Senin, November 21, 2016

Kampung dalam Lensa*



*Tulisan ini dimuat Koran Harian Nasional, edisi 19 November 2016

Judul Buku   : Kampungku Indonesia
Penulis          : Stefano Romano
Penerbit       : Mizan
Cetakan       : I, Juni 2016
Tebal             : 172 halaman
ISBN              : 978-979-433-945-9

            Stefano Romano adalah warga asing yang begitu mencintai negeri ini, salah satunya adalah Tanah Sunda. Pria kelahiran Roma 1974, yang berprofesi sebagai fotografer ini berkunjung ke Tanah Sunda untuk kali pertamanya pada tahun 2011. Ia merasa tersentuh dengan lingkungan dan kebudayaan yang ada di sana.
            “Saya tidak berhenti mendengarkan lagu Sunda sejak saat itu, dengan melankolis menyedihkan dan teramat akrab yang tidak saya pahami; terkadang saya merasa bahwa dalam kehidupan terdahulu, saya adalah seorang anak kecil yang berlarian di sawah di salah satu kota yang pernah saya kunjungi, mungkin di Bandung, Banten, atau Karawang,” ujarnya (hal 10-11).
            Stefano mengaku mulai menekuni profesinya sebagai fotrografer sejak tahun 2009. Ia mengawali kariernya dengan memotret komunitas migran dari berbagai etnis di Roma, khususnya Bangladesh, Maroko, Filipina, Thailand, dan juga Indonesia. Selain itu, ia juga bekerja sebagai juru foto resmi Kedutaan Indonesia dan Malaysia di Roma.
            Meskipun Indonesia bukan negerinya sendiri, akan tetapi Stefano merasa sangat mencintai daerah perkampungan sekaligus kebudayaan bumi pertiwi. selama ini ia telah menjelajahi sederet kampung di negeri ini, seperti Bandung, Cirebon, Jakarta, Bogor, Bekasi, Yogyakarta, Karawang, dan lain-lain. Sederet aktivitas warga kampung, seperti para pengamen jalanan yang tengah mengamen, tukang sayur keliling, para petani, keceriaan anak-anak yang tengah bermain, begitu memikat hati dan tak luput dari lensa kameranya.
            Ternyata, ketertarikan Stefano tidak berhenti hanya pada ragam kebudayaan Indonesia, akan tetapi ia juga merasa tertarik untuk mempelajari agama Islam. Bahkan ia akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang mualaf. Ia kemudian menemukan jodoh hidupnya dan memutuskan menikah dengan seorang perempuan warga Jakarta (hal 105).
            Banyak sekali hal berkesan selama Stefano mengunjungi berbagai pelosok kampung di negeri ini. Misalnya, ia tak pernah melupakan saat pertama kali berada di Petamburan. Ia memerhatikan bagaimana ekspresi anak-anak saat melihat dari balik pagar ke gedung-gedung pencakar langit yang ada di seberang sungai. Sementara di sekeliling mereka adalah rumah-rumah sempit, padat, dan kumuh, tempat mereka tinggal bersama keluarga, bersekolah, bekerja, dan bermain. Anak-anak itu berdiri di atas tumpukan sampah. Ia merasakan begitu besar jurang perbedaan antara orang-orang yang bermukim di sisi sungai dan realitas yang diwarnai kemewahan yang ada di seberang sana (hal 57-58).
Melalui buku inspiratif ini, kita dapat melihat secara lebih dekat tentang kondisi beragam aktivitas di berbagai perkampungan negeri ini melalui lensa kamera warga asing yang begitu mencintai warga sekaligus beragam kebudayaan negeri ini.
***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar