Senin, Maret 17, 2014

Surat untuk Ayah

ENTAH telah berapa ratus surat yang Nadia tulis untuk Ayah semenjak masih duduk di bangku ibtidaiyah kelas satu hingga kini ia kelas empat. Tiap pekan, saat hari libur sekolah atau ketika hari bertanggal merah, Nadia selalu menyempatkan waktu duduk berlama-lama di dalam kamar menuliskan semua hal yang ia alami sehari-hari sekaligus mengutarakan bahwa telah lama ia merindu kehadiran Ayah.
Menurut cerita Ibu, kelak suatu ketika Ayah akan kembali ke rumah. Ayah, kata Ibu, pergi meninggalkan rumah untuk mencari uang. Ayah pergi ketika usia Nadia belumlah genap dua tahun. Ayah, kata Ibu, memiliki wajah tampan, berwibawa, dan gagah mirip almarhum Bung Karno. 
”Bung Karno itu siapa sih, Bu,“ tanya Nadia waktu itu dengan raut polos, sementara sepasang bola mata beningnya mengerjap-ngerjap.
Ibu tersenyum sekilas sebelum akhirnya menjawab, ”Bung Karno itu presiden pertama di negeri ini. Kalau kamu mau tahu dia, itu fotonya yang pakai jas cokelat dan peci hitam yang Ibu pajang di ruang tamu.“
Tanpa bertanya atau menyahut ucapan Ibu, Nadia langsung melesat menuju ruang tamu. Lama. Cukup lama ia berdiri terpaku memandangi gambar seorang lelaki setengah badan mengenakan jas cokelat dan berpeci hitam yang menempel di dinding kayu ruang tamu. Di bagian bawah gambar itu ada sebaris tulisan singkat tercetak dengan huruf kapital yang beberapa bulan kemudian saat Nadia telah bisa mengeja huruf dipahaminya bahwa tulisan itu berbunyi: SOEKARNO, PRESIDEN RI KE I.
Nadia manggut-manggut seraya tersenyum bangga saat memandangi wajah Bung Karno yang tertempel di dinding kayu.
”Wah, Ayahku benar-benar gagah dan tampan,“ bisik Nadia seraya membayangkan sosok Ayah tengah bersemayam di dalam gambar Bung Karno. Sementara tanpa sepengetahuan Nadia, Ibu telah beberapa menit lalu berdiri di belakangnya dengan mata penuh kabut.
***
Surat-surat yang rutin Nadia tulis untuk Ayah itu lantas dimasukkan ke dalam kardus mi instan yang telah diplester rapat. Sementara, bagian tengah kardus tersebut disobek dengan pisau untuk memberi celah agar surat-surat tak beramplop itu bisa masuk. Selama tiga tahun ini Nadia telah menghabiskan tiga buah kardus yang ia taruh di salah satu pojokan kamar yang berisi surat-surat untuk Ayah. Jauh-jauh hari, dalam benak Nadia telah tersusun sebuah rencana; kelak, saat Ayah pulang, ia akan perlihatkan semua surat-surat yang susah payah ia tulis untuk Ayah.
Dulu, saat Nadia baru kelas satu, nyaris tiap malam Ibu bercerita tentang sosok Ayah yang selalu menggendong Nadia saat tiba-tiba terjaga dari lelap tidur dan menangis tanpa sebab. Di gendongan Ayahlah kemudian Nadia baru bisa terdiam.
”Nadia pingin ketemu Ayah, Bu, Nadia ingin digendong Ayah, Nadia ingin diajak jalan-jalan melihat pantai sama Ayah.” Selalu itu yang ia katakan usai mendengar cerita tentang sosok Ayah yang kata Ibu penyabar dan sangat menyayanginya.
“Nanti, nanti jika Ayahmu telah kembali, ya, Nak,” begitu ucap Ibu dengan wajah sendu seraya meraih kedua bahu Nadia dan lekas menarik tubuh mungilnya ke dalam dekapan Ibu yang hangat.
“Nadia kangen Ayah, Bu….”
Tanpa Nadia sadari, sebutir embun perlahan meluncur dari kelopak mata Ibu hingga menyeberangi pipinya yang mulai mengisut saat mendengar ucapan putrinya yang begitu merindukan sosok Ayah. Kalau sudah begitu, tak ada lagi kata yang mampu terucap dari bibir Ibu untuk sekadar menghibur Nadia selain yang bisa Ibu lakukan hanyalah kian mengencangkan dekapan ke tubuh putrinya.
***
Telah beberapa hari ini, entah mengapa saat Nadia bertanya tentang Ayah tak ada lagi cerita yang terucap dari bibir Ibu. Tak ada lagi cerita tentang sosok Ayah yang katanya penyabar, penyayang, dan suka menggendong Nadia saat menangis. Tak ada lagi cerita tentang Ayah yang kata Ibu memiliki wajah tampan dan gagah, seperti almarhum Bung Karno.
”Bu, kira-kira Ayah kapan pulangnya, Nadia kangen.”
Ibu hanya membisu ketika putrinya kembali bertanya tentang kabar Ayah. Wajah Ibu terlihat kosong dan hampa. Tapi, berselang detik kemudian Ibu berusaha mengembangkan senyum, lantas berkata dengan suara pelan, tapi menyimpan segunung kesedihan yang tak bisa dipahami Nadia.
”Nadia, sebaiknya kamu tidur dulu, ya? Sudah malam, besok kamu kan sekolah.”
”Nadia, coba lihat sekarang sudah jam berapa, shalat berjamaah dulu, yuk.“
”Nadia, Ibu mau nyuci baju dulu, nanti kita lanjutkan lagi mengobrolnya, ya.“ Dan, masih banyak kalimat-kalimat lain yang terlontar dari bibir Ibu saat Nadia kembali dan kembali bertanya perihal kabar Ayah.
Ah, sepertinya Ibu sengaja mengalihkan pembicaraan. Sepertinya, Ibu mulai merasa bosan bercerita tentang Ayah. Sepertinya Ibu… ah, apakah Ibu telah lupa dan tak lagi menyayangi Ayah? Gumam kecewa Nadia dalam hati ketika melihat Ibu selalu berusaha mengalihkan pembicaraan.
Meski sejuta tanda tanya bernada kecewa datang menyerbu kepala, Nadia tak lagi berani bertanya tentang Ayah saat raut Ibu berjuang keras menyembunyikan serpihan-serpihan kenangan indah bersama Ayah.
***
Ayah, Nadia kangen, Yah. Nadia kecewa pada Ibu yang tak lagi mau bercerita tentang Ayah. Nadia kesepian di rumah, Yah. Nadia merasa sangat iri ketika melihat teman-teman Nadia dibonceng ayahnya menuju pantai tiap Minggu. Nadia ingin sekali pergi ke pantai, Yah. Kata teman-teman Nadia, air pantai itu rasanya asin dan lengket di tangan. Nadia, ingin sekali membuktikannya, Yah. Tapi, Nadia tidak mau pergi ke pantai kalau tidak bersama Ayah.
Bola mata Ibu menghangat seketika saat membaca selembar surat yang tergeletak di atas meja, persis di sebelah Nadia yang kepalanya terkulai dengan posisi sebelah tangan tertindih kepala. Ah, rupanya Nadia ketiduran saat menulis surat untuk ayahnya yang belum selesai itu. Surat yang ia tulis entah untuk ke berapa ratus kalinya. Surat berisi gejolak kerinduan Nadia pada sosok Ayah.
Tak hanya kau saja, Nak. Ibu juga rindu Ayah. Gumam hati Ibu menekan rasa perih di dada.
Tangan Ibu bergetar saat meletakkan kembali surat itu ke atas meja. Baru saja tangan Ibu terjulur hendak mengelus rambut Nadia, tiba-tiba Nadia mengigau.
”Yah, jangan tinggalkan Nadia, Yah!“
”Ayaaah…!“
Ibu tak kuasa menahan dadanya yang tiba-tiba bergemuruh. Ibu langsung tergugu begitu mendengar igauan putrinya yang cukup sukses merajang hatinya. Perih. Betapa perih kenyataan yang harus ia hadapi kini.
”Maaf, Nak, maafkan Ibu, maafkan Ibu…” Ibu bergumam dengan bibir bergetar. Sebenarnya, selama ini Ibu sengaja membohongi Nadia. Ayah sebenarnya telah lama meninggal dunia saat usia Nadia belum genap dua tahun. Penyakit demam berdarah adalah penyebab nyawa Ayah terlepas dari raganya. Ketiadaan biaya berobat ke rumah sakit ketika itu yang membuat nyawa Ayah tak betah tinggal lebih lama dalam raganya.
Ah, sungguh Ibu merasa sangat bersalah karena tak berterus terang saja sejak dulu bahwa Ayah telah lama tiada. Niat Ibu sebenarnya sederhana, ia ingin menghibur Nadia (ketika bibir polos Nadia tak pernah lelah menanyakan keberadaan Ayah) dengan mengatakan bahwa Ayah sedang bekerja di luar kota. Tapi, ketika usia Nadia kian bertambah, ternyata Ibu tak kuasa untuk terus-terusan berbohong.
”Maafkan Ibu, Nak, suatu saat nanti, jika kamu telah dewasa, Ibu janji akan mengatakan yang sebenar-benarnya…“ ucap lirih Ibu dalam hati.
Dengan penuh kelembutan, Ibu merengkuh, membopong tubuh Nadia seraya mengurai rambut hitam yang menutupi sebagian keningnya. Berkali Ibu mengecupi kening Nadia sebelum kemudian menidurkannya di atas dipan bambu.


*) Dimuat Harian Republika, Januari 2014
Puring-Kebumen, 2012-2013
Penulis lahir dan bermukim di Kebumen Jateng. Belajar menulis secara otodidak. Ratusan tulisannya telah menghiasi berbagai media cetak, seperti Republika, Sindo, Suara Pembaruan, Radar Surabaya, Majalah Kartini, Majalah Story, Majalah Basis, Tabloid Nova, Tabloid Cempaka, dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar