, sayuran, dan melunasi hutang kemarin tinggal tiga ribu limaratus, gumam Karman sedih.
“Gimana, Man, sandalnya jadi apa nggak?” pertanyaan Mbok Minah sontak mengusir lelamun Karman (hal 76-82).
Meskipun karya fiksi, tapi cerita-cerita yang terangkum dalam buku sederhana ini terselip hikmah yang bisa dijadikan bahan renungan bersama. Untuk sementara, buku ini dapat dipesan langsung melalui penerbitnya. Khusus 100 pemesan pertama, mendapat diskon 10% dan bebas ongkos kirim. Pemesanan bisa langsung meng-inbox Facebook Pustaka Puitika, berikut link-nya: https://www.facebook.com/penerbitpustakapuitika19?pnref=story
 Terima kasih, semoga buku ini dapat menghibur dan bermanfaat.
***

Judul Buku : Hati yang Terbagi
Penulis : Sam Edy Yuswanto
Penerbit : Pustaka Puitika
Tahun Terbit : 2015
Dimensi : 12 X 19 Cm
Tebal : 103 Halaman
Kertas Isi : Hvs 70 Grm
Cover : Ivory 260 / Doff /
Isbn : 9786021621462
Harga
Normal : Rp. 36.500,-


*cover buku diambil dari koleksi pribadi.