Senin, Februari 08, 2016

Cokelat Valentine*



*Cerpen Duet: Sam Edy Yuswanto & Uda Agus
 Cerpen ini dimuat di Majalah Story, edisi 25 Januari - 24 Februari 2013


           


            “Kenapa harus cokelat?” dengan nada polosnya, jidat sedikit berkerut.
            Sambil menggeleng takjub “Eh, dengerin ya, cokelat itu adalah benda paling romantis sedunia!”
            “Romantis? Masa, sih?” masih dengan nada serupa, lipatan di kening sekarang bertambah.
            “Eh, dibilangin nggak percaya,”
            “So…” masih sama; jidat berkerut itu sudah ditambah dengan gurat wajah keheranan. Betul-betul gak ngeh sama topik pembicaraan.
            “Ya ampun Ra, kamu letoy amat, sih. Gini ya, sekarang yang mesti kamu siapin adalah sebungkus cokelat terbaik dan termahal, terus bungkus yang rapi, lalu persembahin buat Radit, cowok yang katamu sangat mirip Justin Bieber itu. Ingat, tinggal dua hari lagi.”
            “Harus yang mahal ya, Ta? Terus, mesti 14 Februari?” Masih dengan kerutan wajah polosnya.
            OMG.… ini anak kuper banget. Kamu makhluk bumi bukan, sih? Hei, 14 Februari itu kan hari valentine, Say… hellooouuw!” seraya menggerak-gerakkan telapak tangan persis di depan wajah lugu kawannya.
            “Mmm, emang kalau diberikan pada hari lain, nggak bisa, ya?”
            “Bisa, bisa, ntar nunggu pas tujuh belas agustus juga boleh. Sekalian aja serahin pas kalian panjat pinang bareng! Aduuuh, kamu ini payah deh, Ra, ya kudu pas hari valentine lah, kan itu hari kasih sayang anak muda sedunia. Katanya kamu mau ngungkapin rasa sayangmu ke cowok itu, ya momen-nya juga kudu nyari yang pas dong, Ra! Kemarin kamu curhat, katanya lagi naksir berat sama Radit. Naksir beneran apa kagak, nih?” dengan wajah geregetan.
            Yang diajak bicara hanya manggut-manggut, meringis sekilas, sambil garuk-garuk dahinya yang suer klewer… pasti nggak gatal sama sekali.
            Dita sungguh heran. Hari gini, masa sih, masih ada yang belum tahu yang namanya hari valentine. Tapi Rara sepertinya memang baru tahu sekarang.
            Rara, anak pindahan yang baru dua bulan menjadi penghuni kelas. Dia memang dari kampung, diajak sama tantenya untuk tinggal di kota. Tapi sama sekali Dita tidak menyangka kalau Rara tidak mengenal hari valentine.
            Kemarin Rara curhat tentang Radit, cowok ekonomi semester akhir yang kampusnya memang tidak jauh dari sekolah mereka. Dita sendiri belum mengenalnya. Tapi dari cerita Rara, Dita yakin kalau Radit pasti cowok keren.
***
            Ide Dita untuk memberikan sebungkus cokelat pada Radit akhirnya disetujui Rara. Makanya, di Minggu pagi ini, Rara mengajak Dita ke mall untuk membeli sebungkus cokelat terbaik dan termahal seperti anjuran Dita.
            “Taa, udah siap belum, nih!” Rara memanggil Dita tanpa mengetuk pintu kamar kosnya. Mereka memang tidak hanya duduk sebangku di kelas, tapi juga indekos di tempat yang sama. Rumah kos yang mereka tempati adalah milik tantenya Rara.
            “Iya, tungguin sebentar, Ra!” Dita menyahut dari balik kamarnya. Biasa, kalau ratunya dandan, memang Dita orangnya. Tidak kurang satu jam waktu yang dibutuhkannya untuk memastikan kalau dia sudah berdandan dengan cantik. Dita mengaku, tidak ingin gelar “Miss School” yang disandangnya sejak empat bulan terakhir ternodai dengan penampilannya yang tidak sempurna. Miss School, ajang tahunan yang sejak lama digelar oleh sekolahnya untuk mencari siswi cantik, pintar dan tentu saja penuh talenta.
***
            Rara memegang sebungkus cokelat berbalut kertas kado warna pink itu dengan perasaan berbunga-bunga. Meski tadi sempat tidak percaya dengan bandrol harga yang tertera pada batangan cokelat sepanjang 15 cm itu, tapi dia tetap membelinya.
            “Ra, cokelat ini buatan luar negeri. Diimpor langsung buat ngerayain valentine di Indonesia. Kamu lihat kan tulisan di bungkusnya, bukan made in Indonesia?”
            “Tapi harganya, Ta?” wajah Rara masih ragu.
            “Ingat Radit, Ra. Masa kamu nggak mau beliin itu buat dia. Hanya sekali ini juga kok Ra, setelah kalian jadian, percaya deh, tiap saat kamu bisa minta dia beliin ini.”
            “Halal nggak, nih?”
            “Ya ampun… ini cokelat Nona, ya halal lah… tuh juga ada cap halal dari MUI di bungkusnya.”
            Dan kini, sebatang cokelat mahal itu sudah terbungkus rapi. Lengkap dengan beberapa baris coretan romantis sebagai wujud ungkapan rasa kasih sayangnya pada Radit yang terselip di dalam cokelat buatan luar negeri itu.
            Rara dan Dita keluar mall dengan senyum bahagia. Senyum Rara kian merekah saat membayangkan yang akan terjadi esok hari. Ya, besok 14 Februari. Tadi pagi dia sudah sms-an sama Radit—yang kalau dilihat dari depan memang mirip sama Justin Bieber, tapi kalau diperhatikan dari samping, lebih mirip sama Morgan, personil smash—untuk ketemuan di mall.
            Saat sedang berjalan menuju halte yang tak begitu jauh dari sebelah mall tersebut, tiba-tiba Dita terpekik…
            “Ya, ampun, Ra! Aku kelupaan belum beli titipannya Dewi!”
            “Emang Dewi nitip apa sama kamu, Ta,”
            “Dia nitip beliin kamus bahasa Inggris, aduuh kok aku jadi ketularan letoy gini ya, gara-gara kamu, tuh. Tungguin sini bentar ya, Ra, plis! Aku balik sebentar ke mall,”
            “Ya, udah sana, lagian aku juga males balik ke mall itu lagi,” sahut Rara dengan nada lemas dan malas.
            “Jangan lama-lama lho, Taa…,” seru Rara saat Dita menggegas langkah, kembali ke mall yang tak begitu jauh, duapuluhan langkah dari sebelah halte.
“Koran, koran, majalah, majalah! Mbak, majalahnya, Mbak!”
            Rara melirik abang penjual koran dan majalah, yang barusan lewat di hadapannya.
            “Nggak, Bang, makasih…,” sahut Rara seraya mengulas senyum.
            “Majalahnya baru-baru lho, Mbak, liat-liat dulu juga boleh,” sambil menyodorkan sebuah majalah remaja.
Ih, nih abang, dibilangin nggak beli, maksa banget, sih? Gerutu Rara dalam hati sementara bibirnya mengerucut gemas.
            “Nggak Bang, makasih,” dengan memaksa mengulum senyum dan sekilas melirik majalah remaja yang disorongkan si abang. Eiits! Tunggu, tunggu! Tulisan di cover majalah tersebut langsung menarik perhatiannya. Ada Apa dengan Valentine?
            “Bang, Bang, tunggu!” tahan Rara saat abang penjual koran itu baru selangkahan kaki meninggalkan dirinya.
***
            Rara masih tersenyum malu-malu ke arah Radit yang tengah lekat menatapnya. Mereka sedang duduk di kafe, menunggu makanan yang mereka pesan setelah tadi puas keliling-keliling mall. Di mall ini, dulu mereka bertemu untuk pertama kali. Dan di sini juga Rara akan menyatakan cintanya pada Radit. Rara akan menunggu Radit menyatakan itu, tapi kalau sampai ucapan itu tidak juga terlontar dari mulut Radit, maka dia tidak akan segan-segan buat nyatain duluan. Bukan masalah tabu lagi kan kalau cewek nyatain duluan? Bukankah itu salah satu bentuk emansipasi yang diperjuangkan Ibu Kita Kartini? Begitu suara hati Rara.
            “Ra, kamu mau nggak jadi pacarku?”
            Ya ampun…. Radit, kok kayak obat sakit kepala saja, ya? Langsung ke pusat sasaran. Tanpa basi-basi kayak iklan rokok. Sungguh Rara tidak menyangka Radit secepat itu mengatakan, tunggu makanan datang dulu kek, ngobrol ke sana kemari dulu kek. Tapi Rara senang. Ini kan yang ditungu-tunggunya?
            “Ra… Radit, kamu serius?” bola mata Rara tak berkedip.
            “Ini buat kamu…” Radit mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kado dibungkus kertas warna merah hati. Rara jelas melihat tulisan kecil yang tertulis rapi di atas kertas itu, ‘Rara, will u be my valentine?’
            Rara seakan melayang. Dia menerimanya dengan jantung berdebar-debar. Apakah dia juga harus memberikan cokelat buat Radit sekarang? Tapi, ah tidak…, nanti… dia akan berikan nanti.
            Rara memegang bingkisan di tangannya dengan perasaan yang tidak bisa dikatakan. Haru. Bahagia. Oh, Emak. Oh, Bapak… Ternyata Radit juga mencintaiku, gema batinnya yang mendadak sesak ditaburi bunga-bunga cinta.
            Makanan yang mereka pesan akhirnya datang. Tanpa dikomando, keduanya menyantap hidangan yang bagi Rara terasa sangat enak. Inilah pertama kalinya dia makan dengan pujaan hatinya. Sambil makan, Rara melirik-lirik ke arah Radit. Sesekali tatapan mereka bertemu, membuat rona wajah Rara tersipu malu.
            “Ayo dibuka…!” usai makan, Radit berbicara.
            “Harus sekarang, ya? Apa nggak bisa kubuka di kamar saja nanti?” Rara tersenyum malu-malu.
            “Mm, nanti juga boleh, tapi aku akan lebih senang jika kamu membukanya sekarang. Ada kejutan lain di dalam. Aku menunggu jawaban kamu. Semoga kamu senang.”
            “Aku senang Radit, dan aku akan membukanya sekarang.” Usai berkata, dengan berdebar-debar Rara merobek pelan-pelan kertas merah hati yang membungkusnya. Entah apa isinya, yang jelas bingkisan dari Radit sangat tipis, yang pasti bukan cokelat.
            Dan pertanyaan Rara terjawab begitu isi bingkisan itu sudah terbuka. Sebuah kertas warna pink. Ya, hanya selembar kertas. Tapi bagi Rara, itu adalah selembar kertas yang istimewa. Dia yakin itu sebuah surat cinta yang romantis.
            Rara memandang Radit. Radit mengangguk. Mengisyaratkan pada Rara agar segera membacanya.
            Tidak membutuhkan waktu lama bagi Rara untuk menuntaskan membaca tulisan-tulisan dengan tinta emas di atas kertas berwarna pink itu. Seketika muka Rara memerah. Radit tersenyum.
            “Kamu mau, kan?”
            Rara diam. Dadanya bergemuruh.
            “Diam tandanya mau, lho?” Radit menggoda.
            Rara mulai tidak tenang. Sungguh dia tidak menyangka, apakah Radit serius mencintainya? Tiba-tiba ponsel di dalam tas Rara berbunyi. Segera dia membuka. Sebuah pesan singkat dari Dita.
            Sebuah ide muncul di benak Rara. Seketika dia berdiri. “Radit, maaf, aku harus segera pulang.” Rara bergegas meninggalkan Radit yang masih belum mengerti apa yang terjadi.
            “Ra, ada apa? Siapa yang barusan mengirim pesan?” Radit kelihatan cemas. Entah apa isi sms yang barusan di baca Rara. “Nanti malam bagaimana, Ra?”
            Rara sudah tidak peduli. Dia sudah keluar dari kafe.
***
            Rara menghembuskan napas lega. Sungguh dia tadi bingung bagaimana caranya untuk bisa secepatnya menghilang dari pandangan Radit. Untunglah sms dari Dita menyelamatkannya. Pasti Radit berpikir telah terjadi sesuatu yang hebat, suatu masalah besar, padahal sms dari Dita isinya biasa saja: ‘Bagaimana Ra? Sukses kan?’
            Rara segera membalas sms itu, ‘semua aman dan terkendali, kamu benar-benar dapat diandalkan, nanti aku cerita.’
            Rara kembali melangkahkan kaki menyusuri trotoar. Pasti Radit sekarang sedang kebingungan. Apalagi Rara belum menjawab permintaan Radit di surat tadi. Apakah Radit mengira kalau Rara setuju dengan aksi diam yang dilakukannya tadi? Kalau Radit berpikir demikian, Rara yakin nanti malam Radit pasti akan menunggunya lagi di kafe itu. Bukankah begitu yang dikatakannya dalam surat? Kalau kamu setuju, nanti malam aku tunggu lagi di sini jam tujuh.
“Aww… Kak, hati-hati, dong!” lamunan Rara buyar. Tanpa sengaja, dia menabrak seorang bocah lelaki berusia kira-kira 10-an tahun di sebuah tikungan dekat perempatan lampu merah. Bocah itu sedang berlari menuju lampu jalan yang sedang menyala hijau.
“Aduh… maaf ya, Dik, kakak nggak sengaja.” Tiba-tiba Rara ingat cokelat dalam tasnya. Cokelat yang seharusnya ia berikan pada Radit. Buru-buru ditariknya bungkusan cokelat itu dari dalam tas. Dengan tersenyum lebar, Rara menyodorkannya ke bocah lelaki itu.
Bocah lelaki itu sungguh tidak menyangka. Seketika dia menerima. Senyumnya terkembang dan berkali mengucapkan terima kasih. Rara melangkahkan kakinya yang sekarang terasa jauh lebih ringan.
“Kak…!” Rara menoleh. Bocah itu memanggilnya. “Ini buat Abang, ya?” katanya.
“Ya… happy valentine, ya?” Rara tersenyum penuh kebahagiaan. Artikel tentang valentine yang tadi ia baca di sebuah majalah remaja ternyata memang benar adanya. Banyak orang yang telah menyalahartikan makna valentine. Dan…, Radit salah satunya.
***
            “Cokelatnya udah kamu berikan?”
            Rara mengangguk.
            “Dia bilang apa?”
            “Dia kelihatan sangat bahagia, matanya berbinar melihat bingkisan yang kusodorkan.”
            “Ra, kamu kelihatan sangat bahagia. Radit menerima cintamu?”
            Belum sempat Rara menjawab, seseorang terdengar menekan bel di depan rumah kosan. Dita yang segera berlari ke pintu depan. Dia memang sedang menunggu Anton, pacarnya, buat ngerayain valentine bareng dengan nonton film di bioskop.
            Sementara Rara merebahkan tubuhnya di kasur. Tapi tak lama kemudian Dita kembali ke kamar.
            “Ra, aku nggak nyangka kalau Radit ternyata lebih tampan dari yang kamu ceritakan, Justin Bieber kalah jauh.” Wajah Dita berbinar-binar.
            Rara mengerutkan dahinya, “maksud kamu?”
            “Itu, si Radit di depan nungguin kamu. Kalian janjian mau pergi juga, ya?”
            Seketika muka Rara pucat. Ra… Radit di depan? Dari mana Radit tahu kalau aku tinggal di sini? Bukankah aku tidak pernah cerita?
            “Kamu serius?”
            “Ra, kamu kenapa, sih? Harusnya kamu tuh senang, tapi kok malah seperti ngelihat hantu begitu? Ayolah buruan, jangan biarin Radit nunggu terlalu lama!” seraya dengan lekas menarik lengan Rara.
            Rara sangat yakin, dia tadi belum menjawab pertanyaan Radit. Dia tadi hanya diam dan Radit pasti beranggapan kalau dia setuju dan menerima. Mungkin memang ini saatnya Rara berterus terang. Dengan langkah pasti, Rara melangkah ke depan.
            Seorang cowok keren menyambutnya malu-malu di teras rumah kosan. Rara terpaku, tak dapat berkata sepatah kata pun. Cowok itu bukan Radit. Cowok itu bahkan jauh lebih ganteng dari Radit.
            “Mas… mencari saya?” Rara menyapa dengan gurat wajah heran.
            “Ra…. Rara, ya?” ucap lelaki itu ramah dan tersenyum.
Rara mengangguk buru-buru.
“Mm… teri…terima kasih cokelatnya, ya. Sungguh, saya… saya tidak menyangka ketika tadi adik saya memberikan. Untung di dalamnya ada alamat, jadi saya tahu harus ke mana untuk mengatakan terima kasih. Di kertas ini jelas tertulis alamat rumah ini.”
            “Kamu…,”
            “Saya Radit, bukankah tadi Mbak yang memberikan ini pada Radian adik saya?” lelaki di hadapan Rara menyerahkan selembar kertas. Kertas yang terdapat di dalam bungkusan cokelat valentine yang tadi diberikannya pada bocah lelaki di perempatan lampu merah. Di kertas itu jelas tertulis, Radit, will u be my valentine? Dan Rara menuliskan juga di sudut bawah kertas itu, Rara – Gang Kamboja 7.
            Dan kini Rara mulai paham dengan apa yang sedang terjadi. Rara paham kenapa tadi bocah di perempatan lampu merah itu bertanya, ‘ini buat Abang, ya?’
            Seketika Rara langsung melupakan Radit yang sekarang pasti tengah menunggunya di kafe. Menunggunya untuk mengajak Rara menginap di sebuah hotel di pinggir kota seperti yang dituliskannya dalam surat cintanya yang langsung dibuang Rara ke dalam tong sampah di ujung gang.
            Oh, Emak, Oh, Bapak… Ternyata Dita benar, Radit yang ini jauh lebih keren dari Justin Bieber.
***


Tentang Penulis :
            Sam Edy Yuswanto dan Uda Agus menjadi sahabat pena sejak tahun 2004. Meski belum pernah bertemu, komunikasi keduanya tidak terputus. Tulisan bersama mereka tergabung dalam antologi cerpen Sebuah Kata Rahasia, Seribu Tanda Cinta dan Cerita 3 Pulau. Cerpen ini adalah duet kedua mereka yang dipersembahkan khusus buat Story.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar