Kamis, Maret 27, 2014

Fakta Sejarah Penyelewengan Sains dan Teknologi Islam oleh Barat

Fakta sejarah telah membuktikan bahwa begitu banyak hasil temuan para ilmuwan Islam (baik di bidang sains maupun teknologi) yang sengaja disembunyikan bahkan diklaim sebagai hasil penemuan orang-orang Barat. Akibatnya, generasi muslim sekarang ini (bahkan masyarakat dunia pada umumnya) kerap menelan mentah-mentah fakta sejarah yang secara sengaja diselewengkan oleh orang-orang Barat.

Betapa dunia Barat telah melupakan, mencampakkan dan membelokkan fakta sejarah. Sehingga yang terbaca oleh masyarakat dunia hingga hari ini sangat jauh berbeda dengan fakta aslinya. Misalnya, saat ini dunia Barat tidak mau mengakui bahwa peradaban ilmu pengetahuan mereka sangat dipengaruhi oleh peradaban ilmu pengetahuan yang ditemukan oleh para ilmuwan muslim. Padahal, dunia Barat tidak akan mencapai kejayaan peradaban ilmu pengetahuan seperti sekarang ini jika tidak menginduk pada intelektualitasme para ilmuwan muslim.

Klaim serta pemyembunyian orang-orang Barat terhadap sains dan teknologi Islam memang sengaja dilakukan karena mereka menyadari betul bahwa kerbelakangan dan ketertinggalan mereka tidak dapat dihilangkan, kecuali dengan cara berinteraksi dengan Islam. Maka, kaum Barat banyak melakukan interaksi dengan dunia Islam sehingga menyebabkan adanya sentuhan peradaban sains dan teknologi Islam terhadap mereka. Dan proses interaksi dunia Barat dengan dunia Islam tak hanya dilakukan dengan cara damai sebagaimana terjadi di Andalusia. Akan tetapi juga dilakukan dengan cara-cara yang sangat ekstrem. Misalnya, melalui konflik-konflik bersenjata, sebagaimana dalam Perang Salib (hlm. 124-125).   

Banyak sekali bukti-bukti sejarah yang memaparkan kelicikan kaum Barat. Misalnya, seorang pendeta terkemuka di Roma, Italia, bernama Roger Bacon. Ia lahir pada tahun 1214 dan meninggal tahun 1292 M. Pada waktu itu, ia sengaja belajar di universitas Islam untuk menguasai bahasa Arab. Dengan memahami bahasa Arab, maka ia akan dengan mudah dapat mempelajari banyak buku yang ditulis oleh para ilmuwan muslim.

Roger Bacon lantas menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan muslim ke dalam bahasa Inggris. Dan liciknya, ia kemudian mengklaim bahwa karya-karya terjemahan tersebut adalah hasil karyanya. Padahal, karya tersebut sebenarnya diambil dari buku-buku karangan ilmuwan muslim. Salah satu contoh, buku karya ilmuwan muslim yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh ilmuwan Barat adalah Al-Manadzir yang ditulis oleh Ali al-Hasan Ibnu Haitsam (lahir pada tahun 965 dan wafat tahun 1038 M). Buku tersebut menjelaskan tentang teori mikroskop dan mesiu (hlm. 111-117).           

Ibnu Rusyd, adalah salah satu ilmuwan muslim yang sangat mempengaruhi peradaban sains Barat. Di Barat, Ibnu Rusyd dikenal dengan nama Averroes. Ia lahir di Kordoba (Spanyol) pada tahun 520 H atau 1128 M dan wafat tahun 1198 M. Salah satu karyanya yang begitu memukau dunia adalah buku berjudul Kulliyat Fith Thibb. Dalam versi bahasa Indonesia-nya karya tersebut bermakna Aturan Hukum Kedokteran. Buku yang sangat tebal itu terdiri dari 16 jilid.

Eropa dan Amerika mulai mempelajari karya Ibnu Rusyd sejak tahun 1225 M, yaitu ketika Kulliyat Fith Thibb diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul General Rules of Medicine. Beberapa abad kemudian Kulliyat Fith Thibb diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di Eropa dan Amerika (hlm. 120-121).         

Fakta-fakta lainnya dapat Anda temukan dalam buku ber-genre Pengetahuan Populer ini. Buku yang disusun oleh Abdul Waid ini dapat dijadikan sebagai referensi penting oleh sekolah-sekolah dan universitas di negeri ini. Harapannya ke depan, generasi muda Islam dapat mengetahui siapa penemu sains dan teknologi yang sebenarnya. (Sam Edy Yuswanto)

Judul : Menguak Fakta Sejarah Penemuan Sains dan Teknologi Islam
Penulis : Abdul Wahid
Penerbit  : Laksana
Tahun : 2014
Genre  : Sejarah Islam
Tebal : 206 Halaman
ISBN : 978-6027-724-37-2

*Resensi ini dimuat di Wisata-Buku.Com : 
 

Jumat, Maret 21, 2014

Suka Duka Mahasiswi di Negeri Gingseng

Perjuangan Elvira, mahasiswi muslim Indonesia, saat menuntut ilmu di Korea Selatan diwarnai beragam suka dan duka. Buku berjudul ‘Once Upon a Time in Korea’ terbitan Noura Books ini berisi sekumpulan kisahnya. Mulai dari kegigihannya meraih beasiswa S2 hingga akhirnya berhasil meraih gelar Master of Engineering (M. Eng) untuk jurusan Industrial Engineering, Kyung Hee University (South Korea).

Sebelum memperoleh beasiswa, Elvira sempat tak diterima di beberapa universitas terkemuka di negeri ini. Tapi ia tak patah semangat. Merasa tak ada yang istimewa dalam dirinya yang hanya mengantongi ijazah PTS (Perguruan Tinggi Swasta), ia bertekad ingin membuat dirinya lebih “bernilai”. Bersama Icha, sahabatnya, ia berusaha mencari program beasiswa S2 di luar negeri melalui internet.

“Luar negeri? Kenapa nggak lanjut di Indonesia aja, Vir? Luar negeri itu kan jauh, belum tentu Mama sama Papa nanti bisa ngunjungin kamu. Nanti kalau sakit siapa yang mau urus?” Macam-macam aja mau sekolah ke luar negeri. Siapa yang mau bayar? Kalau mau sekolah di Indonesia, saya biayai. Bilang, Mam.” Itulah reaksi kedua orangtuanya ketika ia menelpon ke rumahnya di Medan, dan mengatakan ingin melanjutkan kuliah di luar negeri. Namun setelah Elvira menjelaskan bahwa ia akan mencari beasiswa S2 di luar negeri dan tidak akan meminta biaya kuliah dari kedua orangtuanya, ia pun mendapat izin (hal 8-9).

Selama berhari-hari, Elvira bersama Icha yang juga sama-sama ingin meraih beasiswa di luar negeri, browsing internet, mencari informasi lowongan beasiswa S2 di luar negeri. Pencarian tak kunjung menuai hasil. Keduanya lantas mencoba mengerucutkan pencarian di google menjadi ‘daftar universitas di Korea dan Jepang’. Setiap hari mereka tanpa bosan menjelajahi satu per satu website universitas yang mereka incar (hal 13).

Hingga akhirnya terbersit ide untuk mencoba mengirim e-mail ke beberapa profesor yang mereka temukan di website kampus melalui jaringan Google. Isi surat tersebut tentu saja menyampaikan keinginan untuk melanjutkan studi dan bergabung dengan universitas yang bersangkutan. Keduanya pun melengkapi dengan melampirkan ijazah, transkip nilai, sertifikat TOEFL dan CV.

Setelah beberapa kali ditolak, bahkan menunggu sampai bulan telah berganti nama, akhirnya sebuah e-mail balasan masuk. Betapa senangnya mereka ketika membaca balasan dari Profesor Kim Sang Kuk, bahwa mereka memiliki kesempatan mendapat beasiswa S2 di Korea Selatan. Setelah melengkapi beberapa persyaratan yang diminta, Elvira dan Icha pun resmi diterima kuliah gratis di Kyung Hee University (yang menjadi tempat kuliahnya Kyuhyun, personil boyband ternama: SUJU).

Ternyata, hidup di negeri yang mayoritas non muslim tak semudah yang dibayangkan. Beragam pengalaman, suka maupun duka, mewarnai kehidupan dua gadis berjilbab itu selama menimba ilmu di Negeri Ginseng. Sewaktu tiba di bandara, misalnya. Elvira terkejut bukan main saat melihat toilet yang nampak bersih tapi tak ada fasilitas airnya, hanya tersedia tisu. Ternyata, adat masyarakat Korea memang seperti itu, menggunakan tisu untuk membersihkan kotoran yang keluar dari tubuh manusia. 

Sementara Elvira di toilet, Icha bergegas membeli sebotol air mineral dengan harga yang ternyata cukup mahal. Hari-hari berikutnya, mereka harus rajin membawa botol di dalam tas. Jadi sewaktu-waktu hendak ke toilet, mereka tak perlu repot membeli air (hal 25-26).

Wanita muslim berjilbab di Korea ternyata mendapat sorotan berlebihan oleh masyarakat. Banyak yang heran, bahkan saat berada di jalan, Elvira dan Icha sempat diinterogasi oleh wanita-wanita Korea, mengapa wanita harus mengenakan jilbab? Apa tidak kepanasan? Terlebih di musim panas seperti ini? Beruntung, keduanya bisa menjawab dengan sabar dan tetap tersenyum, meski tak dapat memuaskan rasa penasaran mereka yang terus memandang aneh. 

Belum lagi soal makanan, minuman, bahkan kosmetik, yang mayoritas mengandung unsur-unsur babi. Tapi mereka mampu menyiasatinya dengan rajin masak sendiri, dan rajin bertanya terlebih dulu sebelum membeli sesuatu, apakah mengandung unsur babi ataukah tidak? Dan suasana kian terasa mengharu biru ketika bulan Ramadan tiba. Mereka harus berjuang menahan lapar di musim panas, di mana waktu siang menjadi lebih panjang, yaitu 16 jam.

Pada akhirnya, kedua gadis berjilbab dari Indonesia itu mampu melewati semuanya dengan mudah dan lebih menyenangkan. Buku ini cukup inspiratif dan dapat memberikan motivasi bagi anak-anak muda negeri ini yang memiliki impian kuliah di luar negeri.

----

Judul Buku      : Once Upon a Time in Korea
Penulis           : Elvira Fidelia
Penerbit         : Noura Books
Cetakan          : I, November 2013
Tebal              : 264 halaman
ISBN              : 978-602-1606-09-4
Peresensi        : Sam Edy Yuswanto.


#Resensi ini dimuat di RIMAnews:


Senin, Maret 17, 2014

Gaya Kepemimpinan Dahlan Iskan



Judul Buku : Leadership Ala Dahlan Iskan
Penulis       : Elshabrina
Penerbit     : Cemerlang Publishing
Cetakan     : I, 2012
Tebal         : 156 halaman
ISBN         : 978-602-7624-17-7

        Dahlan Iskan adalah sosok yang ‘authentic leadership’. Sikapnya spontan dan berkecepatan tinggi. Konsep ‘decision making’ dalam leadership model ini sangat cepat, karena ia tak hanya dituntun oleh pikiran, tapi juga intuisinya. Kepribadian serta gaya kepemimpinan Dahlan Iskan yang khas mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat. Meski ada suara-suara minor yang kontra dengan aksinya yang kerap di luar perkiraan orang umum. Berita seputar Dahlan Iskan sebagai sosok pembaharu yang unik selalu menjadi bahan berita di berbagai media. Bahkan sebuah media menceritakan; di China, Dahlan Iskan lebih tenar dibanding Presiden SBY.
        Buku berjudul ‘Leadership Ala Dahlan Iskan’ ini akan mengajak pembaca untuk mengetahui lebih dekat kehidupan seorang Dahlan Iskan, mulai masa kecil hingga ia bisa menjadi seperti sekarang ini. Dahlan adalah anak ketiga dari 4 bersaudara. Lahir di sebuah desa kecil bernama Takeran, Magetan, Jawa Timur pada Senin Legi ketika gunung Kelud meletus. Ketika baru lahir, orang tua Dahlan meminta kakak perempuannya untuk menulis secara lengkap tanggal kelahiran Dahlan di balik lemari kayu dengan menggunakan kapur ‘enjet’.
Ketika ia berusia 11 tahun, ibunya jatuh sakit dan butuh biaya cukup besar untuk berobat. Satu-satunya perabot berharga di rumahnya, yakni lemari tersebut, terpaksa dijual sehingga data kelahiran Dahlan pun hilang. Alhasil, tanggal persis kelahirannya tak ada yang tahu. Namun, merunut kejadian meletusnya gunung Kelud, kemudian ditetapkan tanggal kelahirannya adalah 17 Agustus 1951 (halaman 11-14).
Dahlan lahir dalam keluarga serba kekurangan. Inilah yang memotivasi dan mewarnai perjuangannya di kemudian hari. Muhammad Iskan, ayah Dahlan, adalah seorang petani dan tukang kayu. Dahlan telah terbiasa membantu pekerjaan sang ayah mulai dari membajak sawah, bertanam, hingga memanen padi (halaman 15). Tahun 1975, ketika berusia 24 tahun, Dahlan merantau ke Samarinda. Di sana ia memulai karir sebagai reporter di sebuah koran lokal. Setahun kemudian, ia diterima menjadi wartawan di majalah Tempo. Karirnya pun kian melesat hingga akhirnya pada tahun 1982 ia diangkat menjadi pemimpin surat kabar Jawa Pos (halaman 21-22).
Di awal karirnya sebagai wartawan, Dahlan pernah hidup susah. Ia tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil. Tiap bepergian selalu mengendarai angkutan umum. Agar bisa membeli beras, ia harus menulis dulu di sebuah media lokal. Honor menulis itulah yang ia pergunakan untuk membeli beras. Nama Dahlan Iskan melambung setelah berhasil mewawancarai Waluyo Ingnatius Kusni Kasdut, mantan pejuang 45 yang kecewa dan kemudian menjadi penjahat legendaris. Dahlan mewawancarainya di dalam penjara sebelum Waluyo dieksekusi mati pada 16 Februari 1980 di LP Kalisosok (halaman 25-26).
Pada 23 Desember 2009, Dahlan diangkat menjadi direktur utama PLN, menggantikan Fahmi Mochtar yang dikritik karena selama kepemimpinannya banyak terjadi mati lampu di daerah Jakarta. Awalnya, Dahlan enggan menerima tawaran menjadi direktur PLN karena merasa kurang suka, bahkan ia pernah mengatakan bahwa perusahaan yang paling ia benci adalah PLN. Namun, Presiden SBY memilihnya karena membutuhkan sosok ‘leadership’ bukan orang listrik. Atas dorongan itulah, Dahlan berusaha mengubah persepsi personalnya terhadap PLN seraya berjuang keras untuk melakukan hal terbaik. Hanya dalam kurun satu tahun sejak menjabat direktur PLN, Dahlan mampu menata PLN menjadi lebih baik (halaman 28-34).
Pada 19 Oktober 2011, berkaitan dengan reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu II, Dahlan diangkat sebagai Menteri Negara BUMN (Badan Usaha Milik Negara), menggantikan posisi Mustafa Abu Bakar yang sedang sakit (halaman 35-38). Perjuangan Dahlan boleh dibilang cukup kompleks dibanding kebanyakan orang. Selain bergulat dengan kemiskinan dan berupaya meraih pendidikan yang lebih baik, ia juga berjuang keras melawan penyakit hepatitis yang dideritanya. Pada bab selanjutnya akan diuraikan dengan detail kehidupan Dahlan yang berkarib dengan kemiskinan, pendidikan yang berhasil diraih, hingga akhirnya ia diuji dengan beragam penyakit (halaman 39-60).
 Secara umum, tindakan-tindakan Dahlan Iskan yang spontan itu dapat diterima masyarakat luas. Meski tak dimungkiri, ada sebagian kalangan yang menilai aksinya sebagai pencitraan dan bermuatan politik. Pemikiran seperti itu muncul karena ia kerap melakukan hal-hal aneh yang tak biasa dilakukan pejabat pada umumnya, seperti; gaya berpakaian yang santai, suka jalan kaki, naik taksi, ojek, kereta api, dan tidak suka menggunakan mobil dinas saat bertugas. Bahkan ia pernah membuka paksa pintu tol Semanggi dan menggratiskan semua mobil yang terjebak antrean panjang. Dan masih banyak hal lain yang menurut sebagian orang ‘nyeleneh’ namun menurut sebagian yang lain justru aksi-aksinya tersebut menjadi cerminan sosok pemimpin yang patut diteladani.
Sedikit kritik untuk buku yang cukup menginspirasi ini, bila kelak dicetak ulang, editan serta susunan bahasanya perlu dibenahi lagi.  

*) Dimuat WawasanNews.com, 05 Februari 2013
Link: http://www.wawasanews.com/2013/02/gaya-kepemimpinan-dahlan-iskan.html

Surat untuk Ayah

ENTAH telah berapa ratus surat yang Nadia tulis untuk Ayah semenjak masih duduk di bangku ibtidaiyah kelas satu hingga kini ia kelas empat. Tiap pekan, saat hari libur sekolah atau ketika hari bertanggal merah, Nadia selalu menyempatkan waktu duduk berlama-lama di dalam kamar menuliskan semua hal yang ia alami sehari-hari sekaligus mengutarakan bahwa telah lama ia merindu kehadiran Ayah.
Menurut cerita Ibu, kelak suatu ketika Ayah akan kembali ke rumah. Ayah, kata Ibu, pergi meninggalkan rumah untuk mencari uang. Ayah pergi ketika usia Nadia belumlah genap dua tahun. Ayah, kata Ibu, memiliki wajah tampan, berwibawa, dan gagah mirip almarhum Bung Karno. 
”Bung Karno itu siapa sih, Bu,“ tanya Nadia waktu itu dengan raut polos, sementara sepasang bola mata beningnya mengerjap-ngerjap.
Ibu tersenyum sekilas sebelum akhirnya menjawab, ”Bung Karno itu presiden pertama di negeri ini. Kalau kamu mau tahu dia, itu fotonya yang pakai jas cokelat dan peci hitam yang Ibu pajang di ruang tamu.“
Tanpa bertanya atau menyahut ucapan Ibu, Nadia langsung melesat menuju ruang tamu. Lama. Cukup lama ia berdiri terpaku memandangi gambar seorang lelaki setengah badan mengenakan jas cokelat dan berpeci hitam yang menempel di dinding kayu ruang tamu. Di bagian bawah gambar itu ada sebaris tulisan singkat tercetak dengan huruf kapital yang beberapa bulan kemudian saat Nadia telah bisa mengeja huruf dipahaminya bahwa tulisan itu berbunyi: SOEKARNO, PRESIDEN RI KE I.
Nadia manggut-manggut seraya tersenyum bangga saat memandangi wajah Bung Karno yang tertempel di dinding kayu.
”Wah, Ayahku benar-benar gagah dan tampan,“ bisik Nadia seraya membayangkan sosok Ayah tengah bersemayam di dalam gambar Bung Karno. Sementara tanpa sepengetahuan Nadia, Ibu telah beberapa menit lalu berdiri di belakangnya dengan mata penuh kabut.
***
Surat-surat yang rutin Nadia tulis untuk Ayah itu lantas dimasukkan ke dalam kardus mi instan yang telah diplester rapat. Sementara, bagian tengah kardus tersebut disobek dengan pisau untuk memberi celah agar surat-surat tak beramplop itu bisa masuk. Selama tiga tahun ini Nadia telah menghabiskan tiga buah kardus yang ia taruh di salah satu pojokan kamar yang berisi surat-surat untuk Ayah. Jauh-jauh hari, dalam benak Nadia telah tersusun sebuah rencana; kelak, saat Ayah pulang, ia akan perlihatkan semua surat-surat yang susah payah ia tulis untuk Ayah.
Dulu, saat Nadia baru kelas satu, nyaris tiap malam Ibu bercerita tentang sosok Ayah yang selalu menggendong Nadia saat tiba-tiba terjaga dari lelap tidur dan menangis tanpa sebab. Di gendongan Ayahlah kemudian Nadia baru bisa terdiam.
”Nadia pingin ketemu Ayah, Bu, Nadia ingin digendong Ayah, Nadia ingin diajak jalan-jalan melihat pantai sama Ayah.” Selalu itu yang ia katakan usai mendengar cerita tentang sosok Ayah yang kata Ibu penyabar dan sangat menyayanginya.
“Nanti, nanti jika Ayahmu telah kembali, ya, Nak,” begitu ucap Ibu dengan wajah sendu seraya meraih kedua bahu Nadia dan lekas menarik tubuh mungilnya ke dalam dekapan Ibu yang hangat.
“Nadia kangen Ayah, Bu….”
Tanpa Nadia sadari, sebutir embun perlahan meluncur dari kelopak mata Ibu hingga menyeberangi pipinya yang mulai mengisut saat mendengar ucapan putrinya yang begitu merindukan sosok Ayah. Kalau sudah begitu, tak ada lagi kata yang mampu terucap dari bibir Ibu untuk sekadar menghibur Nadia selain yang bisa Ibu lakukan hanyalah kian mengencangkan dekapan ke tubuh putrinya.
***
Telah beberapa hari ini, entah mengapa saat Nadia bertanya tentang Ayah tak ada lagi cerita yang terucap dari bibir Ibu. Tak ada lagi cerita tentang sosok Ayah yang katanya penyabar, penyayang, dan suka menggendong Nadia saat menangis. Tak ada lagi cerita tentang Ayah yang kata Ibu memiliki wajah tampan dan gagah, seperti almarhum Bung Karno.
”Bu, kira-kira Ayah kapan pulangnya, Nadia kangen.”
Ibu hanya membisu ketika putrinya kembali bertanya tentang kabar Ayah. Wajah Ibu terlihat kosong dan hampa. Tapi, berselang detik kemudian Ibu berusaha mengembangkan senyum, lantas berkata dengan suara pelan, tapi menyimpan segunung kesedihan yang tak bisa dipahami Nadia.
”Nadia, sebaiknya kamu tidur dulu, ya? Sudah malam, besok kamu kan sekolah.”
”Nadia, coba lihat sekarang sudah jam berapa, shalat berjamaah dulu, yuk.“
”Nadia, Ibu mau nyuci baju dulu, nanti kita lanjutkan lagi mengobrolnya, ya.“ Dan, masih banyak kalimat-kalimat lain yang terlontar dari bibir Ibu saat Nadia kembali dan kembali bertanya perihal kabar Ayah.
Ah, sepertinya Ibu sengaja mengalihkan pembicaraan. Sepertinya, Ibu mulai merasa bosan bercerita tentang Ayah. Sepertinya Ibu… ah, apakah Ibu telah lupa dan tak lagi menyayangi Ayah? Gumam kecewa Nadia dalam hati ketika melihat Ibu selalu berusaha mengalihkan pembicaraan.
Meski sejuta tanda tanya bernada kecewa datang menyerbu kepala, Nadia tak lagi berani bertanya tentang Ayah saat raut Ibu berjuang keras menyembunyikan serpihan-serpihan kenangan indah bersama Ayah.
***
Ayah, Nadia kangen, Yah. Nadia kecewa pada Ibu yang tak lagi mau bercerita tentang Ayah. Nadia kesepian di rumah, Yah. Nadia merasa sangat iri ketika melihat teman-teman Nadia dibonceng ayahnya menuju pantai tiap Minggu. Nadia ingin sekali pergi ke pantai, Yah. Kata teman-teman Nadia, air pantai itu rasanya asin dan lengket di tangan. Nadia, ingin sekali membuktikannya, Yah. Tapi, Nadia tidak mau pergi ke pantai kalau tidak bersama Ayah.
Bola mata Ibu menghangat seketika saat membaca selembar surat yang tergeletak di atas meja, persis di sebelah Nadia yang kepalanya terkulai dengan posisi sebelah tangan tertindih kepala. Ah, rupanya Nadia ketiduran saat menulis surat untuk ayahnya yang belum selesai itu. Surat yang ia tulis entah untuk ke berapa ratus kalinya. Surat berisi gejolak kerinduan Nadia pada sosok Ayah.
Tak hanya kau saja, Nak. Ibu juga rindu Ayah. Gumam hati Ibu menekan rasa perih di dada.
Tangan Ibu bergetar saat meletakkan kembali surat itu ke atas meja. Baru saja tangan Ibu terjulur hendak mengelus rambut Nadia, tiba-tiba Nadia mengigau.
”Yah, jangan tinggalkan Nadia, Yah!“
”Ayaaah…!“
Ibu tak kuasa menahan dadanya yang tiba-tiba bergemuruh. Ibu langsung tergugu begitu mendengar igauan putrinya yang cukup sukses merajang hatinya. Perih. Betapa perih kenyataan yang harus ia hadapi kini.
”Maaf, Nak, maafkan Ibu, maafkan Ibu…” Ibu bergumam dengan bibir bergetar. Sebenarnya, selama ini Ibu sengaja membohongi Nadia. Ayah sebenarnya telah lama meninggal dunia saat usia Nadia belum genap dua tahun. Penyakit demam berdarah adalah penyebab nyawa Ayah terlepas dari raganya. Ketiadaan biaya berobat ke rumah sakit ketika itu yang membuat nyawa Ayah tak betah tinggal lebih lama dalam raganya.
Ah, sungguh Ibu merasa sangat bersalah karena tak berterus terang saja sejak dulu bahwa Ayah telah lama tiada. Niat Ibu sebenarnya sederhana, ia ingin menghibur Nadia (ketika bibir polos Nadia tak pernah lelah menanyakan keberadaan Ayah) dengan mengatakan bahwa Ayah sedang bekerja di luar kota. Tapi, ketika usia Nadia kian bertambah, ternyata Ibu tak kuasa untuk terus-terusan berbohong.
”Maafkan Ibu, Nak, suatu saat nanti, jika kamu telah dewasa, Ibu janji akan mengatakan yang sebenar-benarnya…“ ucap lirih Ibu dalam hati.
Dengan penuh kelembutan, Ibu merengkuh, membopong tubuh Nadia seraya mengurai rambut hitam yang menutupi sebagian keningnya. Berkali Ibu mengecupi kening Nadia sebelum kemudian menidurkannya di atas dipan bambu.


*) Dimuat Harian Republika, Januari 2014
Puring-Kebumen, 2012-2013
Penulis lahir dan bermukim di Kebumen Jateng. Belajar menulis secara otodidak. Ratusan tulisannya telah menghiasi berbagai media cetak, seperti Republika, Sindo, Suara Pembaruan, Radar Surabaya, Majalah Kartini, Majalah Story, Majalah Basis, Tabloid Nova, Tabloid Cempaka, dan lain-lain.