Kamis, Desember 31, 2015

Bertualang Menapak Jejak Reruntuhan Istana Dewi Rengganis



Oleh Sam Edy Yuswanto

 
*cover buku koleksi pribadi

Judul Buku: Rengganis: Altitude 3088
Penulis: Azzura Dayana
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Cetakan: I, Agustus 2014
Tebal dan ukuran: 232 halaman, 20 cm.
ISBN: 978-602-1614-26-6
Harga Buku: Rp. 46.000,-

            Maha Indah Dia yang hadirkan ini….
Sejuta edelweiss dan bentangan sayap merak
Belasan sabana hijau saling rangkai
Sungai-sungai murni yang mengalir
Sampai ke hati

            Deretan kata-kata indah yang mewarnai sampul novel “Rengganis: Altitude 3088” ibarat sebuah mantra yang mampu menghipnotis sekaligus membuat penasaran pembaca untuk bersegera membaca lembar demi lembar novel berlatar puncak Gunung Argopuro di Jawa Timur yang memiliki ketinggian 3.088 meter di atas permukaan laut dengan pesona keindahannya yang sukses memanjakan indra penglihatan para pendaki.
            Mensyukuri karunia kenikmatan Tuhan adalah sebuah keniscayaan bagi setiap umat manusia. Tentu, ada banyak cara yang dapat ditempuh untuk mensyukuri beragam nikmat dan kekuasaan-Nya yang Mahaluas dan tak bertepi. Salah satunya adalah dengan traveling, bertualang menikmati pemandangan alam di berbagai penjuru dunia ini. Safiya Hussain dalam buku Happiness Every Day menjelaskan tentang manfaat mengunjungi tempat-tempat wisata dalam rangka mensyukuri nikmat Tuhan. Dalam buku tersebut Safiya menjelaskan, bahwa dengan berwisata, pikiran kita akan terasa lebih segar, lebih berenergi, dan suasana hati kita akan lebih baik dari sebelumnya. Allah sendiri telah menitahkan kita untuk bepergian menyaksikan kemahabesaran-Nya. Dia berfirman, “Katakanlah: ‘Berjalanlah di muka bumi…’ (Q.S. Al-An’am ayat 11).
            Dalam novel ini, Azzura Dayana berkisah tentang petualangan delapan anak manusia yang terdiri dari lima pemuda dan tiga pemudi, menikmati keindahan puncak Argopuro, sebuah gunung dengan trek terpanjang di Pulau Jawa sekaligus gunung yang terkenal keangkerannya. Dibutuhkan waktu lebih lama ketika kita ingin melakukan pendakian ke puncak Argopuro dibandingkan pendakian ke gunung-gunung lainnya. Setelah menyiapkan berbagai bekal dan perlengkapan pendakian, mereka pun bersepakat akan melakukan petualangan seru tersebut selama lima hari. Dimulai dari pendakian menuju Cisentor, kemping di Rawa Embik, summit attack ke tiga puncak di Argopuro, menuju pos di Taman Hidup, dan terakhir menuju Desa Bermi (hal 23).
            Di balik keindahan Gunung Argopuro, ternyata tersimpan kisah penuh misteri tentang sosok Dewi Rengganis dan istana kediamannya. Jika dilihat dari asal-usulnya saja, nama Argopuro terdiri dari dua suku kata; argo dan puro. Argo artinya gunung atau ketinggian. Puro artinya pura atau istana (hal 125). Banyak sekali versi yang menuturkan asal mula sosok perempuan yang konon memiliki kecantikan tiada tara itu. Salah satu versi menyebutkan, Dewi Rengganis termasuk salah seorang putri dari Prabu Brawijaya, raja terakhir Kerajaan Majapahit. Ia terlahir dari rahim seorang selir yang tak diinginkan keberadaannya. Maka, setelah Dewi Rengganis dewasa, ia bersama para pengikut setianya melarikan diri ke Gunung Argopuro dan mendirikan istana di sana (hal 40-41). Dan masih banyak versi lain tentang siapa sebenarnya sosok Dewi Rengganis yang di akhir cerita dikabarkan hilang secara misterius bersama keenam dayang-dayangnya. Terlepas benar atau tidaknya cerita berbau mistis tersebut, akan tetapi di sekitar puncak Argopuro ditemukan sisa-sisa arca, tembok istana, kamar-kamar persegi, lantai batu berundak, gapura taman, tangga, dan lumpang batu yang selalu berisi air (hal 136). Bahkan di daerah Cikasur ditemukan sisa-sisa lapangan udara yang menjadi tempat landasan pesawat terbang yang dibangun Belanda pada zaman kolonial dulu. Menurut cerita yang beredar, konon saat pembangunan landasan tersebut tengah berlangsung, Belanda keburu bertekuk lutut pada Jepang (hal 62). 
            Petualangan seru lima pemuda (Fathur, Dimas, Rafli, Dewo, Acil) dan tiga pemudi (Sonia, Nisa, Ajeng) menjelajahi Gunung Argopuro pun segera dimulai. Acil didaulat sebagai guide tim, alasannya karena ia sudah hafal medan. Sebelumnya ia sudah pernah mendaki Gunung Argopuro dua kali. Sementara Dewo, yang dikenal teman-temannya sebagai petualang sejati, didaulat menjadi pimpinan tim tersebut. Mengendarai mobil angkutan sewaan, mereka berdelapan menempuh jarak dari Terminal Besuki menuju Desa Baderan. Setiba di sana, mereka segera mengurus surat perizinan pendakian di kantor KSDA (Konservasi Sumber Daya Alam).
            Beragam kejadian seru pun mewarnai pendakian mereka menuju puncak Argopuro. Misalnya, ketika tiba di Sungai Cikasur, mereka langsung disuguhi panorama alami yang begitu memikat dan memanjakan mata. Sungai Cikasur adalah salah satu kesederhanaan yang indah di bumi Argopuro. Sebuah sungai kecil beralur panjang dan sempit, dengan airnya yang bersih dan jernih serta mengalir cukup deras. Banyak tumbuhan selada air di sungai ini yang dapat dimanfaatkan oleh para pendaki untuk dimasak sebagai sayuran hangat. Sementara di tepian kiri dan kanan sungai dipenuhi rerimbunan rumput tebal bernuansa hijau dan campuran antara putih dan cokelat (hal 47).
            Di daerah Cikasur itulah, mereka mendirikan beberapa tenda untuk rehat sejenak. Rencananya, esok pagi mereka akan menikmati keindahan sunrise dan mengabadikannya melalui kamera masing-masing. Meski memiliki sabana luas dan indah, namun ternyata Cikasur bukanlah daerah yang cukup aman dan diwarnai cerita-cerita mistis dari para pendaki yang pernah mengalami hal-hal aneh di luar nalar selama berada di sana. Sonia dan Rafli, misalnya. Mereka berdua mengalami kejadian menyeramkan hingga membuat mereka susah tidur selama di Cikasur. Tengah malam, Rafli terjaga dari lelapnya saat mendengar banyak derap langkah kaki di luar tenda, sementara tenda mendadak bergoyang-goyang (hal 69-70).
            Hal ganjil dan mistis lainnya terus mewarnai perjalanan mereka. Sonia, satu-satunya gadis yang belum berjilbab dan memiliki sedikit ‘kelebihan’, misalnya. Ia merasa kerap dibuntuti seseorang selama pendakian. Alur cerita makin terasa menegangkan, misalnya ketika Dewo terperosok hingga terluka cukup parah dan nyaris jatuh ke jurang. Kepanikan kian bertambah saat Acil, pria bertubuh mungil tapi pemberani itu tiba-tiba diserang dua ekor babi berukuran besar sementara teman-teman lainnya sedang berada di tempat berbeda. Puncaknya, ketika Rafli, satu-satunya pria perokok dalam tim tersebut, mengalami kejadian aneh dan menghilang secara misterius sehingga membuat ketujuh temannya panik bukan kepalang.
            Apakah Rafli dapat ditemukan dengan selamat? Berhasilkah Acil memenangkan pertarungan dengan dua babi besar yang mengamuk tanpa ampun? Temukan jawabannya di dalam novel karya penulis kelahiran Palembang ini.
   
Sarat Hikmah
Berbagai kejadian, baik suka maupun duka, yang mewarnai petualangan trek delapan anak manusia menuju Gunung Argopuro, meninggalkan banyak sekali hikmah. Jika merunut pada definisi, hikmah adalah sebuah kebijaksanaan yang datangnya dari Allah agar dijadikan sebagai bahan perenungan dan pembelajaran bagi umat manusia. Dalam hadits riwayat Tirmidzi, Rasulullah bersabda, “Hikmah adalah barang yang hilang milik orang beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah”.
Setidaknya ada empat hikmah yang dapat dipetik oleh pembaca dalam novel ini. Pertama, kekompakan. Dalam sebuah tim, kekompakan adalah hal yang harus diprioritaskan. Tanpa adanya kekompakan, sehebat apapun sebuah tim, tentu mereka akan sulit menghadapi perbedaan dan berbagai ujian yang datang tiba-tiba. Kedua, mengedepankan berpikir positif. Misalnya, ketika mengalami hal-hal yang tak diinginkan selama pendakian, maka hal yang harus diprioritaskan adalah berusaha berpikir positif, tenang dan fokus, seraya mencari jalan keluarnya bersama.
Ketiga, meyakini bahwa Allah selalu bersama kita dalam tiap situasi dan kondisi. Misalnya, ketika mereka mengalami hal-hal ganjil di luar nalar, hal yang harus dilakukan adalah segera mengembalikan semuanya kepada-Nya. Hal gaib memang ada meski tak kasat mata. Tugas kita adalah berhati-hati seraya berusaha menjaga keimanan dari hal-hal yang dapat menyebabkan syirik. Keempat, konsisten beribadah. Sebagai seorang muslim, menjauhi segala larangan dan menaati segala perintah-Nya adalah sebuah keniscayaan. Dalam novel ini, penulis menyampaikan ‘pesan penting’ kepada tokoh-tokohnya agar senantiasa konsisten beribadah (menunaikan shalat) dalam kondisi apa pun. Misalnya, saat cuaca terasa sangat dingin, mereka tetap berusaha menunaikan shalat meski harus mengganti wudhu dengan tayamum.
Melalui novel ini, Azzura Dayana juga mengajak pembaca agar senantiasa mencintai dan menjaga lingkungan. Jangan sampai kita melakukan aksi kejahatan terhadap lingkungan sekitar, misalnya buang sampah sembarangan. Sayangnya, masih banyak para pendaki di negeri ini yang mengaku cinta terhadap alam tapi nyatanya mereka tak dapat memahami arti cinta itu sendiri. Mereka dengan seenaknya mencorat-coret bebatuan dan permukaan dataran kapur, lantas membuang sampah di sungai dan berbagai titik lokasi pendakian.
       
Kelebihan dan Kekurangan
            Dalam sebuah karya, tentu ada kelebihan sekaligus kekurangannya. Begitu juga dengan novel ini. Tentang keunggulan novel ini, menurut saya, Azzura Dayana cukup piawai memaparkan setting lokasi secara mendetail, sehingga pembaca seolah tengah dibawa menuju tempat-tempat eksotis yang dilalui para tokoh dalam novel ini.
Sementara kekurangannya antara lain ada pada pemaparan karakter setiap tokohnya yang kurang begitu kuat. Menurut saya, akan lebih menarik dan mengaduk-aduk emosi pembaca jika penulis mengungkap sisi kehidupan para tokoh di sela-sela cerita. Selain itu, masih ada beberapa kata yang kurang sesuai dengan EYD dan pengeditan yang kurang maksimal. Misalnya, kata ‘cokelat’ kadang ditulis ‘coklat’ (hal 47, 83, 191, 192 dan 226) dan ‘cokelat’ (hal 73). Kemudian, kata ‘mengunyah’ ditulis ‘menguyah’ (hal 75), dan kata ‘celetuk’ ditulis ‘celutuk’ (hal 107).
            Akhirnya tak ada gading yang tak retak. Tak ada manusia sempurna di dunia ini. Terlepas dari segala kekurangan, namun novel ini layak diapresiasi dan dapat dijadikan sebagai bacaan fiksi islami bermutu yang sarat hikmah, manfaat, dan pembelajaran hidup. Selamat membaca.
***