*Cerpen ini telah dimuat di Annida-Online tahun 2012
Beberapa hari
terakhir ini, teman-teman sesama sopir angkot, tukang ojek dan tukang becak,
ramai membincang penyanyi dangdut Trio Macan, beranggotakan tiga cewek cantik
yang selalu berbusana seksi ketika tampil di atas panggung dengan mengusung
goyang maut yang bisa merontokkan keimanan kaum lelaki.
Aku sendiri kurang begitu menahu, siapa itu Trio Macan.
Namanya saja baru mendenging di gendang telingaku tempo hari. Itu pun lewat
Tarjo, kernet angkotku yang waktu itu sedang memutar keras-keras lagu Iwak
Peyek di hape Cina-nya. Dan, aku memang tak
begitu peduli dengan ingar bingar dunia musik, juga artis-artis cantik yang
kerap jadi bahan obrolan teman-temanku ketika sedang ngumpul di warung kopinya Mbok
Iyem sembari meluruh penat.
Jujur, aku harus bilang, tak ada waktu buat memikir hal
remeh-temeh seperti itu. Yang aku pikirkan saat ini hanyalah bagaimana caranya tetap
bisa kejar setoran. Agar dapur istriku tetap mengebul dan kedua anakku bisa melanjut sekolah. Terlebih,
harga-harga sembako jelang Ramadhan dan menyambut lebaran pasti akan semakin sengit
melangit.
“Eh, katanya sebentar
lagi, Trio Macan tampil di alun-alun kota, ya? Wah, kalau iya, aku pasti akan
nonton di baris paling depan, soalnya selama ini kan aku hanya lihat
goyangan mereka di tivi,” celetuk Karyo, tukang becak yang biasa mangkal di
perempatan lampu merah, seraya terkekeh sebelum akhirnya menyeruput cangkir kopi di warung Mbok Iyem sore itu.
“Hah, yang bener? Kamu dapat informasi dari
siapa, Yo?” sahut Badrun, salah satu dari beberapa sopir angkot yang
biasa mangkal di perempatan jalan dekat stanpalt colt, dengan raut semangat.
“Oalah, Kang, Kang!
Sampean itu kok bisa ketinggalan info, hahaha,” celetuk Dasino,
tukang ojek yang usianya belum genap 30 seraya menjambal pisang goreng yang
barusan diangkat dari penggorengan.
Mendengar obrolan
ngalor-ngidul seputar Trio Macan dari teman-teman senasib seperjuangan, aku
hanya manggut-manggut saja, lantas meraih cangkir kopi dan menyeruputnya pelan.
Sesekali, aku terkekeh geli mendengar mereka saling melontar banyolan segar.
Paling tidak, penatku sedikit sirna usai bekerja seharian, saat mendengar
guyonan mereka.
***
Beberapa minggu
terakhir ini, tidak tahu kenapa, angkotku selalu sepi penumpang. Dan itu
berimbas pada penghasilanku yang otomatis berkurang. Parni, istriku sampai
mengeluh, apalagi bulan-bulan ini banyak nian kondangan. Salah satu
tradisi di daerahku, jika jelang Ramadhan, banyak tetangga yang mengadakan
hajatan nikahan. Dan itu membuatku kian kelimpungan saja nyari utangan buat
menyelip angpao di gentong-gentong yang disediakan pada setiap hajatan.
“Sudah nunggu lama,
ya, Kang?” Tarjo yang sejak tadi kutunggu-tunggu kedatangannya tiba-tiba saja
nongol dan mengagetkanku yang sedang dibikin puyeng kejar setoran.
“Pagi-pagi kok sudah ngalamun, Kang! Hayoo, jangan-jangan lagi ngalamunin Trio Macan, ya?” terka Tarjo cengar-cengir sambil
mengipas-ngipaskan topi partai kumal andalannya ke wajah legamnya yang kian
mengkilat terjilat sinar mentari saban hari.
“Ealah, kamu ini aneh-aneh saja, tho, Jo. Wong aku ini lagi mumet gimana caranya bisa dapat duit banyak. Kamu tahu sendiri kan, akhir-akhir ini angkot kita selalu
sepi penumpang,” tandasku serius.
Tarjo terdiam. Dahinya
tampak kerut-merut, menandakan ia sedang serius memikirkan sesuatu.
“Kamu enak, Jo, Jo.
Masih bujangan. Belum punya tanggungan banyak kayak aku,” lanjutku.
“Eh, Kang, aku
punya ide,” cetus Tarjo tiba-tiba dengan wajah sumringah, persis kayak orang yang baru menang lotre.
“Ide apa, Jo?”
tanyaku penasaran.
“Mungkin salah satu
penyebab angkot jadi sepi penumpang, karena angkot kita perlu sedikit dipermak,
Kang!” ujar Tarjo dengan mimik serius.
“Dipermak? Dipermak
gimana?” aku benar-benar tak paham maksudnya.
“Begini, Kang. Gimana kalau kita cat saja angkotnya
biar kelihatan baru dan lebih presh (kepinginnya sih bilang
‘fresh’ tapi mulut Tarjo yang hanya mengenyam pojokan bangku SD itu tak pernah bisa
fasih melafazkannya), lalu kita tulis kata-kata yang bisa bikin para penumpang tertarik naik
angkot kita. Gimana, Kang?”
terang Tarjo sebegitu yakinnya.
Sejenak aku terdiam.
Lalu…
“Ya. Bener, bener. Aku setuju usulmu.
Tapi…, kira-kira tulisan apa yang bisa menarik para penumpang, Jo?”
“IWAK PEYEK TRIO MACAN!” Tarjo mengeja kalimat itu
dengan tegas, lantang dan mantap.
Aku tersenyum
dikulum. Terkekeh. Kepalaku naik turun.
“Ya, ya, ya…, menarik, menarik, Jo,”
kedua mataku langsung berbinar.
***
Tiga hari kemudian,
angkotku telah disulap dengan warna biru langit. Bagian belakang angkot
terpajang gambar tiga wanita seksi mengenakan tank top dan rok mini
dengan pose yang berbeda-beda. Di bawahnya tertulis huruf kapital besar-besar dengan
warna merah menyala; IWAK PEYEK TRIO MACAN. Di kaca angkot bagian depan juga
tertulis kalimat senada warna merah, tapi formatnya lebih kecil.
Dan entah, apakah
tulisan dan gambar Trio Macan itu benar-benar menjadi “magnet ajaib” yang berpengaruh
besar terhadap nasib angkotku, aku sendiri tak bisa seratus persen memastikan.
Yang jelas aku sangat bersyukur, karena semenjak dipermak, angkotku kembali
ramai dipenuhi para penumpang.
Uniknya, kebanyakan para penumpangnya adalah kaum
lelaki, sebagian anak-anak SMA dan mahasiswa. Betapa aku benar-benar bersyukur
dan berterima kasih pada Tarjo yang telah mecetuskan ide brilian itu. Parni pun
sudah tidak cemberut lagi, karena penghasilanku kembali normal bahkan terkadang
bisa membawa pulang uang lebih banyak dari biasanya. Hutang-hutangku perlahan bisa
kulunasi dan dapurku pun kembali lancar mengebul. SPP kedua anakku yang masih duduk di bangku SD yang
sempat menunggak dua bulan pun bisa terbayarkan.
***
“Trio Macan itu
benar-benar membawa hoki buat angkot kita ya, Jo,” ujarku pada Tarjo saat tengah
beristirahat sambil ngopi di warungnya Mbok
Iyem siang itu.
“Iya, Kang. Padahal tadinya aku cuma
iseng, hahaha,” sahut Tarjo terkekeh.
“Ah, andai saja aku
bisa bertemu Trio Macan, Kang, alamaaak!” hayal Tarjo sambil menyeruput cangkir
kopinya. Spontan aku langsung melempar mukanya dengan kulit kacang godok.
“Kamu itu jadi
orang mbok ya jangan terlalu berkhayal, Jo, Jo,” aku geleng-geleng
kepala seraya tersenyum geli.
“Ya, nggak apa-apa to,
Kang! Orang-orang kecil seperti kita ini kan memang bisanya cuma
berhayal! Hehehe,” sahutnya sambil cengar-cengir.
“Wah, para penggemar Iwak Peyek lagi pada ngumpul di sini rupanya,”
tiba-tiba Karyo datang dan langsung duduk di sebelahku sambil melepas topi
kumalnya, lalu mengipas-ngipaskan ke wajahnya yang bertabur keringat. Kerasnya
garis kehidupan terpancar jelas di gurat wajahnya yang kian terlipat oleh keriput.
“Ngopi dulu, Kang Karyo,” tawarku.
“Iya, boleh, ditraktir, kan?” sahut Karyo dengan senyum khasnya.
“Iya, jangan khawatir, Kang, tak bayarin nanti,” seraya menepuk-nepuk pundaknya. Lelaki yang usianya
telah mencapai 42 tahun itu telah menjadi tukang becak sejak masih muda. Benar
juga kata pepatah, yang namanya buah itu kalau jatuh pasti tak akan jauh-jauh
dari batang pohonnya. Profesi bapaknya Karyo yang penarik becak itu ternyata
menurun pada anak lelakinya.
Sedang
asyik-asyiknya minum kopi
sambil ngobrol ngalor-ngidul,
tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara keributan. Sepertinya suara-suara itu tak
jauh dari warungnya Mbok Iyem.
Mungkin di jalan utama, sekitar lima puluh meter dari warung ini.
Mendengar teriakan-teriakan mereka, sepertinya sedang
terjadi demo besar-besaran. Ya! Akhir-akhir
ini memang kerap terjadi aksi demonstrasi. Mulai demo para guru GTT yang minta
untuk segera diangkat jadi pegawai negeri, demo para buruh yang minta dinaikkan
gajinya, menuntut turun bupati yang tertangkap basah mengorupsi uang rakyat dan
menerima suap, dan masih banyak lagi demo-demo lainnya.
Yang aku tahu, aksi demonstrasi yang dilakukan oleh
ribuan massa itu kerap menimbulkan jalanan macet total. Imbasnya pun fatal. Karena
aku tak bisa narik angkot,
kadang hingga seharian. Itu artinya aku dan sopir angkot yang lain jadi
menganggur, lalu pulang ke rumah dengan tangan hampa dan disambut istri dengan
muka masam.
“Kaang! Kang
Dirman! Ketiwasan, Kang!”
tiba-tiba Badrun datang dengan tergopoh-gopoh.
“Ada apa, Drun. Ada
demo apa lagi?” tanyaku penasaran.
“Angkotnya Kang
Dirman dibakar massa!” jelas Badrun dengan nafas memburu.
“Apa?” aku
terlonjak hingga cangkir kopi di hadapanku tersenggol tangan dan langsung tumpah.
Kedua telingaku seperti tersengat ribuan lebah.
“Iya, Kang. Mereka itu para pendemo
yang menolak keras Trio Macan manggung di kota ini, dan mereka membakar
poster-poster yang ada gambarnya Trio Macan. Mereka juga langsung ngamuk begitu
melihat gambar Trio Macan di angkot Kang Dirman!” terang Badrun panjang lebar.
Tubuhku langsung
melemas seketika. Penjelasan Badrun benar-benar membuatku shock. Dengan sisa-sisa tenaga yang masih tersisa, kami berempat
bersigegas menuju tempat kejadian.
***
Dengan tatap nanar,
aku hanya bisa memandangi angkotku yang kini telah berubah warna. Menjadi
gosong kehitam-hitaman. Sisa-sisa asap masih mengepul dari atap angkotku. Massa
yang barusan berdemo telah bubar. Dadaku bergolak hebat. Wajahku pias. Aku tak
tahu harus melampiaskan kemarahanku pada siapa. Aku meradang, tapi aku hanya
mampu terisak.
“Maafkan aku, Kang.
Kalau saja aku tak mencetuskan ide itu, pasti angkot kita nggak bakal bernasib tragis
seperti ini…,”
Ucapan Tarjo yang penuh dengan nada
penyesalan membuatku tersudut pada titik sadar. Ternyata Trio Macan bukan
membawa hoki, tapi membawa petaka besar dalam hidupku.
***
Puring Kebumen, 2009 - 2012.
Terinspirasi dari
pencekalan artis-artis berpenampilan seksi di beberapa kota.
*ilustrasi diambil dari web Annida-Online.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar