Kamis, April 17, 2014

Cinta Bersemi di Tengah Perbedaan


Judul Buku : Pelangi Musim Semi
Penulis       : Rizki Affiat
Penerbit : Bunyan
Cetakan : I, 2013
Genre : Novel Islami
Tebal : vi + 378 halaman
ISBN : 978-602-7888-69-2

          Novel islami bernuansa epik ini bercerita tentang pergolakan batin seorang pemuda bernama Omar Khaled yang terjebak dalam perasaan cinta kepada gadis kulit putih yang berbeda keyakinan dengannya. Sementara di sisi lain, jiwanya merasa tergugah untuk mengunjungi Deir Yassin, Palestina, tempat kelahiran sang kakek yang penuh dengan aroma peperangan, luka, dan air mata.
          Kepergian Omar Khaled menuju Amerika Serikat untuk melanjutkan studi pascasarjana di Universitas Harvard adalah sebuah pilihan penting dalam hidupnya. Dulu, ia adalah sarjana Ilmu Politik dari Universitas Indonesia. Kedua orangtuanya berasal dari Bandung namun ia lahir dan hidup di Jakarta. Ayahnya seorang mantan diplomat sementara ibunya pernah bekerja di United Nation Development Program.
          Omar adalah lulusan terbaik, ditambah sederet prestasi akademis dan keorganisasian, sehingga bukan hal sulit baginya untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serikat dengan beasiswa penuh Fulbright. Omar banyak menjalin relasi sejak tahun pertamanya di Amerika Serikat. Ia bergabung dalam kelompok dan perkumpulan masyarakat Islam di sana, juga menjalin relasi dengan warga Indonesia yang bermukim di sana.
          Adalah Anais Sulver, gadis Amerika yang mampu menawan hati Omar. Pertemuannya dengan Anais yang secara tak sengaja di Taman Boulevard rupanya menjadi pertemuan perdana yang sangat mengesankan, meski hanya bertatap muka dari kejauhan dan tanpa mengucap sepatah kata, apalagi saling bertegur sapa.
          Dan keakraban pun akhirnya dapat terjalin seperti air sungai yang mengalir ketika mereka berada satu tim dalam riset kampusnya. Kehadiran Anais waktu itu mampu menghibur jiwa Omar di tengah aktivitasnya yang cukup padat. Dan Omar merasa surprise sekaligus tertolong ketika Anais menawarkan diri menjadi asisten untuk membantu mengerjakan tesisnya.
          Kedekatan Omar dan Anais menumbuhkan perasaan suka yang mengalir apa adanya tanpa dikuasai oleh hawa nafsu. Anais yang sebelumnya terbiasa hidup bebas, tapi begitu mengenal sosok Omar, ia perlahan mulai mengubah cara berpikirnya. Tentu saja Anais dan Omar sangat menyadari bahwa perasaan cinta yang tumbuh bersemi dalam hati itu tak akan mungkin bisa dipersatukan dalam sebuah bingkai pernikahan. Itulah yang menjadi alasan mereka tidak pernah membahas isi hati masing-masing.
Anais bahkan bertekad akan tetap menjaga perasaan cintanya pada Omar meski untuk hidup bersamanya adalah sebuah kemustahilan. Anais hanya ingin mencintai tanpa memiliki, sebuah perasaan tulus meski sungguh bukan hal mudah dalam menjalaninya. Ia benar-benar mampu menjaga perasaannya hanya untuk Omar meski pada waktu bersamaan ia dikejar-kejar oleh Steve, lelaki yang sangat menyukainya yang adalah sepupu Travis, teman karib Anais. 
          Sementara itu, di sisi lain Omar terus digelayuti rasa gelisah bahwa di Indonesia ia telah ditunggu oleh Rana, gadis yang telah lama diharapkan kedua orangtuanya sebagai calon istrinya. Belum lagi hasrat Omar yang begitu menggebu untuk segera mewujudkan impiannya mengunjungi tempat kelahiran sang kakek di Palestina. Ia ingin sekali turut berjuang mengusir kaum Israel yang telah lama berambisi ingin merebut negeri Palestina dan memusnahkan seluruh rakyatnya.
Meski opening novel ini terasa sedikit membosankan (karena pembaca langsung disuguhi deskripsi tentang latar belakang tokoh dan setting lokasi yang cukup membuat dahi berkerut) tapi begitu pembaca sampai pada bab-bab selanjutnya dan memahami jalan ceritanya, maka kita akan dibuat penasaran untuk membacanya hingga tuntas.
Menurut saya cerita dalam novel ini cukup memikat serta kaya akan referensi ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan perjuangan rakyat Palestina dalam membela negara dan agamanya. Perbedaan budaya dan toleransi hidup beragama, juga menjadi bagian penting dalam novel ini. Penulis begitu lihai memilih diksi-diksi yang pas sekaligus indah  menyentuh hati, membuat novel ini semakin terasa berkelas dan layak dibaca.
***
*Resensi ini dimuat di Wisata-Buku.com:

Rabu, April 16, 2014

Peran Meditasi Bagi Kehidupan



Judul Buku      : Meditasi, Penyembuhan dari Dalam
Penulis             : Budi Prayitno
Penerbit           : Flash Books
Cetakan           : I, April 2014
Tebal               : 186 halaman
ISBN               : 978-602-255-505-6

            Meditasi bukanlah hal baru dalam sejarah peradaban manusia. Sejak ratusan tahun silam, meditasi telah dikenal luas di pelbagai negeri, seperti Mesir, China, dan India. Berdasarkan berbagai penelitian, orang yang rutin melakukan meditasi dalam kehidupan sehari-hari, ia akan terlihat lebih percaya diri dan berwibawa. Bahkan secara ilmiah, meditasi bisa membantu menyeimbangkan otak kiri dan kanan manusia. Sebagaimana dipahami bersama, bahwa otak kiri lebih banyak digunakan untuk berpikir, berbicara dan menulis. Sementara otak kanan lebih banyak digunakan untuk hal-hal yang melibatkan imanjinasi, perasaan, dan kreativitas.
            Meditasi adalah latihan olah jiwa yang dapat menyeimbangkan fisik, emosi, mental dan spiritual seseorang (hal 5). Para ilmuwan Barat meyakini bahwa meditasi dapat dijadikan metode efektif untuk membantu proses penyembuhan penyakit dari dalam. Dengan meditasi, penyakit yang kebanyakan bermula dari pikiran, dapat dikontrol dengan baik. Sehingga pikiran menjadi lebih tenang dan damai (hal 8).
            Yang harus dipahami bersama bahwa meditasi bukanlah sebuah agama dan tidak menuntut seseorang untuk mengubah keyakinan yang telah ada. Dengan melakukan meditasi, seseorang dapat lebih dekat dengan Sang Khaliq. Dan yang perlu digarisbawahi, dalam melakukan meditasi, seseorang tidak membutuhkan seorang tokoh yang harus dianut secara pribadi. Tujuan meditasi di antaranya adalah untuk memperlambat dan menenangkan pikiran sealigus menyehatkan tubuh (hal 23-24).
            Tujuan meditasi yang lain adalah untuk mencapai penyatuan kembali dengan Sang Maha Pencipta. Meskipun dalam ajaran agama mana pun tidak diterangkan secara spesifik tentang ajaran meditasi, tetapi dalam sebuah ajaran agama diajarkan suatu permenungan yang fungsinya memiliki kemiripan dengan meditasi. Misalnya, dalam agama Islam kita diajarkan untuk melakukan iktikaf ( duduk berdiam diri di dalam masjid sambil berzikir). Fungsi iktikaf adalah untuk mengingat dan lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. (hal 26).
            Pada bab selanjutnya, akan dijelaskan tentang praktik meditasi. Meliputi; persiapan meditasi, postur tubuh saat meditasi, tips meditasi untuk pemula, dan lain-lain. Sementara bab terakhir buku ini, akan mengulas jenis-jenis penyakit dan metode pengobatannya melalui meditasi.
            Di antara penyakit yang dapat diatasi dengan meditasi adalah stres. Stres merupakan salah satu penyakit kejiwaan yang kerap terjadi pada setiap manusia. Kegelisahan yang kerap dirasakan banyak orang, bisa berdampak pada stres berkepanjangan. Stres menunjukkan adanya tekanan atau ketegangan pada tubuh. Stres merupakan suatu reaksi adatif dan bersifat sangat individual, sehingga suatu stres bagai seseorang belum tentu sama tanggapannya bagi orang lain. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat kematangan berpikir, tingkat pendidikan, dan kemampuan adaptasi seseorang terhadap lingkungannya (hal 73-74).
            Manusia hidup di dunia ini ibarat sebuah kapal yang tengah berlayar di tengah luasnya lautan. Setiap waktu ada kemungkinan kapal tersebut diterjang ombak, dan sesekali waktu dihantam badai. Jika kapal tersebut tidak kuat dan sang nahkodanya kurang terampil, maka kapal dapat tenggelam oleh hantaman ombak dan badai tersebut. Sama halnya dengan manusia, bila beragam masalah dalam kehidupan ini tidak dapat terselesaikan dengan baik dan bijaksana, maka dapat berakibat stres berkepanjangan (hal 75).
            Buku sederhana ini memang masih jauh dari kata ‘sempurna’. Akan tetapi, di balik kelebihan dan kekurangannya, buku ini patut mendapat apresiasi sebagai bagian dari disiplin ilmu pengetahuan yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. (Sam Edy Yuswanto).

*resensi ini dimuat di Wisata Buku:
 


Kamis, April 10, 2014

Metode Mendidik Anak Sesuai Syariat


Judul Buku      : Didiklah Anakmu seperti Sayyidina Ali bin Abi Thalib
Penulis             : Yusuf A. Rahman
Penerbit           : Diva Press
Genre              : Islami
Cetakan           : I, Februari 2014
Tebal               : 183 halaman
ISBN               : 978-602-7968-37-0

           

Anak adalah titipan Tuhan yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya oleh setiap orang tua. Menjaga anak dengan baik meliputi: merawat mereka dengan mencurahkan segenap kasih sayang, mendidik mereka sesuai ajaran yang telah tertuang di dalam syariat Islam, dan lain sebagainya. Jangan sampai selaku orang tua malah menelantarkan anak kandungnya, apalagi sampai memperlakukannya dengan kekerasan.
            Mencurahkan kasih sayang tidak selalu identik dengan menuruti segala kemauan anak. Ironisnya, di era sekarang ini, banyak orang tua berasumsi bahwa dengan mencukupi segala kebutuhan serta keinginan anak secara ‘materi’, maka kewajiban mencurahkan kasih sayang kepada anak-anaknya telah gugur. Padahal, tidak seperti itu pengertiannya. Karena, kasih sayang yang dimaksudkan di sini lebih menekankan tercukupinya kebutuhan psikologi anak (halaman 15).
            Fase kanak-kanak awal (yakni ketika anak berusia 0-6 tahun) adalah fase pondasi, fase yang sangat penting bagi anak untuk menjalani kehidupan pada fase-fase selanjutnya. Slamet Suyanto, seorang pakar pendidikan, menggambarkan fase ini ibarat saat yang tepat bagi seorang tukang besi untuk menempa besi yang dipanaskan. Penempa besi tahu betul kapan besi harus ditempa. Jika terlalu awal ditempa, maka besi akan sulit dibentuk dan dicetak. Sebaliknya, jika terlambat menempanya, maka besi akan menjadi hancur. Jadi, fase kanak-kanak awal merupakan fase terbaik seorang anak untuk mendapatkan pendidikan dasar (halaman 11-12).
            Sayyidinna Ali Ra., merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad Saw., yang memosisikan kasih sayang di atas segalanya dalam mendidik anak. Kasih sayang adalah kunci sukses dalam mendidik anak. Dengan kasih sayang, pendidikan dan wejangan yang akan disampaikan orang tua dapat berjalan dengan efektif. Tak hanya itu, kasih sayang juga menjadi stimulasi bagi anak untuk menyayangi orang tua kandungnya dan orang-orang yang berada di sekitarnya (halaman 13).
            “Cetaklah tanah selama ia masih basah dan tanamlah kayu (tanaman) selama ia masih lunak”. Kalimat tersebut merupakan salah satu nasihat bijak yang pernah diungkapkan oleh Sayyidinna Ali Ra., kepada para orang tua. Nasihat tersebut menyiratkan sebuah ajakan kepada para orang tua untuk mencetak kepribadian atau karakter anak sejak usia dini. Menurut ajaran syariat, ketika anak terlahir ke dunia ini, maka ia masih dalam keadaan suci. Orang tua dan lingkungan sekitarnyalah yang akan memberikan corak warna pada kepribadian seorang anak (halaman 32-33).
            Hal utama yang harus ditanamkan orang tua dalam mendidik anaknya adalah tentang keimanan, mengenalkan Tuhan serta mendidiknya sesuai dengan syariat Islam. sebab hal ini adalah pondasi awal bagi seorang anak untuk menjalani kehidupannya (halaman 35). Dalam hal ini, orang tua tidak cukup hanya memberikan nasihat. Akan tetapi juga memberikan keteladanan. Jangan sampai orang tua menyuruh anak untuk melakukan hal-hal baik tanpa berusaha mencontohkannya (halaman 36).
            Dalam membentuk kepribadian anak, hal penting yang tidak boleh diabaikan oleh orang tua adalah perilaku dasar dalam berkomunikasi. Setidaknya, ada 3 perilaku dasar dalam berkomunikasi. Pertama, belajar mengucapkan ‘terima kasih’ kepada siapa pun yang telah memberikan sesuatu atau membantu kita. Kedua, belajar mengucapkan kata ‘tolong’ kepada siapa saja ketika hendak meminta tolong. Ketiga, belajar mengucapkan kata ‘maaf’ apabila memang telah berbuat kesalahan. Sepintas ketiga hal tersebut nampak sederhana dan sepele, tapi pada kenyataannya banyak orang yang tak dapat melakukannya (halaman 42).
            Banyak sekali tata cara mendidik anak yang dicontohkan Sayyidinna Ali Ra. dalam buku ini. Dia pernah berwasiat kepada putranya ihwal kejujuran, “Kejujuran adalah kemuliaan, sedangkan dusta adalah kehinaan. Barang siapa yang dikenal sebagai orang jujur, maka dipercayai dustanya, dan barang siapa yang dikenal sebagai pendusta, maka kejujurannya tidak dipercaya”. Nasihat tersebut memberikan sinyalemen akan pentingnya menanamkan kejujuran dalam diri seorang anak (halaman 43).
            Sayyidinna Ali Ra., adalah sosok yang sangat cerdas dalam mendidik anak-anaknya. Saat Hasan dan Husain berusia 6-12 tahun, dia menanamkan pendidikan agama. Dia juga menerapkan ‘hukuman’ yang bersifat edukatif ketika anaknya berbuat kesalahan, dan akan memberikan ‘reward’ ketika anaknya berhasil meraih prestasi. Selain itu, dia juga berusaha mengedepankan kedisiplinan (misalnya menyuruh anak agar selalu mendirikan shalat tepat waktu) pada anak-anaknya. Kedisiplinan adalah gerbang menuju kesuksesan. (Sam Edy Yuswanto).
***