Rabu, November 23, 2016

Ular Tiban*



*Cerpen ini dimuat Minggu Pagi, edisi Minggu ke-3, November 2016
Oleh: Sam Edy Yuswanto

            “Sam, mau ikut nggak?” sayup kudengar suara Tohar, teman di pesantren ini, sambil menepuk-nepuk bahuku. Usai shalat Subuh aku sengaja tidur sebentar karena masih mengantuk.
            “Nggak, ganggu orang tidur saja!” seraya menarik sarung dan menutupkannya ke wajah. Kebiasaanku, juga teman-teman pesantren ini, tiap tidur menjadikan sarung sebagai selimut. Sementara baju-baju kotor yang belum sempat dicuci, dibuntal sarung bekas dan digunakan sebagai bantal.
            “Oke. Kalau gitu, aku pergi sendiri, mau lihat ular titisan Dewi Sri,” bisik Tohar mendekati telingaku sebelum pergi.
            Ular titisan Dewi Sri? Naluri mistisku menyemut di kepala. Secepat kilat, kusibak sarung yang menutupi wajah.
            “Haar! Di mana? Tunggu, aku melu!”
Tohar memutar kepala, menatapku dengan senyum kemenangan.
            Lantas, mengalirlah cerita dari bibir Tohar. Katanya, sudah dua hari ini di kota sebelah, tepatnya di Blitar, ada ular segede batang pohon kelapa yang entah datang dari mana tiba-tiba saja mendiami rumah sederhana Kartolo, salah satu warga kampung. Pria baya itu terkejut saat mendapati ular segede batang pohon kelapa ngluwer di teras rumah tepat jam 12 malam. Waktu itu, Kartolo mendengar ada suara ketuk pintu. Tapi begitu keluar, alih-alih ada orang, malah ia menemukan ular tersebut.   
Kartolo terpekik memanggil istri. Warga pun berduyun mendatangi rumahnya untuk menyaksikan ular tiban itu. Kabar munculnya ular misterius tersebut sontak merebak hingga luar kota.
“Har, kamu denger cerita ini dari siapa?” tanyaku antusias.
“Gito, anak kampung yang rumahnya di sebelah pesantren. Kemarin pas aku beli sabun colek di kios Pak Ramzi, aku ketemu Gito dan dia cerita kayak gitu, malah dia udah ke sana dan membuktikan langsung ular ajaib itu,”
            Aku menyimak serius cerita Tohar. Katanya, ular tiban itu membawa berkah bagi keluarga Kartolo. Bahkan, ia membentuk panitia guna mengatur para pengunjung yang berjubel tiap hari. Di dekat pintu rumah, ditaruh 2 kardus besar, sebagai tempat beramal pengunjung. Baru 2 hari, ia telah meraup keuntungan hingga jutaan rupiah.
Kartolo lantas menyebar cerita, sebelum bertemu sang ular, ia bermimpi bertemu Dewi Sri, putri yang katanya masih kerabat Nyi Roro Kidul. Dewi Sri memohon Kartolo agar memperkenankan tinggal di rumahnya, dan sebagai balasan ia akan melimpahkan rezeki. Kartolo meyakini ular itu sebagai titisan Dewi Sri.
***
Pagi itu kami bertolak ke Blitar. Kami terpaksa bolos sekolah dan berbohong pada keamanan pesantren dengan dalih ke luar kota menjenguk sodara yang sedang sakit.
“Beneran nengok saudara?” Tanya Pak Waid, ketua keamanan pesantren ini dengan raut penuh selidik. Aku lekas melirik Tohar.
“Iya, Pak. Beliau itu Pak Lik saya. Selama ini, beliau yang membiayai saya mondok di sini,” terang Tohar dengan raut sedih. Sementara aku berjuang mati-matian menahan tawa saat melirik aktingnya yang luar biasa perfect! Edan! Wallohi, ditatap Pak Waid saja tubuhku langsung bergigil, apalagi sampai membohonginya. Dasar Tohar! Di antara teman-teman kamar dan komplek, dia memang terkenal jawara nggedebus alias jago ngibul.
***
Tak sampai 2 jam, bus ekonomi yang kami tumpangi, tiba di terminal Blitar. Aku dan Tohar segera mencari angkot yang menuju kampung tempat ular tiban itu. Tak terlalu sulit mencari rumah Kartolo, sebab sopir angkot bersedia mengantar kami hingga pertigaan jalan yang menghubungkan ke rumahnya.
“Dari sini, jalan lurus, sekitar 200 meter ada pertigaan, ambil jalan yang kiri, nanti kalian akan melihat banyak orang berbondong ke rumah Pak Kartolo,” terang Abang kernet ramah. Aku dan Tohar mengangguk sambil mengucap terima kasih.
***
            Aku benar-benar takjub melihat suasana di sekitar rumah Kartolo yang mirip tempat wisata. Parkiran kendaraan tampak penuh. Para pedagang kaki lima pun berjubel, mulai tukang bakso, mie ayam, si omay, cilok, mainan anak-anak, hingga pedagang kaset CD bajakan.
            Dari sebalik kaca jendela, aku dan Tohar berjinjit kaki, berdesakan dengan pengunjung lain yang berjubel demi melihat secara langsung ular gede yang tengah ngluwer di ruang tamu. Ular hitam kecokelatan bermotif mirip kain batik itu sepertinya sedang tertidur pulas.
“Ularnya lagi tidur, kekenyangan habis makan seekor ayam,” ujar lelaki baya berkumis di sebelahku tanpa kutanya.
Cukup lama kami menonton ular ajaib itu. Sebelum pulang, kurogoh uang 5 ribuan lalu memasukkan ke kotak kardus itu. Bakap tua penjaga kardus, mengucap terima kasih sambil mengangsurkan kertas fotokopian yang berisi kisah asal-usul munculnya ular tersebut.
***
            Malam itu, usai mengaji, aku dan Tohar digelandang teman-teman menuju tempat penjemuran pakaian yang cukup luas di belakang kompleks. Tempat hoyal (mengobrol) favorit para santri. Raut teman-teman terlihat penasaran ingin mendengar cerita tentang ular tiban itu.
Didi, teman dari Madiun, rela merogoh kantongnya untuk membelikan 2 cangkir kopi buat kami. Wiji dan Lisin, teman sekamar, asli Tegal dan Madura, juga tak mau kalah. Keduanya membelikan pisang goreng dan bakwan satu piring.
            Sambil menghirup kopi dan sesekali menjambal gorengan, mengalirlah cerita dari mulut kami. Tapi aku lebih banyak diam. Sementara Tohar sangat antusias bercerita. Aku sampai melongo saat Tohar mengimbuhi cerita agar lebih seru dan membuat teman-teman berdecak takjub.
            Ulone sak piro gedene (ularnya seberapa besarnya), Cak!” tanya Lisin (teman kami dari Madura).   
“Bo, abo! Ulone sakmene (segini) Cak! (kedua tangan Tohar membuat lingkaran seolah-olah sedang memeluk pohon kelapa) De gede tenan taiye,” terang Tohar, menirukan logat bicara orang Madura, membuatku terkikik geli dalam hati.
***
            Tiga hari kemudian. Sebuah koran lokal memuat berita yang membuat aku dan Tohar shock di tempat. Katanya, kisah fenomenal tentang ular titisan Dewi Sri itu adalah hanyalah rekaan. Kartolo saat ini mendekam di bui gara-gara menipu warga dengan membuat cerita palsu sekaligus tertuduh kasus pencurian ular terbesar di kebun binatang kota sebelah. Untuk melancarkan aksinya, ia bersekongkol dengan pawang ular kampung sebelah. Saat ini pria baya si pawang ular hilang entah ke mana dan jadi buronan polisi. Ternyata ular itu bukan titisan Dewi Sri, tapi akal-akalannya Kartolo untuk meraup uang banyak. 
            Oh, Tuhan! Kenapa kemarin aku begitu gampang percaya hal tak masuk akal berbau mistis itu, ya? Harusnya, aku tak boleh langsung percaya begitu saja mendengar kabar yang belum terbukti kesahihannya itu.
            “Saamm!! Tohaarr!!” segerombol teman yang baru keluar dari gerbang sekolah, berlarian sambil memanggil kami yang masih shock usai membaca berita di koran lokal, di depan kantin siang itu. Buru-buru Tohar melipat koran tersebut dan menyembunyikan di sebalik baju seragam putih kebesarannya (maksudnya “kegedean”, soalnya tubuh Tohar kan pendek, kurus juga hitam, hik-hik).
            “Kucari-cari kalian, di sini rupanya. Eh, kata Lisin, kalian habis ke Blitar nonton ular tiban itu, ya? Eh, Cerita, dong!” cerocos Rahmat antusias dengan nafas ngos-ngosan.
Mukaku berasa kaku. Pun dengan wajah Tohar yang terlihat gugup.
“Iya, cerita maning (lagi) lah, soale inyong (soalnya aku) baru krungu (dengar) dari Lisin,” sahut Marzuki dengan logat Tegal yang parah banget medok-nya.
“Kalian tanya Sam saja, ya? Aku kebelet, nih!” Tohar menatapku sambil nyengir kecut, memegangi perutnya yang aku tahu pasti hanya pura-pura, lantas kabur tanpa aku bisa mencegah.
“Sam, ayo cerita!”
“Sam, dengar-dengar ularnya segede batang pohon kelapa, ya?”
Pertanyaan beruntun dari teman-teman membuat rautku menegang. Aduh! Pasti aku dan Tohar bakal diketawain habis-habisan deh, kalau mereka tahu bahwa kami telah tertipu kabar palsu.   
                                                                     ***                                                                    
 Kebumen, 2000 – 2016


2 komentar:

  1. Aduh, kabar palsu. :D Btw, aku tak kuat sama latar blognya ... ><

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kabar palsu hehe, terinspirasi dari kisah nyata ini. Latar yang mana ya? :D
      Maklum, nggak telaten ngutak-ngatik desain blog. Hehehe

      Hapus