Selasa, November 18, 2014

Putri Kupu




            Namaku Putri Kupu. Nama yang terdengar agak aneh tapi sejatinya unik bukan? Aneh bin unik. Unik sekaligus aneh. Ya, ya, ya, mungkin kedengarannya agak-agak mirip—atau sama persis?—dengan judul sebuah sinetron atau film animasi yang pernah kalian tonton di televisi.
Menurut cerita nenek angkatku saat menemukanku, katanya ada seekor kupu-kupu warna kuning keemasan yang menghinggapi wajahku di pinggiran rel kereta api tak jauh dari stasiun Lempuyangan. Kupu-kupu itulah yang kemudian menginspirasi nenek untuk menamai bayi yang tak henti mengoek itu; Putri Kupu.  
Sutarmi (orang-orang biasa memanggilnya Nek Tarmi) akhirnya mengangkat bayi itu sebagai anaknya. Kebetulan ia hidup sebatang kara. Sudarmo, sang suami telah berpuluh tahun meninggal dunia akibat terserempet kereta api kelas bisnis yang tengah melaju dengan kecepatan setan, hanya beberapa meter dari arah rel kereta api di stasiun Balapan saat ia tengah pulang memulung sampah.
Sementara Suwiryo, putra tunggal Nek Tarmi telah lama tak ada kekabar nasibnya semenjak memutuskan merantau ke ibu kota beberapa tahun silam. Rutinitas Nek Tarmi sehari-hari hanyalah berjualan nasi bungkus berdaun pisang, berlauk khas; gudeg, sepotong telor dadar plus rempeyek kacang. Tiap pagi hingga petang—kadang hingga larut malam—Nek Tarmi selalu terlihat mondar-mandir di sekitar stasiun Lempuyangan, menjajakan nasi bungkus racikan jemarinya yang kisut.
Hei, coba ingat-ingat! Mungkin, sewaktu tengah berada di stasiun Lempuyangan menunggu datangnya kereta, kalian pernah menjumpai wanita baya mengenakan kebaya dan jarik lusuh dengan selendang tersampir di leher sedang sibuk mondar-mandir menjajakan nasi bungkus. Ya, saya pastikan wanita itu adalah Nek Tarmi yang tengah kubincangkan kali ini.
Entah, apa jadinya nasibku saat ini, jika saja waktu itu tak diketemukan oleh Nek Tarmi. Bisa jadi aku akan dimangsa anjing-anjing kurap yang biasa mondar-mandir di seputaran rel kereta api itu. Aku masih ingat, saat Nek Tarmi berkisah, bahwa sekujur tubuhku masih berwarna merah baur darah saat menemukanku. Ah, sebegitu nistakah diri ini hingga ibu kandungku tidak menginginkan aku terlahir ke dunia dan memutuskan untuk membuang saja darah dagingnya sendiri?
Baiklah, aku tak mau lagi mengungkit-ungkit masa kelamku yang sangat menyakitkan. Dan yang patut aku syukuri, biar pun hidup bergelimang kemiskinan, tapi Nek Tarmi begitu menyayangiku layaknya anak kandung sendiri. Bahkan, sekarang aku bisa duduk di bangku Sekolah Dasar kelas tiga karena beliau sangat mengingini kelak aku bisa menjadi anak yang pintar dan berpendidikan. Tidak seperti Nek Tarmi yang bodoh dan buta huruf semenjak kecil bersebab beliau tidak pernah mencecap pendidikan formal.
***
            “Aku yakin itu bukan anakku!” ketus lelaki berkulit kuning langsat.
O, betapa kedua telinga ini serasa dilumat serentet petir saat lelaki yang telah setahun jadi pacarku itu mengatakan kalimat di luar dugaan benakku. Sungguh demi Tuhan, tidak ada lelaki lain yang menitiskan bakal janin ke dalam perutku ini seperti tuduhan tak beralibinya.
            “Sumpah demi Tuhan, Mas! Aku ndak pernah tidur dengan lelaki lain, selain kamu!” pekikku dengan dada bergolak.  
            “Ah, sudah, sudah! Aku tidak mau berdebat lagi. Aku tahu kok, yang kamu butuhkan ini, bukan?” lelaki itu menyeringai licik seraya menyorongkan amplop cokelat yang aku yakini berisi setumpuk uang.
Tentu saja, aku langsung berang bukan kepalang. Hei, dia pikir aku ini pelacur apa? Sungguh tak kunyana sama sekali, jika janji-janji manisnya selama ini adalah palsu. Betapa selama ini aku telah terpedaya oleh mulut manisnya yang ternyata berbisa. Tapi, apalah aku, yang hanya seorang gadis desa yang terlanjur terperangkap oleh bujuk-rayu lelaki bangsat anak pejabat tinggi itu.
             “Bangsat! Kamu pikir aku pelacur, hah?” seraya melemparkan amplop itu ke wajahnya. Amarahku benar-benar mucuk, mencelat dari ubunku. Ketika aku merangsek ingin memukul dan mencakar-cakar wajahnya, ia dengan gesit berkelit dan mendorong tubuhku dengan kasar hingga badanku limbung dan jatuh di pinggir trotoar. Lantas dengan lekas ia berlari menuju sedan mewahnya di seberang jalan sana.   
“Hei, bajingan! Tunggu! Dasar banci!” teriakku kalap ketika beberapa detik kemudian sedan itu langsung melesat cepat.
Ah, mengenang masa-masa kelam itu, serasa ada ribuan anak sungai yang dalam sekejap langsung mengelilingi manik mataku.
***
            Sudah dua hari ini, sepulang sekolah, aku merasa dibuntuti oleh seseorang. Rasanya seperti ada yang tengah mengawasi segala gerikku. Entah siapa. Padahal tak ada sesiapa di belakangku. Hanya seekor kupu-kupu kecil warna kuning keemasan yang kulihat berlesatan ke sana kemari. Sesekali kupu-kupu cantik itu mengitari langkahku. Ia terus mengikuti ayunan kakiku hingga akhirnya aku tiba di rumah kayunya Nek Tarmi di sebelah selatan rel kereta api, beberapa ratus meter dari arah barat stasiun Lempuyangan ini.
            Kupu-kupu itu, meskipun bertubuh mungil, tapi warnanya sungguh teramat cantik. Tubuhnya yang kuning keemasan kian berkilau terang saat tertimpa semburat mentari yang tengah berada pada garis istiwa. Berkali kedua tanganku menggapai ingin menangkap lantas membawanya pulang. Sungguh, aku ingin sekali memelihara kupu-kupu cantik itu di sebuah toples kaca yang akan kutaruh di kamarku. Tapi, kupu-kupu itu selalu lesat tinggi saat ia mengetahui aku tengah berusaha menangkapnya.
***
            Betapa hati ini berdenyar-denyar bahagia melihat pertumbuhan putriku yang dari hari ke hari tumbuh kian besar. Paras ayunya benar-benar khas orang Jawa. Persis wajahku saat masih belia. O, betapa kebahagiaanku akan terasa menyempurna seandainya saja aku bisa merawatmu secara langsung, Nak. Batinku dirasuki rasa ngilu. Tapi, apalah dayaku. Aku telah dikutuk oleh sesumpahku sendiri. Bukankah pada waktu itu aku sendiri yang mendamba berubah menjadi seekor kupu-kupu? Berharap segala dukaku kan meluruh?
            Masih terekam menggamblang dalam memori ingatan, saat aku memutuskan untuk tidak menggugurkan kandunganku yang kian menggelembung. Hati kecilku selalu melarangku untuk membunuh janin tak berdosa yang terlanjur menyemayam dalam perut ini.
Namun, ketika usia kandunganku mengambah bulan ke sembilan, entah mengapa aku kembali dihantam gamang. Betapa tidak mudah tak menggubris ucap nyinyir orang-orang kampung yang tak pernah berhenti menganggapku wanita murahan yang tak punya urat malu; hamil di luar nikah.
            Hingga akhirnya, keluarlah sesumpah dari bibirku. Aku ingin menjadi kupu-kupu yang bisa bebas terbang kemana pun aku mau. Dan entah kenapa, usai menyatakan kalimat sumpah itu, tiba-tiba perutku berasa sakit luar biasa. Dan semuanya terasa pekat saat kepalaku diserbu ribuan kunang-kunang hingga akhirnya tubuhku ambruk ke tanah.
Saat tersadar, betapa terperangahnya aku melihat kujur tubuhku telah mengecil dan bersayap. Keterkejutanku pun kian jadi ketika kedua telingaku menangkap jerit tangis bayi yang tergolek merah baur darah di sisiku.
***
Puring Kebumen, 2011

Catatan:
Cerpen ini pernah dimuat di Koran Merapi, Minggu 20 Nopember 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar