Sabtu, Desember 19, 2015

Pulang Menjadi Tujuan Akhir dari Setiap Perjalanan*


Oleh Sam Edy Yuswanto
*Lomba Resensi Novel Pulang 



*cover buku koleksi pribadi


Judul Buku      : Pulang
Penulis             : Tere Liye
Penerbit           : Republika Penerbit
Cetakan           : I, September 2015
Tebal               : iv + 400 halaman
ISBN               : 9786020822129


            Sungguh, sejauh apa pun kehidupan menyesatkan, segelap apa pun hitamnya jalan yang kutempuh, Tuhan selalu memanggil kami untuk pulang (hal 400).


            Pulang, merupakan judul novel terbaru karya Tere Liye, salah satu penulis produktif di negeri ini yang telah melahirkan novel-novel bestseller dan sebagiannya telah diangkat ke layar lebar. Novel setebal 400 halaman ini cukup menarik, penuh intrik, menguras emosi, menegangkan, dan (sebagaimana khas-nya Tere Liye selama ini) sarat pembelajaran hidup. Menariknya, pembelajaran hidup yang disisipkan ke dalam alur cerita oleh penulis bernama asli Darwis ini, sama sekali tak terkesan menggurui pembaca. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa karya-karyanya selalu mendapat tempat khusus di hati para pembaca setianya. 
Tokoh utama dalam novel ini bernama Bujang, seorang pemuda pemberani yang setelah melalui berbagai penderitaan dan pengalaman hidup penuh lika-liku, bahkan selama bertahun-tahun terjebak ke dalam dunia hitam, akhirnya dengan susah payah menemukan setitik cahaya putih yang membuatnya merasa rindu untuk segera ‘pulang’.
            Bujang terlahir dari sebuah keluarga yang memiliki masa lalu sangat pahit. Samad dan Midah, kedua orangtuanya, harus terusir dari kampung kelahiran setelah nekat melangsungkan pernikahan beda kasta, lantas memutuskan bermukim di sebuah kampung terpencil di lereng Bukit Barisan, Sumatera. Semua bermula ketika Samad berusia 20 tahun dan berniat melamar Midah, gadis yang sangat ia cintai dan juga mencintainya. Namun, lamaran tersebut ditolak mentah-mentah oleh keluarga besar Midah (hal 13). Alasannya, karena ayah Midah yang dijuluki Tuanku Imam adalah seorang pemuka agama ternama di kampungnya. Sementara Samad berasal dari keluarga perewa (penjahat). Ayah Samad yang dijuluki ‘Si Mata Merah’ dulunya adalah seorang tukang jagal paling ditakuti (hal 144).    
Samad merasa frustrasi dan sakit hati karena lamarannya ditolak hanya karena perbedaan masa lalu orangtuanya yang sama sekali tak ada sangkut paut dengan dirinya. Ia pun memilih pergi dari kampung hingga akhirnya terjebak ke dalam lembah hitam. Darah tukang pukul yang mengaliri tubuh sang ayah rupanya mengalir juga padanya. Di Kota Provinsi, ia dilatih menjadi seorang tukang pukul nomor satu oleh Keluarga Tong, penjahat kelas kakap yang sangat disegani, baik oleh sesama penjahat maupun pemerintah. Sebenarnya, dulu Samad adalah pemuda baik dan taat menjalankan perintah agama. Namun, sejak lamarannya ditolak, ia berubah drastis menjadi sosok yang tak lagi memedulikan ajaran syariat.
Setelah bertahun-tahun menjadi tukang pukul hingga kaki sebelahnya lumpuh demi menyelamatkan pimpinan Keluarga Tong, akhirnya Samad memilih berhenti dan pulang ke kampung halaman. Rasa cintanya pada Midah yang tak pernah pupus membuatnya bertekad mendatangi kembali rumah Tuanku Imam untuk melamar Midah yang telah lama bercerai dengan suami pilihan orangtuanya. Sebagian keluarga Midah memang merestui tapi sebagian lain dan masyarakat setempat menolak mentah-mentah. Inilah alasan utama yang membuat Samad dan Midah akhirnya terusir dari kampung halaman dan memilih tinggal di sebuah kampung terpecil di lereng Bukit Barisan dan menjalani kehidupan dengan bercocok tanam.
Dengan segala keterbatasan, mereka membuka lembaran kehidupan baru. Kemudian, lahirlah Bujang. Di tangan Midah, Bujang dididik beragam ilmu, baik ilmu umum maupun agama. Berbeda dengan Samad yang mendidik Bujang dengan keras dan melarangnya belajar agama. Bahkan, Samad tak segan memukul Bujang saat memergokinya tengah belajar mengaji pada ibunya. Saat Bujang berusia 15, tiba-tiba Tauke Besar, keturunan Keluarga Tong yang saat itu menjadi penguasa utama, datang menjemput Bujang. Usut punya usut, rupanya Samad dulu pernah berjanji pada Keluarga Tong, bahwa kelak jika memiliki anak laki-laki maka akan diambil oleh Keluarga Tong untuk diangkat sebagai anak sekaligus tukang pukul andalan di keluarga tersebut. Tentu saja Midah merasa sangat keberatan anak lelaki semata wayangnya harus diboyong ke kota, tapi manalah mampu ia melawan karakter keras suaminya.
Di ibu kota, Bujang tak hanya dilatih menjadi tukang pukul nomor wahid, tapi juga disekolahkan hingga ke luar negeri. Tauke berharap Bujang menjadi tukang pukul intelektual. Menurut Tauke, masa depan Keluarga Tong bukan di tangan orang-orang yang pandai berkelahi, tapi di tangan orang pintar. Ia tak mau terus-menerus menjadi keroco di dunia hitam yang kerjanya hanya memalak, memeras, dan menyelundupkan barang-barang. Maka tak heran, bila guru-guru berkelahi terbaik dari luar negeri didatangkan oleh Tauke untuk menggembleng Bujang (hal 55).
Walhasil, ia pun berhasil menjadi tukang pukul andalan dan paling disayangi oleh Tauke Besar. Julukan “Si Babi Hutan” pun semakin melekat pada Bujang. Julukan ini sebenarnya bermula saat Tauke Besar datang ke Bukit Barisan dan mengajak Bujang berburu babi di hutan yang berdekatan dengan tempat kelahirannya dulu. Tak disangka, ternyata Bujang mampu mengalahkan babi hutan raksasa di saat Tauke dan sesama pemburu lainnya terjebak dan nyaris dimangsa oleh babi tersebut.
Cerita pun bergulir makin seru. Singkat cerita, roda bisnis Keluarga Tong menggelinding cepat ibarat bola salju setelah pindah dari Kota Provinsi menuju Ibu Kota. Tauke secara agresif berinvestasi di banyak tempat. Sumber dananya berasal dari bisnis ‘ekspor-impor’ dengan armada belasan kapal kontainer yang sebelumnya telah dibangun di Kota Provinsi. Dengan dukungan dana besar, banyak hal lebih mudah diurus (hal 165).
Di tengah-tengah kesibukan Bujang menyelesaikan berbagai kasus, baik kasus yang terjadi di dalam negeri maupun luar negeri, tiba-tiba datang kabar duka yang membuat Bujang merasa tak bersemangat menjalani hidup. Ibunya meninggal dunia. Bujang semakin ditikam rasa bersalah karena selama ini mengabaikan keberadaan ibu dan tak pernah meluangkan waktu untuk menengoknya di kampung halaman (hal 191). Kira-kira, bagaimana cara paling jitu yang digunakan Tauke untuk menghibur Bujang yang sedang berduka? Dan apa yang akan dilakukan oleh Bujang ketika beberapa tahun kemudian sebuah kabar duka kembali datang hingga mengoyak-oyak jiwanya? Semua jawabannya dapat ditemukan di novel ini.  
Harus saya akui, penulis begitu lihai memainkan alur cerita di setiap babnya. Sehingga pembaca merasa penasaran untuk segera membaca bab-bab berikutnya yang merupakan jawaban-jawaban dari bab sebelumnya. Menuju akhir cerita, terkuaklah sebuah rahasia besar tentang masa lalu orangtua Bujang yang membuat Bujang merasa harus kembali pulang. Tak hanya pulang bersimpuh di pusara orangtuanya, tapi juga menuju kepulangan yang hakiki; pulang pada jalan kebenaran.

Hikmah dan Pembelajaran Hidup
            Banyak sekali hikmah dan pembelajaran hidup yang dapat dipetik dari novel beralur maju-mundur ini. Misalnya, mengajarkan tentang arti kesetiaan. Ketika Bujang tengah diajar oleh Salonga, guru menembak terbaik, ia diuji oleh Tauke untuk menembak Salonga, tapi ia tak mau melakukannya. Karena ia memegang teguh sebuah prinsip kesetiaan dalam hidupnya. “Kesetiaan anak ini ada pada prinsip, bukan pada orang atau kelompok. Di masa-masa sulit, hanya prinsip seperti itulah yang akan memanggil kesetiaan-kesetiaan terbaik lainnya” ujar Salonga (hal 187).
            Pembelajaran hidup lainnya adalah saat Midah melepas kepergian Bujang, ia berpesan untuk selalu menjaga diri dari mengonsumsi makanan dan minuman haram. “Apa pun yang akan kau lakukan di sana, berjanjilah Bujang, kau tidak akan makan daging babi atau daging anjing. Kau akan menjaga perutmu dari makanan haram dan kotor. Kau juga tidak akan menyentuh tuak dan segala minuman haram” (hal 24). Dan, beberapa tahun kemudian, Bujang akhirnya menemukan alasan atas pesan sang ibu, bahwa menjaga perut dari makanan dan minuman haram adalah sebuah cara agar tetap dekat saat panggilan untuk ‘pulang’ telah tiba (hal 341).
            Selain sarat pembelajaran hidup, penulis juga cukup berani menguak sindikat shadow economy di negeri ini yang keberadaannya begitu sulit bahkan tak mungkin diberantas. Shadow economy atau biasa disebut underground economy adalah ekonomi yang berjalan di ruang hitam. Penulis dengan lantang mengurai bahwa shadow economy diibaratkan kecoa haram dan menjijikkan dalam sistem ekonomi dunia dan keberadaannya tak dikenal oleh masyarakat umum. Melalui sindikat ini, terjadilah praktik-praktik culas dan haram, misalnya pencucian uang, perdagangan senjata, minyak bumi, properti, teknologi mutakhir, valas, pasar modal, retail, dan lain sebagainya yang kesemuanya itu dikendalikan oleh institusi ekonomi pasar gelap (hal 30).

Keunggulan dan Kelemahan
            Dalam sebuah karya, tak dipungkiri tentu ada keunggulan dan kelemahannya. Pun dengan novel ini. Mengenai keunggulannya sebagaimana telah saya paparkan di atas, bahwa penulis cukup lihai memainkan alur cerita pada tiap babnya, sehingga cukup sukses membuat pembaca penasaran untuk membaca bab-bab selanjutnya. Selain itu, banyaknya hikmah dan pembelajaran hidup yang disisipkan penulis juga menjadi keunggulan dalam novel ini.
Sementara kelemahan novel ini, menurut saya, salah satunya pada beberapa bagian mirip adegan film yang kurang masuk akal. Misalnya, ketika Tauke dan Bujang nyaris dihabisi oleh Basyir, salah satu tukang pukul di Keluarga Tong yang berkhianat. Ketika itu Basyir sedikit lengah selama lima detik. Nah, lima detik tersebut tak disia-siakan oleh Tauke yang posisinya berada di ranjang bersama Bujang dan Parwez (anak buah Tauke yang lain). Tauke dengan sigap menekan tombol darurat terakhir. Ketika tombol telah aktif, lantai bawah ranjang pun merekah, membentuk lorong miring dan ranjang meluncur turun membawa mereka bertiga, lalu lantai kembali menutup otomatis. Menurut saya, sepertinya mustahil adegan tersebut terjadi dalam lima detik, meskipun sebenarnya sah-sah saja bila penulis berpatokan pada teknologi yang makin canggih.
Akhirnya, sebagai penutup, saya ingin mengutip kembali sebuah pesan inti dalam novel ini, bahwa “sejauh apa pun kehidupan menyesatkan, segelap apa pun hitamnya jalan yang kutempuh, Tuhan selalu memanggil kami untuk pulang”. Ya, pada akhirnya, “pulang” memang menjadi tujuan akhir dari setiap perjalanan hidup manusia.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar