Resensi Buku

Suka Duka Mahasiswi di Negeri Gingseng



Judul Buku      : Once Upon a Time in Korea
Penulis             : Elvira Fidelia
Penerbit           : Noura Books
Cetakan           : I, November 2013
Tebal               : 264 halaman
ISBN               : 978-602-1606-09-4

Perjuangan Elvira, mahasiswi muslim Indonesia, saat menuntut ilmu di Korea Selatan diwarnai beragam suka dan duka. Buku berjudul ‘Once Upon a Time in Korea’ terbitan Noura Books ini berisi sekumpulan kisahnya. Mulai dari kegigihannya meraih beasiswa S2 hingga akhirnya berhasil meraih gelar Master of Engineering (M. Eng) untuk jurusan Industrial Engineering, Kyung Hee University (South Korea).
Sebelum memperoleh beasiswa, Elvira sempat tak diterima di beberapa universitas terkemuka di negeri ini. Tapi ia tak patah semangat. Merasa tak ada yang istimewa dalam dirinya yang hanya mengantongi ijazah PTS (Perguruan Tinggi Swasta), ia bertekad ingin membuat dirinya lebih “bernilai”. Bersama Icha, sahabatnya, ia berusaha mencari program beasiswa S2 di luar negeri melalui internet.
“Luar negeri? Kenapa nggak lanjut di Indonesia aja, Vir? Luar negeri itu kan jauh, belum tentu Mama sama Papa nanti bisa ngunjungin kamu. Nanti kalau sakit siapa yang mau urus?” Macam-macam aja mau sekolah ke luar negeri. Siapa yang mau bayar? Kalau mau sekolah di Indonesia, saya biayai. Bilang, Mam.” Itulah reaksi kedua orangtuanya ketika ia menelpon ke rumahnya di Medan, dan mengatakan ingin melanjutkan kuliah di luar negeri. Namun setelah Elvira menjelaskan bahwa ia akan mencari beasiswa S2 di luar negeri dan tidak akan meminta biaya kuliah dari kedua orangtuanya, ia pun mendapat izin (hal 8-9).
Selama berhari-hari, Elvira bersama Icha yang juga sama-sama ingin meraih beasiswa di luar negeri, browsing internet, mencari informasi lowongan beasiswa S2 di luar negeri. Pencarian tak kunjung menuai hasil. Keduanya lantas mencoba mengerucutkan pencarian di google menjadi ‘daftar universitas di Korea dan Jepang’. Setiap hari mereka tanpa bosan menjelajahi satu per satu website universitas yang mereka incar (hal 13).

Hingga akhirnya terbersit ide untuk mencoba mengirim e-mail ke beberapa profesor yang mereka temukan di website kampus melalui jaringan Google. Isi surat tersebut tentu saja menyampaikan keinginan untuk melanjutkan studi dan bergabung dengan universitas yang bersangkutan. Keduanya pun melengkapi dengan melampirkan ijazah, transkip nilai, sertifikat TOEFL dan CV.

Setelah beberapa kali ditolak, bahkan menunggu sampai bulan telah berganti nama, akhirnya sebuah e-mail balasan masuk. Betapa senangnya mereka ketika membaca balasan dari Profesor Kim Sang Kuk, bahwa mereka memiliki kesempatan mendapat beasiswa S2 di Korea Selatan. Setelah melengkapi beberapa persyaratan yang diminta, Elvira dan Icha pun resmi diterima kuliah gratis di Kyung Hee University (yang menjadi tempat kuliahnya Kyuhyun, personil boyband ternama: SUJU).

Ternyata, hidup di negeri yang mayoritas non muslim tak semudah yang dibayangkan. Beragam pengalaman, suka maupun duka, mewarnai kehidupan dua gadis berjilbab itu selama menimba ilmu di Negeri Ginseng. Sewaktu tiba di bandara, misalnya. Elvira terkejut bukan main saat melihat toilet yang nampak bersih tapi tak ada fasilitas airnya, hanya tersedia tisu. Ternyata, adat masyarakat Korea memang seperti itu, menggunakan tisu untuk membersihkan kotoran yang keluar dari tubuh manusia. Sementara Elvira di toilet, Icha bergegas membeli sebotol air mineral dengan harga yang ternyata cukup mahal. Hari-hari berikutnya, mereka harus rajin membawa botol di dalam tas. Jadi sewaktu-waktu hendak ke toilet, mereka tak perlu repot membeli air (hal 25-26).

Wanita muslim berjilbab di Korea ternyata mendapat sorotan berlebihan oleh masyarakat. Banyak yang heran, bahkan saat berada di jalan, Elvira dan Icha sempat diinterogasi oleh wanita-wanita Korea, mengapa wanita harus mengenakan jilbab? Apa tidak kepanasan? Terlebih di musim panas seperti ini? Beruntung, keduanya bisa menjawab dengan sabar dan tetap tersenyum, meski tak dapat memuaskan rasa penasaran mereka yang terus memandang aneh. 

Belum lagi soal makanan, minuman, bahkan kosmetik, yang mayoritas mengandung unsur-unsur babi. Tapi mereka mampu menyiasatinya dengan rajin masak sendiri, dan rajin bertanya terlebih dulu sebelum membeli sesuatu, apakah mengandung unsur babi ataukah tidak? Dan suasana kian terasa mengharu biru ketika bulan Ramadan tiba. Mereka harus berjuang menahan lapar di musim panas, di mana waktu siang menjadi lebih panjang, yaitu 16 jam.

Pada akhirnya, kedua gadis berjilbab dari Indonesia itu mampu melewati semuanya dengan mudah dan lebih menyenangkan. Buku ini cukup inspiratif dan dapat memberikan motivasi bagi anak-anak muda negeri ini yang memiliki impian kuliah di luar negeri.

*Resensi ini dimuat di : http://www.rimanews.com/read/20140303/145549/suka-duka-mahasiswi-di-negeri-gingseng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar