Jumat, Juli 25, 2014

Ibu



*Cerpen ini dimuat di Tabloid Serambi Ummah

Kepergian Eri, kian memerihkan luka di hati. Kini, ibu hidup sebatang kara. Terpasung sepi di kampung halaman yang jauh dari bingarnya kehidupan kota, tempat ibu membesarkan ketiga putrinya. Fitri, anak pertama ibu, telah lima tahun tinggal di Jakarta bersama suami. Sementara Novi, anak kedua, juga ikut suaminya yang menjadi anggota DPRD di Madiun. Kini Eri, bungsu harapan terakhir ibu pun diboyong suaminya yang berprofesi sebagai juragan martabak terbesar di Surabaya.
“Ibu tenang saja di rumah, ndak usah mikir yang macem-macem, ndak perlu jualan kue lagi ke pasar. Eri janji, akan bantu kirim uang tiap bulan,” kata Eri kemarin, di detik-detik terakhir berpisah dengan ibu.
Sepertinya Eri kurang peka. Tak bisa menafsir gemurat kesedihan yang melipati raut ibu yang setengah hati melepas kepergiannya. Sungguh, sejatinya ibu tak mengharap materi dari anak-anaknya. Kalau sekadar hajat hidup sehari-hari, ibu masih bisa mencukupi dengan berjualan kue di pasar. Ibu hanya berharap bisa berkumpul dan hidup bahagia bersama ketiga anaknya—atau minimal ada salah seorang putrinya yang sudi menemani atau mengajaknya tinggal di kota—hingga kelak tiba pada garis ajalnya.
***
Semakin hari, ibu merasa semakin terkurung sepi di rumah sendiri. Ah, andai saja Karman, suami ibu kini masih hidup... Sayangnya, Karman keburu meregang nyawa, 10 tahun silam. Ketika itu Karman sedang ngojek di pangkalan tak jauh dari perlintasan kereta api. Ia terserempet kereta api saat menyeberang rel. Maklum saja, di perlintasan rel itu memang tak ada pagar pengamannya.
Assalamualaikum,” suara seseorang memenggal lelamun ibu sore itu.
Waalaikumsalam,” sahut ibu seraya bergegas menuju pintu.
“Masuk, Met!” ibu mempersilakan tamunya begitu pintu telah terkuak.
Pemuda bernama Slamet, tetangga ibu, lantas bergegas masuk dan duduk di salah satu kursi kayu.
“Ada apa, Met?” tanya ibu seraya duduk menjejeri Slamet.
“Tadi Mbak Fitri SMS. Katanya, ia baru ngirim paket televisi berwarna buat ibu, mungkin seminggu sampai,” Slamet menerangkan kabar—yang menurutnya adalah kabar gembira—itu dengan wajah cerah. Namun, ternyata ekspresi raut ibu tetap tak berubah. Datar. Biasa saja.
Kok sepertinya Ibu ndak senang tho dengar kabar Slamet?” heran Slamet.
Ibu merasa ndak butuh televisi, Met,” ujar ibu lirih.  
“Kata Mbak Fitri, televisi itu buat nemenin Ibu, biar Ibu ndak terlalu kesepian di rumah,” Slamet mencoba menerangkan alasan Fitri.
“Ya sudah, ndak usah dibahas. Ndak penting, kok,” sepertinya ibu enggan mengomentari lagi.
Oiya Met, besok pagi tolong antar Ibu ke pasar, ya? Ibu mau jualan kue lagi,” kata ibu kemudian.
Lho? Ibu mau jualan kue lagi? Bukannya Mbak Fitri dan Mbak Novi sudah ngirimi uang tiap bulan? Mbak Eri juga pernah bilang, agar Ibu ndak usah jualan lagi,”
“Buat kesibukan, Met. Ibu ndak betah kalau hanya berdiam diri terus-terusan di rumah. Lagian, Ibu telah terbiasa berjualan kue sejak anak-anak Ibu masih kecil,  Slamet hanya mengangguk-anggukan kepala mendengar penuturan ibu. Ya, bagi perempuan lanjut usia macam ibu yang sedari muda gigih berkerja, memang terasa sangat menyiksa menjalani hari-hari senjanya hanya berdiam diri tanpa aktivitas.   
***
Seminggu berlalu. Paket televisi yang dijanjikan Fitri pun datang lengkap dengan antenanya. Slamet dan Jarwo yang mengambil paket itu ke kantor pos. Sesampai di rumah, kedua pemuda putus sekolah dan akhirnya menjadi petani abadi itu segera menuju pekarangan belakang guna menebang bambu yang banyak bergerombol di sana. Bambu itulah yang akan digunakan untuk mendirikan antena. Tapi, saat Jarwo dan Slamet tengah memilih bambu yang lurus, ibu keburu datang menegur.
“Kalian ndak usah repot-repot nebangi bambu, sebaiknya kalian makan dulu saja di dapur, Ibu sudah masakin mie, nanti keburu dingin,” ujar ibu seraya menyuruh keduanya makan.
“Tapi kata Mbak Fitri, aku dan Jarwo disuruh masang antenanya,” ujar Slamet.
“Ucapan Fitri ndak usah kalian pikir. Biar kapan-kapan kalau dia nanya, Ibu yang akan menjelaskan,”
***
Piye, Met? Televisinya ndak rusak, kan? Antenanya sudah di pasang?” Suara perempuan yang sangat dikenali Slamet langsung memberondongi dengan pertanyaan begitu Slamet mengangkat ponselnya pagi itu.
“Sudah Mbak. Tapi…,” Slamet tak melanjut kalimatnya.
“Kenapa, Met?” kejar perempuan di ujung telepon tak sabar.
Slamet pun menjelaskan alasan ibu.
“Ya sudah, biar kapan-kapan aku yang ngomong sama Ibu. Terima kasih atas bantuannya, ya, Met,” Fitri memilih menyudahi pembicaraan.
Dua minggu berlalu. Televisi berwarna 14 inci itu masih teronggok di pojok ruang tamu. Ibu benar-benar tak peduli dengan barang elektronik yang banyak digandrungi masyarakat itu. Bagi ibu, ada dan tidaknya televisi, tak akan bisa menggantikan posisi anak-anaknya yang kini jauh di rantau. 
***
 Assalamualaikum,” lantang Slamet di depan pintu rumah ibu. Sore itu Slamet hendak mengantar paket pos berisi ponsel kiriman Novi. Katanya, biar ia bisa memantau keadaan ibu sewaktu-waktu. Sesuai pesan, Slamet disuruh mengaktifkan ponsel tersebut.
Assalamualaikum,” Sepi. Slamet pun mengulang salamnya. Tapi tetap tak berjawab. Ke mana gerangan Ibu, ya? Biasanya sore-sore begini beliausedang membersihkan rumah. Batin Slamet dijejali tanya. Slamet jadi tak sabar. Diraihnya gagang pintu kayu itu lalu didorongnya pelan.
Masya Allah! Ibuu?!” Slamet terpekik ketika melihat tubuh ibu terkulai di lantai. 
Berkali Slamet menggoyang-goyang bahu ibu, tapi tetap bergeming. Dan kepanikan Slamet kian memuncak, ketika menyadari bahwa ibu telah tiada.
“Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun,”
Baru saja Slamet hendak membopong tubuh ibu, tiba-tiba dari dalam saku kemejanya terasa ada benda yang bergetar-getar, seiring suara ringtone yang memekak telinga karena volumenya tersetting full. Dengan tangan gemetar Slamet merogoh benda mungil itu.
“Mbak Novi?” wajah Slamet kian memias begitu melihat nama ‘Novi’ berkedip-kedip di layar ponsel tersebut.
***
             
 Kebumen, 2011-2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar